Kisah Imam Al-Ghazali tentang Perilaku Orang Jujur
Berikut kisah dalam Ihya Ulumuddin. Seorang tabi’i (generasi setelah sahabat), di Basrah, punya pelayan di Soos, yang juga menjadi agen pembeli gula. Ia pun mengirim memo: “Cepat beli gula karena panen tebu tahun ini terancam gagal.” Pelayan itu pun memborong gula dalam jumlah besar dari seorang tengkulak. Dan tabi’i itu pun beruntung sampai 30.000 dirham. Fantastis. Tapi semalaman ia berpikir: “Saya untung 30.000 tetapi rugi: saya tidak jujur sesama muslim.” Esoknya ia mendatangi si pedagang gula. “Semoga Allah memberkati kamu dengan uang ini.” katanya. “Terimalah.”
“Dari mana uang sebanyak ini, Pak?” tanya pedagang.
“Saya sudah menyembunyikan sesuatu. Terus terang, ketika tempo hari saya membeli gula ini dari ente, harganya sebenarnya sudah naik. Ente menjual ke saya jauh lebih rendah.”
“Semoga Allah merahmati Bapak Sekarang saya sudah tahu. Jadi, dengan senang hati saya berikan kembali ke Bapak. Ayolah “
“Wah, terima kasih, terima kasih kalau begitu.”
Tetapi, sesampai di rumah, pikiran laki-laki kacau kembali. “Saya tidak jujur kepadanya. Mungkin saja ia sebenarnya ia malu menerimanya, sehingga mengembalikannya.” Jadi esoknya ia datang lagi. Katanya, “Semoga Allah memberimu kesehatan. Ambillah. Ini hak ente. Supaya saya senang.” Maka uang itu pun beralih tangan lagi.
Masih dari Al-Ghazali. Dikisahkan, Yunus ibn Ubeid menjual berbagai macam pakaian. Ada jenis pakaian yang harganya 400 dirham dan ada juga yang seharga 200. Ketika Yunus pergi ke mesjid, ia minta sepupunya menjaga tokonya. Kemudian datang seorang Badui. Ia ingin membeli pakaian seharga 400 dirham. Si anak paman menunjukkan yang harga 200. Si pembeli setuju, dan langsung bayar kontan. Di tengah jalan ia bertemu Yunus. Si pedagang rupanya tahu pakaian itu berasal dari tokonya. “Berapa kamu beli?” tanya Yunus.
“Empat ratus,” jawab si Badui
“Ini hanya 200. Mari kembali ke toko, biar kami kembalikan kelebihannya.”
“Di kampung kami pakaian ini harganya 500, dan saya sudah rela dengan harga 400.” “Mari kembali! Kejujuran lebih baik daripada dunia dan seisinya.” Mereka kembali ke toko, dan Yunus mengembalikan uang sejumlah 200 kepadanya.
Dua kisah yang diceritakan Hujjatul Islam di atas, bukan sebuah epos, yang umumnya dimonopoli kaum bangsawan atau ksatria istana. Ini cerita orang biasa yang masih percaya pada nilai-nilai kejujuran, ketulusan, meskipun orang sekarang mungkin akan melihatnya sebagai tindakan bodoh.
Dari riwayat Abdullah ibn Mas’ud, Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Jika seorang hamba tetap bertindak jujur dan berteguh ‘ hati untuk bertindak jujur, maka ia akan ditulis di sisi Allah Ta’ala sebagai orang yang jujur. Dan jika ia tetap berdusta dan berteguh hati untuk berbuat dusta, maka ia akan ditulis Allah sebagai pendusta.” (H.r. Abu Daud dan Tirmidzi).
Kejujuran memang tidak bersifat kondisional, tapi menghujam di dasar hati. Al-Junaid berkata, “Inti kejujuran adalah bahwa engkau berkata jujur di wilayah, yang jika ‘ seseorang berkata jujur, ia tidak akan selamat kecuali berdusta.”