Merawat Kemabruran Haji

Jamaah haji asal Indonesia sudah mulai meninggalkan Makkah dan kembali ke Tanah Air. Mereka menyebar ke segala penjuru Indonesia dari Aceh hingga Papua setelah menunaikan haji selama sekitar 40 hari.

Kita mendoakan agar ibadah haji mereka menjadi haji mabrur dan menjadi amal ibadah yang terbaik dalam hidup mereka. Sekarang mereka sudah bisa menyematkan gelar haji dan hajjah di depan namanya seperti yang biasa dilakukan oleh mereka yang telah menunaikan ibadah haji.

Haji bukanlah termasuk ibadah yang ringan atau mudah. Dituntut kemampuan yang memadai, baik dari segi fisik, mental, ilmu maupun finansial. Tidak sedikit uang yang harus disiapkan untuk bisa berangkat haji. Banyak yang telah menabung puluhan tahun agar bisa menunaikan rukun Islam kelima ini. Karena itu tidak heran apabila jumlah jamaah haji asal Indonesia banyak yang sudah berumur atawa lanjut usia.

Masih ingat, saat pelepasan calon jamaah haji, berbagai upacara dan perayaan dilakukan untuk mendoakan para calon haji dan hajjah. Tidak sedikit biaya yang dikeluarkan untuk mengadakan walimatussafar, kadang dengan mengundang ustadz atau tokoh agama terkenal sehingga suasananya benar-benar meriah.

Pun saat kembali ke kampung halaman. Mereka juga disambut dengan meriah, baik sanak keluarga, masyarakat bahkan oleh pejabat setempat. Ada sebuah kebanggaan dan keharuan bahwa mereka telah selesai menunaikan ibadah haji, mengikuti sunnah Nabi Ibrahim a.s..

Ketika seseorang telah menunaikan ibadah haji, maka dia telah melewati berbagai ujian, baik fisik maupun mental spiritual. Di dalam Al-Qur’an dijelaskan, bahwa mereka harus bisa menghindari semua larangan dan melaksanakan semua ketentuan haji. Hal ini akan berdampak pada kemabruran haji seseorang. Di antara larangan itu adalah tidak boleh berbicara kasar atau buruk (rafats), berbuat dosa dan maksiat (fusuq), dan berselisih pendapat atau berdebat yang tidak perlu (jidal).

Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 197: “Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.”

Larangan-larangan ini sesungguhnya memberikan pemahaman, betapa setiap orang harus bisa melepaskan diri dari ketiga ketiga syahwat tersebut (rafats, fusuq, dan jidaal). Karena itu ibadah haji memberikan pelajaran penting agar setiap orang mampu meninggalkan sifat-sifat buruk tadi dan benar-benar dapat berpengaruh baginya setelah selesai menunaikan ibadah haji. Karena itu Rasulullah sudah menggariskan bahwa ibadah haji adalah salah satu ibadah yang paling utama.

Dari penuturan Abu Hurairah r.a., “Rasulullah ditanya: ‘Amal ibadah apakah yang paling utama?’ Beliau bersabda: Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dikatakan : Kemudian apa? Beliau bersabda: Jihad di jalan Allah’. Dikatakan : Kemudian apa?’ Beliau bersabda: ‘Haji yang mabrur.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Aksi Berkesinambungan

Berhaji tidaklah sekadar menunaikan rukun Islam kelima sesuai dengan syarat dan rukunnya, tetapi juga merupakan proses pendidikan dan pembentukan karakter kepribadian mulia.  Dalam pandangan Ali Syariati haji adalah sebuah aksi yang berkesinambungan dan berdampak pada kesalehan sosial, karena itu haji juga penuh dengan simbol kehidupan sosial kemasyarakatan bukan sebatas ritual.

Syariati juga menekankan bahwa pelaksanaan ibadah haji seharusnya menjadi kesempatan bagi setiap jamaah untuk meningkatkan kualitas keimanannya. Sebab, itulah tujuan dari pelaksanaan ibadah haji, yakni menggapai haji mabrur.

Jadi, tujuan haji bukan sekedar tugas keagamaan, tetapi sebuah tujuan untuk ikut serta dalam memperbarui masyarakat. Dalam pandangan Syari’ati bahwa “eksistensi manusia tidak ada artinya kecuali jika tujuan hidupnya adalah untuk mendekati Roh Allah!”

Tujuan ibadah haji telah tercapai apabila para Haji dan hajjah telah mampu melaksanakan nilai-nilai ini dengan penuh keyakinan bahwa Tuhan akan memelihara mereka sebagaimana Tuhan tidak membiarkan Nabi Ibrahim terbakar oleh api.

Mereka yang berhaji kembali ke negerinya sebagai orang-orang yang telah membina diri mereka di atas nilai-nilai keimanan dan keislaman yang baru, maka mereka seperti “sungai yang mengalir mengairi bumi,”

Walhasil, ibadah haji itu harus dijalani dengan spirit keikhlasan, ketaatan, kekhusyukan, kedisiplinan, etos perjuangan dan pengorbanan sepenuh hati agar membuahkan kesalehan sosial di masyarakat.

Di antara indikator kesalehan sosial pascahaji yang dijelaskan oleh Nabi Saw. adalah kesadaran untuk berbagi dalam pengentasan kemiskinan (ith’am at-tha’am) dan menjaga tutur kata yang baik (thib al-kalam) sehingga lingkungan sekitarnya mendapatkan berkah dan hikmah dari perjalan ibadah haji.

Maka, dalam konteks keindonesiaan, sangat tepat bila spirit haji itu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari pasca ibadah haji sehingga menjadi insan-insan yang dapat menebar pesan perdamaian (salam). Dengan ibadah haji diharapkan dapat memberikan spirit baru dan inspirasi baru dalam membangun masa depan Indonesia yang lebih baik.

Selamat datang para haji dan hajjah. Moga-moga nilai-nilai haji mabrur dapat terus dirawat dan dikembangkan untuk masyarakat sekitarnya sehingga dapat membangun masyarakat Indonesia lebih baik dan lebih baik.