Harta: Antara Anugerah dan Fitnah
Ada yang bilang, kehidupan kita sekarang sudah dikuasai oleh nilai-nilai kebendaan atau materialisme. Maka martabat orang pun cenderung diukur dari apa yang dimilikinya. Dari what do you have, apa yang kamu miliki, bukan what are you atau siapa kamu. Ya, Anda boleh seorang yang jujur, seorang yang pandai, tapi kalau miskin, sepertinya Anda percuma. Apalagi jika Anda ingin masuk lapangan politik. Pastilah duit dulu yang pertama dan yang utama.
Orang pun berlomba mengejar kekayaan, bahkan dengan menempuh berbagai jalan. Yang dibolehkan maupun yang diharamkan. Dan untuk itu orang rela bekerja siang dan malam, dan kalau perlu hanya menyisakan dua jam saja untuk tidur. Tidak percuma, memang. Hanya begitu dia mencapai apa yang ingin diraihnya , ia kembali disergap rasa dahaga untuk terus mengejar dan mengejar. Seakan tak ada habisnya. Kisah-kisah mereka pun ditulis dengan perasaan bangga dan takjub. Rangsangan-rangsangan agar orang mengejar kekayaan (dan hidup nikmat) terus digedor dari detik ke detik, terutama melalui media sosial. Menjadi the crazy rich adalah salah satu impian orang sekarang.
Dari pandangan tasawuf, fenomena itu bisa disebut sebagai contoh dari apa yang dinamakan hubbud dunya. Cinta berlebih terhadap dunia ini ditengarai bakal membuat orang lupa bahkan berpaling dari Allah. Karena itu para sufi menganggapnya sebagai salah satu dari penyakit hati. Padahal kehidupan dunia ini hanyalah senda gurau (lahwun) dan permainan (la’bun). Lihat Qur’an surah Al-Ankabut ayat 64.
Sejatinya agama menanggap harta bukan sebagai hal yang jahat, meski bukan pula sebagai ukuran untuk menilai seseorang. Sebab mulia dan hinanya seseorang bukan diukur dari seberapa melimpah harta yang dimilikinya. Ia, harta itu, hanya anugerah atau kenikmatan dari Allah, dan karena itu merupakan fitnah atau cobaan. Apakah dengan itu kita mensyukurinya atau justru sebaliknya. Karena itu pula, dari kedudukannya yang netral itu, harta bisa menghinakan jika, misalnya saja, pemiliknya itu jadi sombong.
Namun begitu, seorang Muslim tidak bisa sama sekali mengacuhkan hal-hal duniawi, dan menenggelamkan diri dalam “kehidupan akhirat” atau berlebihan dalam beribadah. Nabi pun menganjurkan agar kita tidak terjebak dalam dua kutub ekstrem tersebut. Beliau bersabda, “Sesungguhnya perintah-perintah agama itu mudah. Barangsiapa bersikap berlebih-lebihan dalam agama, maka ia telah dikalahkan oleh sikapnya itu. Berpegang teguhlah pada jalan yang benar, pilihlah jalan tengah, berbahagialah dengan kabar gembira yang kubawa, dan mohonlah pertolongan dengan salat di pagi hari, sore hari, dan di tengah malam.” (H.R. Muslim).
Agama memang tidak mengharamkan kita mencari kekayaan. Sebaliknya agama mencela orang yang mengumpulkan kekayaan demi kekayaan itu, demi rasa megah, rasa unggul. Jika Anda memperoleh keuntungan melebihi kebutuhan Anda, dan kelebihan itu dimanfaatkan sebagian umat, lalu Anda kembali menikmati buahnya untuk memenuhi kebutuhan Anda, itulah yang disebut rezeki. Karena itu, jangan anggap sesuatu yang diperoleh dengan cara yang haram sebagai rezeki. Itu harta harus dilepaskan atau dikembalikan, termasuk yang di-ghasab alias dipinjam tanpa izin.