BANGGA DAN MEGAH
“Dan tidaklah Kami utus ke suatu negeri seorang pemberi peringatan yang tidak ditanggapi orang-orang mewah di sana dengan ucapan: ‘Kami, terhadap yang disuruhkan kepada kamu, tidak percaya.’ Mereka berkata, ‘Kami lebih banyak dalam hal harta maupun putra, dan tidak akan sekali-ali kami terkena siksa’.” (Q. 34: 34-35).
Menurut Qatadah r.a., yang dimaksudkan dengan orang-orang mewah dalam ayat itu adalah orang-orang kayanya, para pemimpinnya, penguasa-penguasanya dan para pemuka jahat di negeri-negeri bersangkutan. Mereka itu biasanya yakin bahwa harta mereka yang melimpah, juga anak-anak mereka, merupakan tanda bahwa Tuhan mengasihi mereka. Merasa kedudukan kuat, mereka menolak seruan-seruan keagamaan. Juga begitu yakin tidak akan terkena azab – balasan akhirat maupun hukuman dunia. Padahal, luas dan sempitnya rezeki seseorang bukan ukuran kasih dan kemurkaan Allah. “Allah membentangkan rezeki bagi siapa yang Ia kehendaki dan menyempitkan. Lalu mereka gembira dengan hidup duniawi. Padahal tiadalah hidup duniawi dalam (ukuran) akhirat kecuali kesenangan sedikit.” (Q.S. 13:26).
Nah. Jika dulu para pemberi peringatan adalah rasul-rasul, sekarang – demikianlah dikatakan – tentunya para ulama, yang disebut Rasulullah Saw. penerima waris nabi-nabi. Yang khas pada ulama adalah ini: kalau mereka menginsafi benar posisi itu, kedudukan merka menjadi sukar. Selain pengetahuan, mereka harus punya keteguhan, kekuatan kepribadian, dan kejantanan. Sebab mereka akan berhadapan dengan orang-orang yang disebut Qatadah tadi. Orang-orang yang bisa gampang tersinggung, jika interest mereka terusik. Orang-orang yang, jika mendapat kekuasaan, hanya bisa mendengar pujian. Bukan kritik, bukan pendapat yang berbeda.
Itulah yang disebut Buya Hamka para penguasa yang tidak ada perkenalanya dengan agama. “Tetapi kalau dia meninggal, atau ada keluarganya meningal, buru-burulah dicari lebai-lebai, yang akan disuruh membaca surat Yasin di sekililing jenazah sebelum dikuburkan. Sehabis membaca surat Yasin lebai-lebai itu disuruh pulang dengan diberi sdekah ala kadarnya. Dengan demikian – menurut persangkaannya – sudah berslah urusan kematan itu dan sudah selamat dia di akirat.” (Hamka, Al-Azhar, XXI-XXII, 229).
Rasulullah, pada tahun-tahun pertama kenabannya, sering menerima kunjungan para pemimpin suku. Antara lain, suatu kali, dari Quraisy – terdiri dari Utbah ibn Rabi’ah, Abu Jahl ibn Hisyam, Abbas ibn Abdil Muthalib, Umaiyah ibn Kalaf, dan Al-Walid ibn Al-Mughirah. Pada kesempatan itu Nabi mengajak mereka mask Islam, dengan harapan para dedengkot itu akan diikuti kaum mereka.
Sebagian besar pemimpin Quraisy toh tidak bersedia memeluk Islam. Bahkan berbalik memusuhi Nabi, sampai-sampai beliau berhijrah ke Madinah. Mereka baru bergabung in the lats minutes, setelah Mekah ditaklukkan dan, dalam kenyataan, tidak ada pilihan lain – meskipun Nabi melarang menghakimi isi hati orang. Sejak awal, para pemuka Mekah itu sudah mengkhawatirkan dakwah Nabi kan menggoyahkan status mereka yang mapan. Sementara di sisi lain, Nabi berpikir bahwa bergabungnya mereka ke dalam Islam akan menyebabkan para pengikut tokoh-tokoh itu berduyun-duyun mengikuti jejak mereka, sunnah Allah menentukan lain. Dan sunnah Allah selalu mewujud dalam kenyataan.
Itu bukan eksklusif pengalaman Nabi Muhammad s.a.w. Seruan-seruan para rasul lain, seperti Nuh, Ibrahim, Musa, Isa – semoga salam tercurah bagi mereka – juga memperoleh tantangan hebat, dan itu dari kaum mapan. Tidak mengherankan jika para pengikut pertama dan terutama dari para nabi tak lain orang-orang yang lemah, orang tidak terkenal, mereka yang gembel, dan budak-budak.
Menurut Imam Fakhruddin Ar-Razi, mewah adalah orang yang disombongkan oleh kenikmatan dan dan kemudahan (fasilitas) hidup. Ibn Khaldun menyebut kebiasaan hidup mewah ini menimbulkan korupsi. Untuk itu, mereka berbohong, berjudi, menipu, berbuat curang, mencuri, bersumpah palsu, dan seterusnya. Karena lahirnya beberapa keinginan yang diakibatkan oleh kemewahan, kata Ibn Khaldun, orang-orang pun berusaha mengetahui cara-cara dan bentuk-bentuk perbuatan tidak bermoral. Di Indonesia kita megealnya antara ain dalam bentuk KKN )korupsi, kolusi dan nepotisme)
Jika kemewahan dn segala akibat yang ditimbulkannya itu meluas dalam suatu negeri, maka kita akan menyaksikan kehancuran negeri itu. Allah berfirman: “Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepda orang-orag yang hidup di negeri itu (supaya menaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan di negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (Q.S. 17:16).
Hidup mewah juga merupakan faktor utama datangnya bala dan azab serta jauhnya pertolongan Allah. Seperti dinyatakan dalam sebuah firman: “Hingga apabila Kami timpakan azab kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri mereka, dengan serta mereka memekik minta tolong pada hari ii. Sesungguhnya kamu tidak akan mendapat pertolongan dari Kami.” (Q.S. 23:64-65).