Kolom Suharso Monoarfa: Menyinergikan Zikir dan Olah Pikir

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, serta penggantian siang dan malam, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (Yaitu) orang-orang yang berzikir kepada Allah ketika berdiri, duduk dan berbaring, dan bertafakur tentang penciptaan langit dan bumi. Tuhan kami, tidaklah Engkau jadikan (semua) ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami ari azab neraka.”


Ayat 190-191 surah Ali Imran di atas mengisyaratkan: (1) alam semesta merupakan tanda atau ayat bagi orang-orang yang berakal atau yang disebut Quran “ulul albab”; (2) Ulul albab atau disebut juga raushan fikr dicirikan sebagai orang yang selalu berzikir, mengingat Allah, dan melakukan olah pikir tentang fenomena alam semesta; (3) adanya paralelisme atau keseiringan antara zikir dan tafakur. Keduanya tidak bisa dipisahkan satu sama lain, saling melengkapi; (4) tafakur, olah pikir, akan mengantarkan kita pada sebuah kesadaran bahwa semesta yang diciptakan Tuhan ini tidak sia-sia, dan pada akhirnya akan mendekatkan kita kepada Sang Pencipta.

Meski aktivitas berpikir diletakkan setelah kegiatan berzikir, logisnya itu bukan bahwa terlebih dulu orang melakukan zikir baru kemudian tafakur. Yang logis justru sebaliknya. Sebab bukankah kita baru bisa mengingat Allah setelah memikirkan segala ciptaan-Nya? Oleh karena itu, zikir menjadi lebih utama bila kita melakukannya setelah tafakur. Dan dari kegiatan merenungi ciptaan Allah itu, kata Imam Al-Ghazali, kita akan memetik banyak hikmah. Kata dia, dalam kitabnya Al-Hikmah fi Makhluqatillah ‘Azza wa Jalla (Sejumlah Hikmah pada Makhluk Ciptaan Allah), jika kita memikirkan alam ini dan merenungkannya, kita akan menemukannya seperti sebentuk bangunan rumah, yang di dalamnya disediakan segala yang kita butuhkan. “Langit ditinggikan sebagai atap, bumi digelar sebagai alas, bintang-bintang terpasang sebagai lampu, mutiara-mutiara tersimpan sebagaimana layaknya benda-benda simpanan. Semuanya itu disediakan dan disiapkan sesuai dengan kedudukan dan fungsinya.”


Alhasil, zikir memang menjadi tidak lengkap jika tanpa olah pikir (tafakkur). Al-Qur’an sendiri menggunakan beberapa term untuk kegiatan penggunakan akal pikiran ini, Di antaranya tadabbara, merenungkan apa yang tersurat dan tersirat; faqiha, mengerti secara mendalam; fahima, memahami secara mendalam, tafakkara. melakukan refleksi, berpikir tentang dan menemukan hukum-hukum alam, dan nadzara, melihat secara abstrak, melakukan observasi. Semua itu bisa dirangkum dalam satu istilah yang punya makna yang dalam lagi menyeluruh: Iqra. Wahyu pertama yang berisi perintah kepada Nabi. Tak syak lagi, bahwa pengetahuan mengenai semesta hanya bisa kita diperoleh melalui proses penalaran dan pengalaman (empirik).


Boleh dikatakan, perintah untuk menggunakan akal pikiran ini banyak bertebaran di dalam Al-Qur’an. Terdapat 71 ayat yang bertagar “perintah untuk kegiatan olah pikir”. Afala ta’qilun, afalaa tatafakkarun, afalaa tatadabbaruun, afala tatadzakarun, afala ta’dzurun.


Maka, tak heran jika dalam sejarah peradaban Islam pernah lahir para filosof dan ilmuwan besar seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Al-Farabi, Al-Biruni, Al-Kindi, Ibnu Miskawaih, Ibnu Khaldun, dan seterusnya, yang punya kontribusi besar terhadap perkembangan ilmu dan teknologi.


Hasan Al-Bashri, seorang ulama dan sufi besar, memberi apresiasi besar terhadap kegiatan berpikir ini dengan mengatakan, “Berpikir selama sesaat lebih baik daripada berdiri salat semalaman.” Sedangkan Umar ibn Abdul Aziz, salah satu khalifah terbesar dalam sejarah Islam, mengatakan, “Berbicara untuk berzikir kepada Allah SWT adalah baik, dan berpikir tentang nikmat-nikmat Allah lebih utama daripada ibadah.”


Tapi yang terngiang pada kita sampai sekarang adalah terjemahan dari Rene Descartes: Cogito ergo sum, Aku berpikir maka aku ada. Eksistensi atau keberadaan manusia memang ditentukan oleh akalnya, Hal yang membedakan manusia dari hewan lainnya. Dalam bahasa Arab disebutkan Al-Insanu hayawanun naathiq, manusia adalah hewan yang berpikir.


Baiklah. Kita sepakat dengan filosof Prancis itu. Tapi pernahkah Anda bertanya lebih lanjut: mengapa dan untuk apa kita ada? Ini adalah pertanyaan tentang makna dan tujuan hidup, yang kita yakini tidak akan berubah dan bisa diubah oleh kemajuan berpikir manusia dan berbagai hal yang menyertainya, ilmu dan teknologi. Makna dan tujuan hidup itu bersifat transenden, ilahiah, dan karena itu abadi – dan bersumber dari Kitab Suci.


Kita meyakini bahwa Allah menciptakan manusia untuk mengabdi (beribadah) kepada-Nya, Wa maa khalaqtul jinna wal-insa illa liya’buduun (Ad-Dzariyaat:56). Adapun tujuan hidup kita tak lain untuk mencapai ridha, perkenan, Allah. Banyak jalan yang bisa ditempuh agar hidup kita bermakna, dan mendapat perkenan Allah, satu di antaranya dengan berzikir dan berolah pikir. Sebab dengan berzikir dan berolah pikir akan mendekatkan diri kita kepada Sang Pencipta. Dan keduanya harus berjalan seiring. Zikir tanpa disertai tafakur akan hanya menjadi ritual dan kehilangan makna religiositasnya, karena tidak disertai penghayatan akan kebesaran ciptaan Tuhan. Sedangkan tafakur hanya berhenti sebatas olah pikir, seraya mungkin menyadari keberadaan dirinya seperti dinyatakan Descartes itu. Tapi tanpa zikir, mengingat Allah, orang tidak akan pernah menyadari mengapa dan untuk apa dia berada di muka bumi ini.