Kolom Suharso Monoarfa: Iqra, Bacalah
Menjelang usianya yang ke-40 Muhammad, seperti pada Ramadan tahun-tahun sebelumnya, berkhalwat ke Gua Hira. Ber-tahannuts, menyendiri, jauh dari kesibukan dan hiruk-pikuk dunia, dan bertekun dalam renungan dan ibadat. Yang dicarinya adalah Kebenaran, dan hanya kebenaran semata, karena yang dilihatnya dalam kehidupan sehari-hari di Kota Mekah bukanlah kebenaran. Ia berharap kebenaran itu akan diperolehnya dalam alam sekitarnya. Bukan yang terdapat dalam kisah-kisah lama atau tulisan-tulisan para pendeta.
Itulah yang terus mendera pikirannya selama berhari-hari berkhalwat di Gua Hira. Sampai suatu malam, dalam keadaan tidur, ia didatangi malaikat yang membawa sehelai lembaran, dan berkata kepada Muhammad: “Iqra, Bacalah!” Dengan terkejut Muhamad menjawab, “Saya tidak bisa membaca.” Ia merasa malaikat itu mencekiknya dan kemudian melepaskannya, dan kembali berkata: “Bacalah!” Takut kembali bakal dicekik, Muhammad menjawab: “Apa yang harus saya baca?” Kemudian malaikat itu berkata:
“Iqra, bismi rabbikal-ladzii khalaq. Khalaqal insaana min ‘alaq. Iqra, warabbukal akram. Alladzi ‘allama bil qalam. ‘Alalamal insaana maa lam ya’lam. (Bacalah! Dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan, Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Dan Tuhanmu Maha Pemurah. Yang mengajarkan dengan Pena. Mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya).” (Q. 96: 1-5).
Ayat 1-5 surah Al-‘Alaq atau Iqra itu adalah wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad s.a.w. dengan perantaraan Jibril. Perintah baca itu tidak menyebut apa, atau subjek tertentu, yang harus dibaca oleh Muhammad, dan tentu saja kita umatnya, karena pesan atau risalah Ilahi itu juga diperuntukkan untuk kita. Yang diperintahkan adalah bahwa membaca itu adalah atas nama Tuhan yang Maha Pemurah itu.
Secara etimologis, iqra berasal dari kata qara’a, artinya menghimpun. Yakni menghimpun alfabet yang dirangkaikan menjadi kata. (Pada mulanya adalah kata, demikian Rendra kalau tidak salah). Namun demikian, iqra bukan sekadar mengeja, melafalkan, tapi lebih jauh yaitu berpikir, merefleksikan pengalaman, dalam rangka mencari pengetahuan. Dan inilah yang disebut ‘alama bil qalam (mengajarkan dengan pena), di mana sumber pengetahuan bukan diperoleh langsung dari Tuhan, melalui wahyu yang Ia turunkan kepada para nabi dan rasul-Nya untuk kemudian disampaikan lagi kepada umat manusia. Pengetahuan kita mengenai ajaran keimanan, syariat dan prinsip-prinsip moral (akhlak) pada umumnya berasal dari wahyu yang kemudian dibahasakan dalam Al-Qur’an itu. Tetapi pengetahuan-pengetahuan lain mengenai alam semesta, hukum-hukumnya, harus kita peroleh melalui pena (bil qalam), dengan menggunakan rasio, penalaran, dan pengalaman. Inilah pengetahuan yang bersifat rasional dan empirik.
Semangat Iqra dalam konteks bil-qalam ini yang harus kita gelorakan kepada umat, melalui kegiatan-kegiatan ilmiah seperti berbagai usaha riset, yang dari situ didapat penemuan-penemuan dan atau inovasi-inovasi baru, yang pada gilirannya akan mendatangkan maslahat bagi kehidupan umat manusia. Dan bukan sebuah kebetulan jika perintah Iqra itu, sebagai wahyu pertama kepada Nabi Muhammad, diturunkan di bulan Ramadan, bulan yang penuh berkah ini.
*Suharso Monoarfa, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas (2019-sekarang)