DUA PUISI AJIP ROSIDI
DALAM GUA HIRA
Kalau dia jauhi hidup duniawi bukan lantaran takkan kembali.
Kepada siapakah dia akan mengadu kalau bukan kepada Yang Satu?
Tapi mengapa langit kelu dan sawang mendinding bisu?
Hanya gema gairah maksiat yang samar terdengar.
Tidakkah ada hidup lain daripada yang penuh kutuk keji bukan main?
Bintang dan bulan yang berlayar tenang menjanjikan ada alam di balik alam semesta Ada kehidupan di balik hidup kasatmata Bukti kekuasaan Maha Pencipta.
Cakrawala luas membentang mencium ufuk kelabu..
Tidak adakah petunjuk meski hanya bisik-bujuk?
Tidak adakah cinta yang ‘kan menyelamatkan sesama manusia?
Begitu murkakah Tuhan
Sehingga dunia akan ditenggelamkan
larut dalam Kiamat dan tak seorang pun akan selamat
Dicarinya dalam keheningan hati
asalmula segala jadi.
dalam Gua Hira.
Apakah tujuan segala
Dan akhirnya bagaimana?
Apa pula peranan dalam hidup sementara di dunia?
Dalam ketenangan yang abadi dia menemukan pangkal semua rahasia penciptaan semesta,
“Bacalah!” samar-samar datang perintah.
“Tak bisa kubaca aksara!”
“Bacalah! Dengan nama Tuhanmu, bacalah!”
“Tak bisa kubaca aksara, tak bisa!”
“Bacalah!” Dengan nama Tuhanmu
yang menciptakan alam semesta, bacalah!”
Lalu tabir yang kering itu
bergerak mengulangi, berkali-kali
Sehingga terukir dalam hari.
TIGA TAHUN MENANTI
Setelah disuruh membaca, “Iqra……. “
dan diyakinkan: “Kaulah pesuruh yang terpilih Lalu sepi kembali.
Ada kah dia terlupakan?
Adakah itu hanya ujian?
Ataukah peristiwa tempohari hanya semata mimpi?
Dalam gua sepi
Langit biru tinggi
Dalam hati sendiri
Langit tak bertepi
Udara lengang
Tak ada kendati bayang-bayang!
“Khadijah! Khadijah! terlempar sudah aku ke pojok bisu!”
“Tapi kau telah terpilih dari segala yang utama kaulah yang istimewa!”
“Tidak lagi, tidak lagi”
Yang tinggal hanya mati
Yang ‘kan memberi arti pada hidup hampa ini.”
“Rahasia yang paling besar kan terungkap dalam sabar.”
Malam berganti hari hampir seribu kali.
tiga tahun menanti
Hai orang yang berselimut, bangunlah
Kepada tetangga, saudara, siarkanlah!
Tuhan itu esa, Allah, sembahlah?”
Kemarau yang kering
Berahir sudah
Dan embun wahyu
Sejak itu turun selalu. Tak jemu.
Ajip Rosidi adalah sastrawan Indonesia, penulis, budayawan, dosen, pendiri, dan redaktur beberapa penerbit, pendiri serta ketua Yayasan Kebudayaan Rancage.