Sulfa Malin, Figur Teladan dalam Keluarga dan Masyarakat

Jika ingin menjadi ulama dan mubalig maka dekatilah ulama. Insya Allah engkau pun akan bisa mengikuti jejaknya. Nasehat serupa ini merupakan kiat dan resep jitu untuk mereka yang memiliki niat kuat untuk menjadi orang  alim yang di  Minang disebut Buya.

Bagi Sulfa, SS, ketua Majalis Ulama Nagari Balingka ( MUNA) rupanya wejangan itu tidak asing lagi. Sejak belajar di bangku sekolah lanjutan pertama ia sudah menerapkan metode tersebut. Ia sudah tertarik dengan dunia ulama dan kegiatan dakwah Islam.

Apalagi Sulfa mengenyam pendidikan di Sumatera Thawalib Parabek, sebuah thawalib (pesantren) yang sangat dikenal di Bukittinggi khususnya dan Sumatera umumnya, karena santrinya hampir datang dari banyak daerah di seluruh Sumatera. Dari pendidikan thawalib ini dorongan dan  motivasi untuk menjadi ulama dan mubalig makin kuat terbuhul dalam batin Sulfa.

Memang Sulfa hanya menyelesaikan hingga tingkat SLTP di Parabek, kemudian melanjutkan ke MAN Bukittinggi, namun sewaktu sekolah di Thawalib Parabek  itu ia telah berusaha mengakrabi para ulama di MUNA. “Waktu saya kelas III dan Kelas IV saya  sudah mulai mengikuti ulama di MUNA. Kalau mereka rapat saya ikut, yang paling aktif waktu MUNA dipimpin Angku Malik dan H. Hasan,” kenang Sulfa Malin, sapaan akrab Sulfa di masyarakat 

Sebenarnya Sulfa sejak menamatkan SD di Balingka sudah bersentuhan dengan orang alim atau ulama, bahkan tidak-tanggung-tanggung ia sudah disapa Buya Datuk Palimo Kayo, ulama besar dan mantan Ketua Umum MUI Sumatera Barat yang juga pernah jadi duta besar Indonesia untuk Iraq tahun 50-an. Sulfa kenal dengan Buya karena satu suku dan Buya adalah datuk di pesukuannya. Kala itu Buya Mansur Datuk Palimo Kayo yang tinggal di Jambu Air, Bukittinggi acap pulang kampung ke Balingka menengok orang tuanya Syekh Daud Rasyidi yang sedang sakit. ” Angku Datuk yang mendorong saya masuk Thawalib Parabek,  dan beliau yang memberi biaya,” ungkapnya. Bahkan, Datuk Palimo Kayo juga mengarahkan Sulfa untuk kuliah di Akabah (Akademi Agama dan Bahasa ). “Sayang, ketika saya sudah selesai kuliah Angku Datuk Palimo Kayo sudah meninggal,” sesalnya.

Rasanya Sulfa tidak perlu bersedih dengan kepergian Buya Datuk Palimo Kayo. Secara fisik memang ia tidak menyaksikan kadernya  lulus di Akabah, namun dengan kiprah Sulfa baik sebagai pendidik maupun sebagai mubalig Islam itu sudah merupakan kebanggaan. Apalagi saat ini Sulfa menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama Nagari Balingka, itu menunjukkan keinginan Buya Datuk Palimo Kayo agar Sulfa berkiprah dalam dunia dakwah dan syiar Islam berhasil  diwujudkan dengan baik.

Sebenarnya prestasi Sulfa sudah melebihi target yang normal. Bukan saja pendidikannya yang memadai, tapi kiprah dan pengabdiannya di bidang dakwah dan juga dunia keilmuannya patut diberikan apresiasi dan penghargaan.

Sebagaimana biasa, Sulfa anak nagari Balingka kelahiran 29 Mei 1961 yang tinggal di daerah pegunungan, menamatkan sekolah dasar di kampung sendiri. Beranjak dari situ ia mulai musafir ke Parabek menimba ilmu Islam dari lembaga pendidikan ternama ini di Bukittinggi. Setelah tamat hingga tingkat SLTP (Tsanawiyah) ia melanjutkan ke Madrasah Aliyah Negeri di Bukittinggi. Jenjang kuliah ia mulai mengambil program D3  Akademi Agama dan Bahasa (Akabah) di Bukittinggi,  setelah itu lanjut S1 di STAI YKI Sumatera Barat.

Setamat kuliah Sulfa menemukan dunianya di bidang pendidikan. Ayah tiga anak dan suami dari Dra. Ade Marsa ini berkecimpung sebagai pengajar di berbagai perguruan di Bukittinggi dan Padang Panjang. Perguruan tempat ia menularkan ilmu keislaman adalah Thawalib Padang Panjang, Ponpes H. Abdul Karim Syuaib Kab Agam, Ponpes Bai’aturridhwan Bukittinggi; mudir dan guru Ponpes Mu’alimin Muhammadiyah Bukittinggi, dosen STAI YKI Kampus Aqabah, dosen MDT Al Jami’ah ADI Aqabah Bukittinggi. Kemudian beberapa jabatan yang pernah dipegangnya Wakil Direktur Akademi Da’wah Indonesia (ADI) Aqabah Bukittinggi, kepala dan guru MAS Taman Raya Balingka Kab. Agam, mutawif Travel Amanah Indonesia Cabang Bukuttinggi.

Rupanya, Sulfa bukan hanya seorang pendidik dan mubaligh, ia juga seorang penulis yang produktif. Dari penanya telah lahir beberapa karya buku baik berupa karya sendiri maupun terjemahan. Ada tujuh  buku ilmiah yang telah ditelurkannya. Yaitu Akhlak Mulia (2 jilid), Sarah Hadits Arbain, Sari Aqidah Islamiah (terjemahan), Kaum Salaf dan Empat Imam (terjemahan), Kapan Datangnya Pertolongan Allah (terjemahan), Bahaya Melalaikan Shalat (terjemahan),dan Al-Quran Hanya Untuk Orang Hidup (terjemahan).

Ketua MUNA Balingka

Majalis Ulama Nagari Balingka (MUNA) adalah organisasi para ulama yang ada di Balingka. Tapi, MUNA ini secara struktural tidak ada hubungannya dengan MUI. Sebab, MUI kepengurusannya hanya sampai tingkat kecamatan. Karena itu MUNA ini adalah inisiatif masyarakat. Namun, lima tahun terakhir MUNA sudah berubah nama menjadi MUI Nagari dan diatur oleh Perda Nagari.. Namun, hingga saat ini nama MUNA lebih akrab dan dikenal oleh masyarakat Balingka.

Bagi Sulfa organisasi MUNA ini sangat berkesan, sebab ia cukup lama mengenal organisasi ini. Bahkan, sejak tahun 2000  ia telah membantu sebagai sekretaris. Sedangkan menjadi Ketua MUNA baru dua  tahun belakangan ini.

Menurut pengalaman Sulfa, MUNA terhitung paling aktif di masa kepengurusan Angku Malik dan H. Hasan. Setelah keduanya meninggal Sulfa dipercaya untuk menggantikannnya.

Apa tugas, kerja atau peran MUNA? Menurut Sulfa, secara umum tigas MUNA adalah melakukan amal ma’aruf dan nahi munkar, yaitu menyuruh orang berbuat baik dan mencegah berbuat jahat.

Kongkretnya yang dilakukan MUNA yaitu membimbing guru-guru TPA dan guru TK, menyantuni anak yatim, memberikan bea siswa bagi anak-anak yang masuk pesantren, mensubsidi honor khatib dan mubalig. Selanjutnya, tiap tahun mengadakan  pelatihan untuk guru TK dan TPA, bahkan sempat pula membantu masjid dan menerbitkan  Bulletin MUNA. ” Program ini berjalan waktu MUNA sedang mengalami masa jaya, anggaran cukup. Tapi, sejak adanya pandemi Covid-19 anggaran turun drastis, kegiatan walau masih ada, tetapi tidak maksimal,”jelas Sulfa.

Menurut Sulfa, sebelum ada Covid-19 dana yang dikeluarkan MUNA untuk berbagai bantuan dan subsidi yang diberikan bisa mencapai Rp 100 juta per tahun, tapi setelah pandemi hanya  sekitar Rp 20 juta per tahun. ” Akibatnya, meski masih ada bantuan yang diberikan kepada masyarakat untuk berbagai kegiatan keagamaan Islam dan  pendidikan, tapi sudab tidak  maksimal.

MUNA memang hidup dari masyarakat, anggarannya bersumber dari swadaya yang diberikan oleh kepedulian warga. Sedangkan dari pemerintahan  nagari hampir tidak ada. ” Paling 5 persen dari keseluruhan dana, jadi dibilang ada ya ada, tapi dibilang tidak ada juga bisa”, tuturnya.

Pemasukan lain bersumber dari hibah  kontrakan tanah yang diberikan  masyarakat. Lahan itu ada di Batutagak, dekat huller, namun sudah 2 tahun ini tidak ada yang mengontrak. Belakangan ini ada yang mau mengontrak Rp 3 juta per tahun..” Mudah-mudahan ini deal, dan kita bisa menerimanya,” harap Sulfa, seraya menghimbau kalau ada warga perantaun yang berniat menyubsidi kegiatan MUNA yang di tengah pandemi Covid 19 ini memang programnya terkendala dana.


Kiprah Dakwah dan Pendidikan

Meski sehari-hari  bermukim di kota Bukittinggi, namun Sulfa secara rutin mengisi acara pengajian di Balingka. Untuk itu ia mengisi secara tetap menurut jadwal baik pengajian tiap hari Minggu maupun sebagai khatib Jumat.

Sejak menjalani pendidikan di Akabah, Sulfa telah dimotivasi untuk menjadi mubaligh atau pendakwah. “Ketika saya mulai aktif berdakwah  akhirnya ini menjadi hobbi dan kesukaan. Bahkan, makin banyak membaca, makin banyak tahu ayat dan hadist,  janji Allah dan janji Rasul, maka motivasi untuk berdakwah makin bertambah. Selama kemampuan dan kesehatan masih ada kegiatan berdakwah akan terus dikerahkan, hanya kesehatan dan nyawa saja yang yang bisa menghentikan,” tegas Sulfa.

Mengungkapkan pengalamannya dalam berdakwah, khususnya di Balingka, Sulfa tentu mengalami ada suka dan ada dukanya. ” Sukanya kalau dakwah kita disambut baik oleh masyarakat, apa yang kita harapkan membuahkan hasil,” ungkapnya. Namun, kata Sulfa melanjutkan, soal ada rintangan hambatan dan cemeeh itu biasa dalam perjuangan di jalan Allah. “Kalau tidak ada rintangan dan hambatan maka nilai ibadahnya menjadi kurang. Di zaman Rasulullah berdakwah pun banyak rintangan,” ucapnya.

Menyinggung problem dakwah di Balingka, bagi  Sulfa memang masih ada kekurangan. Dakwah adalah sebuah perjuangan yang cukup berat untuk mengajak orang melaksanakan ibadah kepada Allah. “Saya melihat banyak di kalangan generasi muda yang tidak salat. Masih nampak di bulan Ramadhan ada orang yang merokok. Kalau ditegur, sambil berjalan  dibuang rokoknya. Kalau orang merokok berarti tidak berpuasa, dan pasti juga tidak shalat. Artinya, salah satu ibadah dilanggar,  yang lain juga ikut dilanggar,” sebutnya.

Menyinggung pendidikan agama, menurut Sulfa, kalau anak masyarakat Balingka hanya mengandalkan pendidikan sampai tingkat tsanawiyah maka ilmunya hanya sebatas lewat di kepala. Masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri. “Artinya, kalau anak mengandalkan pendidikan hanya tingkat tsanawiysh tidak tertutup kemungkinan hanya 50 persen yang salat, dan 50 persen tidak mengerjakan shalat.

Melihat kenyataan di atas, menurut Sulfa, maka di Balingka dibangun madrasah aliyah sebagai lanjutan bagi lulusan tsanawiyah. “Namun, perkembangan aliyah ini terlalu banyak kendala, terutama masalah dana
untuk operasional. Kalau bangunan relatif bagus, meski belum memadai,” ucapnya.

Madrasah Aliyah Swasta (MAS) Balingka memang satu-satunya pendidikan lanjutan tingkat atas di Balingka. Menurut Sulfa, MAS kini memiliki 4 lokal , sebanyak 3 lokal terpakai. Sedang 1 lokal lagi terpakaii untuk banyak kegiatan, sebagai ruang kepala sekolah, perpustakaan, majelis guru, dan bahkan untuk ruang makan juga di situ. Luasnya sekitar 7×8 meter. Menurut Sulfa, ruang ini tidak memadai. ” Kalau MAS ingin lebih baik dari yang ada sekarang, maka perlu ada penambahan lokal”, sarannya.

Namun, sumber dana itu satu-satunya adalah dukungan dari masyarakat. Menurut Sulfa, harapannya adalah bantuan dari warga,  termasuk di perantauan. “Kalau menurut logika sederhana, sebanyak itu warga Balingka, termasuk di perantauan, Jakarta dan lainnya, masa bantuan 1-2 lokal saja tidak bisa”, tegasnya.

Menyinggung minat masyarakat Balingka memasukkan anaknya sekolah agama, menurut Sulfa, keinginan itu cukup besar. Bahkan, di masa MUNA sedang berkibar dulu  mampu memberikan bea siswa bagi yang masuk pesantren.” Waktu itu bisa mencapai Rp 15 juta per-bulan. “Tapi, saat Ini, untuk Rp 6 juta saja sudah sulit terpenuhi, termasuk subsidi untuk guru TPA, sukar dipenuhi,”  ujarnya.

Bagi Sulfa, idealnya anak-anak Balingka bisa melanjutkan ke IAIN Bukittinggi. Perguruan tinggi Islam ini memiliki nilai lebih, bukan hanya terdapat jurusan Islam, namun juga ada jurusan umum seperti komputer. “Banyak jurusan yang ada di IAIN, separuh jurusan yang ada di UNP Padang dan Universitas Andalas sudah ada di IAIN Bukittinggi,” paparnya.

Sulfa bersama istri dan putri-putrinya

Sulfa seorang pendidik yang mendedikasikan hidupnya buat mencerdaskan masyarakat. Sebagai warga Balingka kita berharap banyak padanya tugas mulia itu berhasil dengan baik mengangkat kemajuan pendidikan warga kita. Dan itu, kita yakin bakal berhasil dan tercapai.

Buktinya, kita bisa berkaca pada keluarganya sendiri. Dimana Sulfa seorang bapak yang sukses mendidik anaknya. Tiga orang putranya semua sarjana, satu orang bahkan  lulusan S2 bergelar magister.

Anak pertama Asmak Un Najiyah adalah sarjana teknik. Anak kedua, Ainun Mardhiyah, S.Si,  adalah sarjana bidang sains. Ketiga, Nazhiratul Khairat S.Hum, M. Hum yaitu magister bidang humainiora.

Sulfa layak menjadi figur teladan, baik dalam masyarakat maupun sebagai kepala keluarga.