Imam Teguh Saptono (1): Rahasia Usia 40

Imam Teguh Saptono

Tahukah anda, seorang yang tadinya berpikir bahkan meyakini bahwa Covid-19 adalah rekayasa, sampai kemudian ia “mencicipi” Covid-19. Ketika terpapar, bahkan ia berpikir kalau sudah ajalnya tiba. Namun Allah berkehendak lain, ia –mencapai rekor tercepat sebagai pemakai ventilator. “Bapak termasuk yang pulih paling cepat dibanding yang lain,” kata petugas medis yang memakaikan ventilator padanya. Ya, Imam Teguh Saptono, penyintas Covid-19, salah seorang yang kemudian berangsur pulih dan kembali beraktivitas seperti sedia kala. Episode ia terpapar Covid-19, salah satu yang amat mempengaruhi hidupnya selain sejumlah episode mengesankan lainnya.

Perjalanan hidupnya, mengantarkannya pada keinsyafan. Sebagaimana yang tersurat dalam Surah Al-Ahqaf” 15, “Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orangtuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Masa mengandung sampai menyapihnya selama tiga bulan, sehingga apabila anak dia (anak itu) telah dewasa dan umurnya mencapai 40 tahun dia berdoa,”Ya Tuhanku, berilah aku petunjuk agar aku dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau limpahkan kepadaku dan kepada kedua orangtuaku dan agar aku dapat berbuat kebajikan yang Engkau ridhai dan berilah aku kebaikan yang mengalir sampai kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sungguh, aku termasuk orang muslim.”

Membaca ayat ini, salah satu pimpinan Badan Wakaf Indonesia (BWI) bertanya-tanya, ada apa dengan usia 40 tahun? Banyak sahabat mengidentikkan kalimat, “Hidup dimulai pada usia 40 tahun” (life begins at 40). Ini dikaitkan dengan seberapa besar sumberdaya yang harus dimiliki untuk dapat menikmati kehidupan saat usianya menginjak 40 tahun. Kepemilikan atas sumberdaya tersebut biasanya diukur melalui parameter kebugaran jasmani, keleluasaan finansial dan kejelasan jalur karir. Laksana “dunia dalam genggaman”. Kurang lebih seperti itu pesan yang ingin disampaikan dari ungkapan life begins at 40 pada sebagian orang.

Lantas bagaimana bila di usia 40 tahun kenyataan hidup malah sebaliknya? Keadaan ekonomi yang pas-pasan, belum mendapatkan jodoh, jangankan karir, pekerjaan tetap hyang menjamin naskaf keluarga saja belum kunjung diperoleh, serta banyak kasus lagi. Bukanlah semboyan itu justru menjadi momok bagi sebagian orang, khususnya laki-laki sebagai kepala keluarga? Imam Teguh Saptono yang kerap disapa ITS –akronim namanya—ia ungkap dalam buku keduanya, Tidak Yakin Saya Radikal, Setengah Abad di Atas Permukaan (TYSR),

ITS menulis, “Setidaknya justru pesan itulah yang sempat dituliskan oleh psikolog Elisabeth B. Hurlock, dimana usia 40 dipandang sebagai syndroma yang dialami para pria kala menghadapi, diantaranya karena: mereka sadar bahwa usia mereka tidak lagi muda; mereka memasuki puber kedua, sebagai resultante dari kondisi fisik, keuangan dan karir; stress karena merasa mendapat tekanan dari lingkungan, terutama bila kondisi riil berbanding terbalik dengan persepsi publik mengenai kesuksesan yang seharusnya dicapai pada usia 40 tahun; merasa jenuh dengan pasangan, jenuh dengan karier dan jenuh dengan banyak hal, karena umumnya kita mulai membandingkan apa yang sudah diperoleh dengan pencapaian orang lain.”

ITS melanjutkan tulisannhya, “Sesungguhnya ungkapan life begins at 40 ini popular di dunia barat sejak seorang psikolog Amerika yang bernama Walter B. Pitkin pada tahun 1932 menuliskan buku berjudul Life Begins at Forty. Buku tersebut banyak menginspirasi masyarakat Amerika dan menjadi best seller buku non fiksi selama dua tahun berturut-turut. Secara garis besar, buku tersebut berisi harapan baru masyarakat Amerika setelah keluar dari trap expectancy life di usia 40 tahun. Kira-kira setengah yang abad lalu atau sekitar tahun 1932, life expectancy masyarakat AS telah dipastikan, yaitu melampaui angka 40 tahun serta terus mengalami peningkatan trend.”

Dalam memperkenalkan profil ITS, saya perlu mengutip pandangannya tentang usia 40, yang saya ambil dari buku tersebut,” Bahkan saat ini, setidaknya menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang berkantor pusat di Jenewa-Swiss, melalui studi tentang kualitas kesehatan dan harapan hidup rata-rata manusia di seluruh dunia, menetapkan kriteria baru yang membagi kehidupan manusia dalam lima kelimpok usia. Pertama, usia 0-17 tahun, adalah kelompok anak-anak di bawah umur. Kedua, usia 18-65 tahun, merupakan kelompok pemuda. Ketiga, usia 66-79 tahun, termasuk setengah baya, Keempat, usia 80-99 tahun, disebut orang tua. Kelima, 100 tahun ke atas, yaitu orang tua berusia panjang.” (Dari TYSR)

ITS –menuangkan refleksinya dengan kata-kata, “Namun di balik semua kisah itu, ada apa gerangan dengan usia 40 tahun? Ada rahasia apakah sehingga Allah swt mengangkat Muhammad saw menjadi Rasul juga pada usia 40 tahun?”.

Sebagai Sang Pencipta manusia beserta seluruh alam semesta, Allah meminta kepada manusia bila mencapai usia 40 tahun, hendaklah berdoa: “Ya Tuhanku, berilah aku petunjuk agar aku dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau limpahkan kepadaku dan kepada kedua orangtuaku agar aku dapat berbuat kebajikan yang Engkau ridhai dan berilah aku kebaikan yang mengalir sampai kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sungguh aku termasuk orang muslim.”

Jika direnungkan kata demi kata dalam doa tersebut, terdapat beberapa frase yang menarik, yakni ungkapan rasa syukur atas apa yang sudah kita dapatkan pada periode sebelumnya, kesadaran berbakti kepada orang tua, serta perintah untuk berbuat kebajikan dan amalan yang kebaikannya mengalir hingga anak cucu, bukan hanhya kebaikan untuk dkiri sendiri dan terakhir, ketaqwaan kepada Allah.

Artinya, usia 40 tahun masa berakhirnya orientasi diri, yang sebelum-sebelumnya mungkin selalu memandang dengan pendekatan “outside in”, yakni apa yang bisa saya dapatkan dari sekitar lingkungan saya, berganti menjadi “inside out”, apa yang bisa saya berikan untuk lingkungan di sekitar saya. Laksana bergerak dari piramida “private victory” menuju “public victory”nya 7 Habbit ala Stephen R. Covey.

Secara lebih sederhana, dapat dikatakan bahwa usia 40 tahun adalah usia di mana seseorang “sudah selesai dengan dirinya sendiri” dan dia sudah siap untuk dilahirkan sebagai pemimpin. Karena tugas sejati seorang pemimpin bukanlah merekrut sebanyak mungkin pengikut, melainkan melahirkan sebanyak mungkin pemimpin-pemimpin berikutnya. Tugas ini hanya bisa dilakukan oleh orang yang benar-benar telah selesai dengan dirinya sendiri dan berorientasi kepada orang lain, serta berusaha agar orang yang dipimpinnya tersebut bisa menjadi lebih baik dari dirinya.

Sikap mengambil ibroh di antaranya dari buku yang menginspirasinya, menjadi kelaziman dalam keseharian ITS. Salah yang pernah dinyatakannya tentang pemimpin, “Kriteria pribadi seorang pemimpin yang selesai dengan dirinya sendiri, dijelaskan dengan cukup baik oleh Jhon C. Maxwel dalam bukunya The 360 degree Leader, yang menggambarkan tingkatan pribadi pemimpin dalam lima hirarki. Mulai dari pemimpin yang diikuti karena semata-mata ia diberi kewenangan (diikuti karena harus, kalau tidak mengikuti berarti melanggar ketentuan), hingga pemimpin level tertinggi yang diikuti karena memang ia seorang panutan,”.

ITS mengatakan, bahwa ia seakan dihentak pada permenungan terkait life begins at 40. Ia katakan, ”Menurut sebuah hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah SAW bersabda, dikatakan – dalam hadis riwayat Tirmidzi, ”Umur umatku antara 60 hingga 70 dan sedikit dari mereka yang melebihi itu.” Bersambung