Prof. Eddy Rasyidin Rasyid, Ph.D, Figur Mumpuni yang Andal dan Profesional

Tidak semua orangtua ingin anaknya mengikuti jejak ayahnya. Ada kalanya ayah maupun ibu mendambakan anaknya berkarier di  bidang lain yang lebih maju. Hal inilah yang dialami Prof. Eddy Rasyidin Rasyid, M Com (Hons), Ph.D, putra Balingka yang menjadi akademisi di Universitas Andalas. Seorang profesor, konseptor, perencana handal, dan memiliki keahlian di bidang akuntansi dan keuangan.

Berkat penguasaan keilmuannya yang mumpuni di bidang akuntansi, bukan hanya teori,  tetapi juga penerapannya, guru besar akuntansi ini, sering diminta memberikan pencerahan, pelatihan, ceramah di berbagai perguruan tinggi, juga didaulat sebagai tenaga ahli di kementerian, dan bahkan sebagai komisaris di perusahaan Semen Padang.

Dilahirkan di Bukittinggi, 10 Oktober 1957, Eddy  R Rasyid justru besar dan mengalami masa remaja, dewasa dan bahkan hingga berkarier  di kota Teluk Bayur ini .Pada tahun  1960-an keluarganya memang ia dibawa keluarganya merantau ke Kota Padang. Ayahnya, H. Rasyidin Rasyid St  Tumanggung berprofesi sebagai pedagang. Ayahnya, berasal dari suku Koto anak buah Dt. Palimo Kayo. Ibunya bernama Hj. Nurjani dari Suku Pili Pahambatan  adalah putri  H.Jakfar Tamin. Dan Jakfar Tamin putra  H. Tamin, pengusaha laganderis Balingka yang dikenal sukses.  Bukan saja sebagai saudagar, tapi juga mendidik anaknya menjadi orang yang terkemuka, antara lain menjadi dokter, diplomat, ahli hukum atau meester in de rechten .

Pada eranya,  Eddy Rasyidin mendapat pendidikan yang cukup unik bagi masyarakat Balingka. Keluarga ini sekolah di perguruan milik Katolik. Eddy Rasyidin menamatkan sekolah dasar di SD Andreas Padang lulus tahun 1970, SMP Frater tamat tahun 1973, SMA Don Bosco selesai tahun 1977.

Kenapa memilih pendidikan di sekolah milik Katolik? Menurut Eddy, karena ayahnya menginginkan anaknya berhasil di pendidikan, karena itu memilih sekolah berkualitas.  “Abak (ayah) ingin anaknya maju dan sukses dalam nenempuh pendidikan,” kisah Eddy.

Anak keempat dari sembilan bersaudara ini mengungkapkan, pada masa itu memang sekolah milik Katolik dinilai cukup bagus kualitasnya. “Sekolah negeri sekitar tahun 60-an masih tertinggal, baik secara kualitas maupun fasilitas. Tapi, sekarang sudah jauh berubah, sekolah negeri banyak yang bagus malah melebihi sekolah Katolik,” papar Eddy.

Sebagai warga Balingka yang dikenal kuat Islamnya, tentu menjadi tanda tanya apakah tidak ada kekhawatiran menyerahkan pendidikan anak pada lembaga pendidikan non- muslim?

Menurut Eddy, tidak ada kecemasan tersebut. Itu juga dirasakan oleh ayahnya. Karena di rumah disiplin untuk menjalankan ajaran Islam diterapkan dengan ketat. ” Di rumah kami diawasi dengan ketat melaksanakan shalat dan mengaji. Kalau tidak salat kami akan dilacuik (disabet),” jelasnya.

Selain itu Eddy juga memasuki sekolah dua macam.  Selain belajar di SD Katolik,  pada siang hingga sore ia sekolah Ibtidaiyah milik Muhammadiyah. “Sayang, saya tidak sempat ujian ibtidaiyah, sebab waktunya bersamaan, dan harus memilih salah satu.  Akhirnya, saya memilih ujian sekolah dasar,” paparnya.

Keluarga Eddy Rasyidin berlatarbelakang saudagar atau wiraswastawan. Karena itu aktivitas Eddy juga bersentuhan dengan kegiatan perdagangan. Ketika masih SMP dan SMA di Padang hari-hari Eddy juga terlibat di pasar membantu ayahnya melayani pembeli. ” Pada waktu SMP dan SMA separo hari saya di sekolah dan separo hari lagi di pasar membantu abak (ayah) berdagang,” tuturnya.

Miskin Harta, Kaya Ilmu

Masih terngiang dalam ingatan Eddy Rasyidin ketika tamat SMA, ayahnya berkata, ” Kamu tidak usah tinggal di Padang, sebaiknya pergi sekolah keluar.  Kalau kamu masih di Padang pasti nanti jadi pedagang,” ujarnya, menirukan ucapan ayahnya 

Sejak itu tertanamlah tekad dan kesadaran dalam diri Eddy untuk menuntut ilmu atau bersekolah. Ia senang masuk perguruan tinggi dan berharap lulus dengan raihan ilmu pengetahuan  yang bermanfaat.

Awalnya, ia bercita-cita masuk ITB di Bandung. Ia pun mendaftar ikut test, hanya sayang tidak lulus. Konsekuensi karena tidak lulus ini terpaksa menganggur satu tahun, namun dari pada waktu kosong, Eddy mendaftar di Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta,  di Fakultas Ekonomi. Sempat kuliah selama satu  tahun, kembali Eddy ikut tes masuk perguruan tinggi. Kali ini pilihannya Fakultas Ekonomi UGM. Alhamdulillah, dalam tes kali ini ia lolos dan masuk jurusan akuntansi.



Eddy Rasyidin tamat kuliah tahun 1984. Setelah itu langsung menjadi dosen akuntansi di Universitas Andalas Padang. Pilihannya menjadi dosen karena itulah profesi yang ia nilai cocok buat dirinya.” Sebenarnya jurusan akuntansi itu tepatnya  bekerja di perusahaan, tapi saya merasa kurang pas,” terangnya.

Lalu kenapa harus jadi dosen di Universitas Andalas, Padang. Ini adalah saran ayahnya. Awalnya, Eddy Rasyidin ingin menjadi dosen di almamaternya,  UGM. “Kata ayah saya kalau mau jadi dosen sebaiknya di kampung. Kalau jadi dosen di kampung yang pintar adalah warga kampung kita sendiri. Tapi, kalau jadi dosen di Jawa sudah banyak orang pintar disana. Saya pikir benar juga saran ayah saya ini,” cerita Eddy.

Setelah jadi dosen di Unand Padang–ia termasuk dosen teladan–satu tekad yang ia buhul dengan kuat adalah bahwa  ia harus jadi doktor  ” Sebab, kalau kita jadi dosen dan tidak  doktor, itu artinya kita miskin harta dan miskin ilmu. Sudah harta sedikit, ilmu juga tidak punya”, tandasnya, seraya menambahkan, kalaupun, S2 itupun tidaklah memadai, harus doktor 

Menciptakan Peluang

Setelah Eddy Rasyidin  menjadi dosen di Universitas Andalas Padang, terbukalah kesempatan untuk studi doktor di luar negeri. Tetapi, itu tidak mudah harus melalui perjuangan yang tidak ringan.

Pemerintah melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mempunyai proyek yang namanya Proyek Pengembangan Pendidikan Akuntansi Indonesia. Salah satu komponen proyek tersebut adalah mengirim dosen-dosen akuntansi se -Indonesia ke luar negeri untuk S 2 (magister) maupun S 3 (doktor).

Mereka yang diberi kesempatan belajar ke negara Paman Sam tersebut adalah yang memenuhi syarat TOEFL  tertentu dan kemampuan melakukan analisa kualitatif dengan menggunakan bahasa Inggris. Proyek untuk gelombang pertama ini berlangsung untuk periode 1990-1995. Untuk itu Eddy Rasyidin terpaksa tinggal  di Bogor selama enam bulan bersama beberapa dosen lainnya kursus bahasa Inggris secara mendalam melalui sebuah paket.

Waktu kursus di Bogor tersebut Eddy sudah mempunyai feeling bahwa peserta tidak akan mampu memenuhi persyaratan tersebut. Karena dinilai sangat berat. Hal ini kemudian terbukti mereka gagal dikirim ke  Amerika. Namun, di tengah muskilnya  persyaratan belajar ke negara yang punya patung Liberty tersebut, Eddy Rasyidin berinisiatif mendatangi asosiasi perguruan tinggi Australia  di Jakarta. Bersama rekan-rekannya, Eddy meminta mereka untuk mendatangi proyek di kementerian yang menangani pengiriman dosen akuntansi ke Amerika tersebut, dan menyatakan bahwa Australia juga siap menampung dosen-dosen akuntansi Indonesia yang mau studi doktor dan magister di Australia.

Strategi ini rupanya berhasil, sehingga Eddy Rasyidin akhirnya dikirim ke negara kanguru tersebut. Sebelum berangkat, Eddy dan dosen lainnya kembali dikursuskan bahasa Inggris.

Berangkat ke Australia tahun 1990, padahal waktu itu Eddy baru saja menikah( 1989) dengan Dra. Husna Roza, M Com (Hons),Ak,CA. Dan, dikarunia seorang anak M. Fauza Azima Rasyid, kelak lulusan FE  UGM.

Ki ke ka: istri Dra Husna Roza, MCom(Hons) Dosen Akuntansi Unand, Anak: M Fauzan Azima, Pegawai PT Pertamina, Menantu: Genta Yaumulquds, Business Lawyer.



Setelah dua tahun kuliah di The University of Wollongong, Australia, tahun l992 Eddy Rasyidin telah menamatkan S2 dan meraih gelar magister. Selanjutnya, ia meneruskan mengambil program S3 atau doktor. Yang membuat Eddy Rasyidin bersyukur ketika melanjutkan S3, istrinya yang juga dosen akuntansi di Universitas Andalas mendapatkan pula bea siswa untuk program S2 di perguruan tinggi yang sama. Akhirnya, pada tahun 1993 keluarga kecil ini bisa berkumpul di Australia, di perguruan yang sama. Eddy Radyidin mengikuti program S3 dan istrinya mengikuti program S2. Suami, istri dan seorang anak yang masih bayi ini bermukim hingga tahun 1995 setelah keduanya masing-masing meraih doktor dan magister.

“Istri bisa kuliah S2 di Australia itu juga melalui perjuangan, saya mengusahakan, mendaftarkannya , mengurus semua persyaratannya hingga diterima belajar melalui beasiswa,” jelas Eddy Rasyidin, mengenai isterinya bisa belajar di Australia.

Mengirim Dosen Unand ke LN

Setelah kembali ke  Unand tahun 1995 Eddy Rasyidin satu-satunya doktor bidang akuntansi. Memang pada waktu itu doktor bidang akuntansi termasuk langka. Menurut Eddy, pada waktu itu di seluruh Indonesia jumlah doktor bidang akuntansi sekitar 10 orang, termasuk dirinya. Di Unand, Eddy sempat menjadi Ketua Jurusan Akuntansi Universitas Andalas (1998-2002), Kepala Pusat Pengembangan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Andalas (1996-1998). Sedangkan diangkat sebagai guru besar akuntansi tahun 2008.

Kemudian Eddy Rasyidin juga menghidupkan Pusat Pengembangan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Andalas. Lembaga ini sudah 3 tahun mati. Tahun 1995 baru saja pulang dari Australia ia langsung diminta memimpin lembaga ini. Berkat kepemimpinannya, lembaga ini sekarang sudah berjaya dan hidup kembali.

Satu lagi jasa Eddy Rasyidin buat Unand adalah membuka program S2 Manajemen atau MM. Awalnya, di Unand belum ada program S2 baik untuk manajemen maupun akuntansi karena belum ada dosennya yang doktor, kecuali yang ada baru Fakultas Ekonomi. Ketika Eddy pulang dari Australia dan meraih gelar doktor maka syarat untuk membuka program S2 menjadi terpenuhi. Maka Eddy berusaha dan bekerja membuat proposal membuka MM, dan izin keluar. Pada tahun 2000 telah dibuka penerimaan mahasiswa baru, dan Eddy sendiri yang mengawali  memimpin program ini. Hingga sekarang program MM telah berulang kali ganti pimpinan dan berkembang pesat, bahkan telah Akreditasi A.

Kemudian, pada awal kepulangan Eddy dari Australia, 1995, melihat minimnya doktor di Unand, Eddy merasa risau,  terbetik dalam pikirannya untuk mengusahakan agar dosen-dosen yang ada di Unand ini juga bisa menempuh pendidikan meraih doktor. Kebetulan kementerian pendidikan pada waktu itu  mempunyai  program khusus yang didanai melalui pinjaman Bank Dunia. Dana yang cukup besar itu dirancang untuk meningkatkan kualitas dosen yang berpendidikan S1 untuk jurusan apa saja agar mereka menjadi doktor atau S3.

Program di atas dimaksudkan untuk melahirkan dosen dengan kualitas tinggi dan internasional. Caranya, tentu menyekolahkan ke luar negeri. “Saya melihat inilah kesempatan untuk meningkatkan kualitas jurusan akuntansi Unand,”  timpal Eddy.

Setelah melihat peluang tersebut maka mulailah Eddy bekerja membuat proposal. Untuk itu ia harus bekerja keras. Dan, itu dilakukan seorang diri. Terkadang bekerja  sampai larut malam, bahkan sampai tidur di kampus. Proposal itu harus memakai bahasa Inggris, dan yang menguasai bahasa Inggris dengan baik hanya Eddy, sebab telah tinggal dan belajar di Australia selama enam tahun.

Proposal yang diajukan ke kementerian ini juga bersifat kompetitif. Artinya, dibuka secara umum untuk semua PTN, tentu hanya  yang memenuhi syarat yang diterima. Pada kompetisi pertama, 1998-2000, Eddy gagal, proposalnya tidak diterima. Namun, pada proposal kedua ia berhasil dan proposalnya diterima. Akhirnya, Unand punya kesempatan menyekolahkan para dosen akuntansi ke luar negeri untuk periode 2000-2005 . Eddy sendiri yang kemudian memimpin proyek dosen Unand ini belajar ke  luar negeri, akhirnya berhasil mengirim sebanyak tujuh orang dosen ke luar negeri, di antaranya ke Malaysia, Australia dan ke  Inggris. Proyek ini  bernama Program of Quality for Undegraduate  Education Universitas Andalas, dimana Eddy sebagai direktur eksekutif.

Setelah proyek pengiriman dosen Unand ke luar negeri selesai, ternyata berdampak pada Eddy Rasyidin. Ia jadi dikenal oleh orang pusat di Jakarta, terutama di Kementerian Pendidikan. Ia dianggap punya  keahlian di bidang pendidikan. Itulah asalnya,  ia diminta  membantu sebagai ahli.  Di antaranya, anggota tim penyusun Higher Education Long-term Strategy (HELTS) 2003-2010, Ketua Tim Penyusun Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia, DPN IAI (2007), Anggota Tim Evaluasi Kurikulum Program Pendidikan Profesi Akuntan Pendidik (2007), Anggota Tim Penyusun Standar Pendidikan Tinggi Akuntansi IAI Kompattemen Akuntan Pendidik (2008), Dewan Pendidikan Tinggi, Dirjen Pendidikan Tinggi, Anggota Komisi Hibah (2008-2013), Anggota Dewan Standard Akuntansi Keuangan (DSAK), 2009-2013, Dewan Pengawas BLU Universitas Andalas, 2012-2017.

Mengenai Dewan Pendidikan, Eddy Rasyidin  sebagai  Tim Ahli Dewan Pendidikan Tinggi, adalah organisasi yang berada di bawah Dirjen Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti). Tim ahli ini ada 9 orang, selain Eddy dari Unand, yang lain datang dari IPB, ITB, UGM, UI dan Unhas (Universitas Hasanuddin). Eddy Rasyidin ikut tim ahli di masa Dirjen Dikti Dr Satrio Sumantri dan Dirjen Dikti Pasli Jalal.

Selanjutnya Eddy Rasyidin juga aktif di organisasi profesi Ikatan Akuntan Indonesia. “Saya berkiprah selama 4 tahun sebagai Dewan Standar Indonesia menyusun standar akuntansi. Standar akuntansi itu artinya peraturan atau regulasinya, bagaimana menyiapkan laporan keuangan. Namanya, standar akuntansi (accounting standard).

Eddy menjelaskan, jabatan yang dipegangnya umumnya lebih karena ia punya keahlian. Bukan karena lobi-lobi. Misalnya, ketika diangkat jadi komisaris Semen Padang dari tahun 2015 sampai 2018, awalnya Eddy Rasyidin diminta untuk ikut bergabung dalam Komisi Audit PT Semen Padang (2003-2014).  Komisi Audit ini semacam staf ahli komisaris. Tugasnya, mendukung komisaris dalam melakukan  pengawasan dan melakukan analisa. Tugasnya bekerja untuk kepentingan komisaris.” Komisaris itu macam-macam latar belakangnya. Jadi membutuhkan orang profesional, saya diminta sebagai tim audit dari latarbelakang keahlian akuntansi,” jelasnya.

Melihat keahliannya inilah, Eddy Rasyidin pada tahun 2015 hingga 2018 diminta menjadi komisaris PT Semen Padang, itu bukan karena lobi, tapi diminta secara  langsung mengingat kemampuannya di bidang akuntansi. “Saya melihat karena memang mereka butuh komisaris sesuai bidang yang saya kuasai,” tuturnya.

Pada tahun 2020 Eddy Rasyidin ditarik ke Jakarta. Ia ditugasi sebagai eksekutif untuk mendirikan lembaga akreditasi untuk program studi manajemen, ekonomi dan akuntansi. Lembaga baru itu untuk menggantikan tugas BAN PT yang tidak lagi menangani akreditasi. Dengan jabatan tersebut Eddy Rasyidin harus tinggal di Jakarta beberapa waktu.

Sebagai ahli akuntansi Eddy Rasyidin juga duduk dan diajak bergabung dalam Dewan Standard Akuntansi Keuangan (DSAK, 2009-2013) sebagai anggota. Ia ikut dan terlibat memikirkan peraturan atau regulasi  yang mengatur bagaimana laporan keuangan disusun.

Menurut Eddy, akuntansi sangat vital perannya dalam perekonomian, baik secara mikro maupun makro-nasional. Secara mikro  perannya di perusahaan. ” Kita bisa bayangkan kalau perusahaan tidak melakukan akuntansi, pasti kacau balau perusahaan tersebut. Bagaimana mengelola perusahaan kalau informasi data keuangan tidak ada, tidak membuat neraca, tidak membuat laba rugi,” tegasnya.

Eddy Rasyidin menjelaskan, seluruh komponen pengambil kebijakan baru sadar dan merasakan pentingnya kontribusi akuntansi setelah terjadi krismon tahun 1998. ” Artinya, terjadinya krisis moneter itu karena perusahaan atau perbankan,  organisasi pemerintah dan kementerian, itu praktik akuntabilitasnya belum kuat. Sebab,  akuntabilitasnya  jelek, transparansinya jelek, akibatnya  perekonomian goyang dihantam krisis,” jelasnya.

Sejak itulah akuntansi diberi peran, audit BPK lebih diperhatikan. Menurut Eddy, agar akuntabilitas dan  transparansi diwujudkan. Contohnya, bagaimana  transparansi bisa dilakukan kalau keuangannya tidak tercatat, tidak dilaporkan sesuai dengan peraturan dan regulasi. Singkatnya, tidak dicatat dan tidak dilaporkan dengan benar. Akhirnya, informasi yang benar tidak sampai. Demikian juga akuntabilitas, yaitu bagaimana seorang pemimpin itu mempertanggungjawabkan keuangan yang dia kelola .

Menurut Eddy, sejak itulah di Indonesia mulai fokus memperkuat akuntansi atau keuangan.  Dan itu sudah dilakukan.  “Seperti yang saya katakan saya diminta bergabung dalam Dewan Standardisasi sebagai anggota. Ketika masa sulit itu, ketika masa-masa memperkuat akuntansi, apa yang bisa dilakukan agar praktik akuntansi menjadi kuat maka dirombaklah regulasinya, regulasi yang menyangkut akuntansi itu diperbaharui. Dan saya diajak ikut memikirkannya,” terang Eddy Rasyidin. 

Membangun Perguruan Tinggi Kebanggaan Urang Awak

Karena telah dikenal sebagai akademisi dan tokoh pendidikan,  suatu hari Eddy Rasyidin dipanggil Ir. H. Januar Muin (almarhum), seorang teknolog dan ahli listrik, berkarier di PLN dan telah membangun banyak proyek listrik di Sumatera . Januar Muin adalah orang Minang, insinyur dan teknokrat yang namanya harum secara nasional.

Peristiwa ini terjadi tahun 2013. Eddy Rasyidin dan Prof. Elfindri yang juga dosen FE Unand dipanggil oleh Januar Muin untuk datang ke rumahnya di Bukittinggi. Di sana sudah menunggu beberapa orang di antaranya Jusuf Suit (almarhum, mantan dirut BUN Bukittinggi) pendiri  Yayasan Indonesia Raya yang mengelola Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi, Sekolah Tinggi Pertanian, dan Sekolah Tinggi Bahasa Asing Haji Agus Salim Bukittinggi.

Januar Muin mengatakan kepada Eddy Rasyidin dan Elfindri, “Kami ini sudah tua, kalau kami meninggal pada siapa yayasan ini  kami tinggalkan untuk diteruskan,” katanya.

Karena pesannya seperti itu, baik Eddy Rasyidin maupun Elfindri tidak bisa menolak pesan tersebut. Sejak itu terjadilah pengalihan tugas, Prof. Elfindri sebagai Ketua Yayasan Indonesia Raya dan Prof Eddi Rasyidin sebagai wakil ketua yayasan.

Dengan  kekompakan pengurus, ketiga sekolah tinggi tersebut berkembang pesat. Kalau sebumnya jumlah peminat masuk sekitar 70-an orang, terus meningkat menjadi 200 orang per tahun. Bahkan, empat  tahun kemudian berhasil membeli lahan seluas 6.000 meter persegi seharga Rp12 milyar. Dan kini sedang bersiap membangun kampus baru di Guguak Bulek, Bukit Tinggi. STIE, STP dan STBA pun telah berubah jadi institut, Institut Teknologi dan Bisnis Haji Agus Salim.

Ini rapat Pengurus Yayasan, Pembina dan Pengawas Yayasan Indonesia Raya dengan Pimpinan Sekolah Tinggi Haji Agus Salim di lingkungan Yayasan Indonesia Raya.



Menjadi Datuk dan Kemajuan Balingka

Eddy Rasyidin menyadari bahwa selama ini ia sibuk bekerja, sehingga belum sempat terpikirkan kontribusinya untuk kampung halamannya, nagari Balingka. Namun, belakangan ini ia mulai berpikir apa yang bisa dilakukannya untuk membangun desa kelahirannya.

Sebagai seorang terdidik dan memiliki pengalaman baik sebagai perencana, organisatoris, manajerial, pendidik dan akuntansi, warga di pesukuannya telah meliriknya dan layak mendudukkannya sebagai datuk atau pemimpin. Sudah lama ia didaulat di pesukuannya Suku Pili, Pahambatan, Balingka, untuk menjadi datuk. Namun, selama ini ia menolak dengan alasan merasa tidak mampu. Tetapi, karena terus diminta, dan akhirnya muncul kesepakatan secara bulat, akhirnya Eddy Rasyidin bersedia menerimanya. Eddy diharapkan menggantikan penghulu atau datuk suku Pili, Datuk Basa yang 3 tahun lalu berpulang ke rahmatullah. “Tampaknya ini jalan yang dibukakan Allah kepada saya untuk memajukan nagari,” ucap Eddy Rasyidin.

Bagi Eddy Rasyidin, berbicara memajukan nagari Balingka tentu  dimulai dengan memajukan terlebih dahulu anak kemenakan di pesukuan, yang ujungnya itu anak nagari juga.

“Namun, yang jelas kalau kita berpikir memajukan anak nagari, yang dimaksud bukanlah anak nagari yang ada di rantau. Kalau yang di perantauan itu sudah selesai sama mereka”, paparnya.

Setelah sukses sebagai profesional, kini tantangan bagi Eddy, bagaimana sukses pula sebagai datuk memajukan anak nagari. Sebuah eksperimen yang mengombinasikan gaya  kepemimpinan profesional dan tradisional. Pasti memikat!