Porang dan Alat Pengering Edi Boekoesoe

Lama tak bersilaturahmi, pernah terpikir kalau beliau sudah tiada, maklum usianya sudah lanjut.  Saya bertemu beliau dalam usia sudah sepuh. Beliau mantan pengusaha kayu dan kelapa. Tahu-tahu, beliau muncul di facebook dan berinteraksi dengan akrab dengan topik ringan. Saya rasa usia beliau saat ini sudah 70 tahunan. Oh, beliau masih hidup! Merasa pernah terhubung, lalu saya hubungi nomor kontak beliau yang masih muncul di hape saya. Dia langsung merespon. Yang muncul di benaknya, saya (lebih tepatnya istri saya yang dia kenal pernah bekerja di Lembaga Zakat pioneer pada zamannya). Saya mungkin dia kenal sebagai jurnalis karena beberapa kali saya minta menulis di majalah tempat saya bekerja. Saat itu saya jurnalis majalah motivasi. Dari media itu, dia kenal Erie Sudewo sebagai pendiri sebuah Lembaga Zakat Nasional. “Kalau Anda dan Erie Sudewo bergabung, dan menghadap Direktur Utama Bank Syariah Indonesia, saya bersedia mendampingi. Saya ingin mewujudkan aplikasi 4M, Mengubah Mustahik Menjadi Muzakki,” katanya.

Ya, Edi Boekoesoe namanya. Asli Gorontalo, dan tinggal di Jakarta. Pertama ketemu saya, dia bicara sangat bersemangat, keinginannya untuk bisa memperbaiki nasib pengangguran di Indonesia. Caranya? Dengan memberi kesempatan kerja. Saat ngobrol pertama kali, keinginan itu masih belum lenyap. Ia bersyukur terhubung – lebih tepatnya saya hubungi. “Ini dia, orang yang lama saya tunggu akhirnya terhubung juga. Andalah orangnya, yang bisa meyakinkan Pimpinan BSI. Melalui Anda dan bersama Pak Erie Sudewo, saya yakin bisa menyediakan mesin uang kecil, ya aplikasi ini diwujudkan usaha industri skala kecil, pengolahan porang,” katanya. Nama latin komoditi itu Amorphophallus oncophyllus.

Saat jumpa pertama kali dengan saya, Edi Boekoesoe memperkenalkan prototype alat pengering. Tak disangka, Pak Edi kembali mengusung isu alat pengering itu pula. Mengapa? Masalah belum teratasi. Sejumlah komoditi yang harusnya bisa dipasarkan bahkan ke mancanegara, gagal jual karena ketiadaan alat pengering. Menurut Pak Edi, prinsip pengeringan, tak perlu selalu dengan panas matahari. Tidak akan teratasi hanya pengeringan dengan sinar matahari. Dan “alat pengering buatan” jangan lebih tinggi dari suhu panas alami. Kalau melebihi panas alami, akan merusak komoditi yang mau dikeringkan. Kalau itu yang terjadi, akan gagal usaha mengeringkannya. Edi Boekoesoe menjelaskan, pengering itu diadopnya dari Pak Katno, tenaga bengkel yang pernah direkrutnya spesial untuk merancang mesin pengering. Berdasarkan pengalamannya mengeringkan kayu kayu olahan, dan sukses pada zamannya, Edi pernah menanyakannya kepada seseorang.

“Berapa nilai yang diperlukan untuk bisa membuat mesin pengering berkapasitas 500 kubik kayu?” tanya Edi.

”1,5 miliar!” kata yang ditanya.

Mendengar itu, Edi segera minta opini banding. Seorang rekanannya asal Denmark –-Edi pernah berbisnis dengan orang Denmark—si orang Denmark ini mengatakan,

“Anda tanyakan saja Pak Katno, dia bisa membuatnya.”

Katno? Edipun sempat bertanya-tanya, ragu pada orang dimaksud.

Ya, Katno, memang tenaga bengkel yang pernah dipekerjakannya. Namun tak urung, ia menanyakannya juga kepada Katno. Pak Edi mendapat jawaban,

”Oh, gampang. Pakai sunnatullah.” Hah, saya diajar pula untuk memakai prinsip sunnatullah. Maka iapun bertanya,

“Apa maksudnya sunnatullah?

“Maksudnya, semuanya memperhitungkan suhu alam. Bagaimana alam memanaskan sesuatu, jangan sampai melebihi panasnya alam. Kalau tidak, yang mau dikeringkan akan kepanasan dan gagal kering.”

Demikian kata Katno. Dengan penjelasan itu, Edi jadi faham, mengapa porang yang sedang booming di berbagai daerah sedang ambruk. Ternyata ekses “pengeringan yang keliru” mengakibatkan porang yang mau dijual tidak laku. Alih-alih diserap pasar, justru ditampik pasar. Bukan salah porang-nya, tapi karena keliru cara pengeringannhya. Alih-alih kering, justru porang yang seharusnya kering, malah berjamur. Kalau dimakan manusia, berbahaya, beracun. Porang yang nama latinnya amorphophallus oncophyllus  atau amorphophallus muelleri merupakan tanaman herbal penghasil umbi. Tanaman ini banyak tumbuh di hutan tropis, salah satunya di Indonesia. Tanaman ini sedang booming, kabarnya porang sedang digandrungi di mancanegara, khususnya Jepang. Kini kita menghadapkan porang pada dua peluang: dibutuhkan pasar, sehingga akan diserap pasar ekspor, atau ditolak pasar luar negeri karena salah treatment.

Lalu apa solusinya? Dari obrolan dengan Pak Edi Boekoesoe, kita dengar bahwa kondisi salah treatment bukan harga mati. Masih ada kesempatan untuk menjalankan ujicoba “mesin uang” Pak Edi Boekoesoe. Dengan menjadikan mesin pengering yang diproduksinya bisa menjadi mesin uang (kecil). Semakin besar rencana menghasilkan (uang), harus bisa menggunakan mesin pengering itu untuk mengeringkan komoditi yang bernilai tinggi. Saya heran ketika mendengar masih ada yang mengidolakan “sumber pendapatan daerah” dengan mengeksplorasi pertambangan –-salah satunya nikel– di Sulawesi Tengah. Sementara sejumlah komoditi alam, salah satunya porang, malah sedang booming di Indonesia. Tidakkah kita berangsur-angsur kembali ke alam dan tidak mengandalkan eksplorasi tambang –apapun itu—dan mulai ramah lingkungan, setelah berbilang tahun –dengan modal asing atau dengan modal bangsa sendiri.

Bertolak dengan niat 4M, menjadikan mustahik menjadi muzakki, kita respon semangat muda Pak Edi, yang selalu bergairah karena berpikir positif demi orang banyak. Pak Edi yang selalu bersemangat muda, meskipin secara usia sungguh tidak muda lagi. Kita yang jauh lebih muda harus merasa malu, tak bosan berpikir “gampangan”, mengeksplorasi tambang, sementara ada Pak Edi yang masih bersemangat dengan alat pengering dan berikhtiar “menjadikannya mesin uang” sebagai cara berusaha demi nasib orang lain. Pak Edi, saya malu Anda masih bersemangat, sementara saya yang lebih muda bypass mengeksplorasi tambang, selain hal itu tak terbarukan, alih-alih memberi manfaat malah bisa mengundang peluang terjadinya bencana alam.