Syuhendri Seniman yang Jadi Datuk
Jika seorang pencinta seni menjadi penghulu atau datuk akankah menciptakan sebuah kontroversi di masyarakat. Terutama masyarakat yang kuat berpegang teguh pada adat istiadat seperti suku Minangkabau umumnya dan masyarakat Balingka khususnya?
Masyarakat memiliki penilaian tersendiri terhadap seniman. Ada yang mengatakan seniman orang yang egois dan susah diatur, menganggap karya dan pemikirannya sendiri paling benar, kurang terikat dengan “nilai,” cenderung bersikap bebas dan terkadang dianggap arogan.
Namun, seniman juga dinilai memiliki banyak karakter positif. Memiliki sifat terbuka, kreatif, dinamis, suka dengan ide-ide baru dan dialog, serta tertarik pada dunia cipta, terutama seni dan budaya yang bisa membuat masyarakat senang dan terhibur.
Anggapan yang rada “khusus ” tersebut rupanya dirasakan pula oleh Syuhendri Dt. Siri Marajo, Pangulu suku Pili, Koto Hilalang, Balingka, Kec. IV Koto, Bukittinggi, Sumatera Barat. Syuhendri yang merupakan ASN (Aparatur Sipil Negara, dulu PNS) pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan UPT Taman Budaya Sumatera Barat, juga seorang seniman, sutradara dan pelaku seni yang aktif di kota Padang. Kalau melihat penampilannya yang tidak formal dan bicara terbuka, orang pasti mengira ia bukan seorang penghulu, tapi menonjol sebagai budayawan dan seniman.
Darah seni putra almarhumah Yusnidar, jorong Koto Hilalang ini telah bersemi sejak usia dini, masa kanak-kanak tatkala masih duduk di bangku sekolah dasar. Saat duduk di kelas IV-V SD Syuhendri telah menjadi pemain drama. Dalam seni pertunjukan hiburan yang populer di Balingka disebut Tonil, yang pentas tiap hari raya, Syuhendri adalah salah satu bintangnya. Di bawah asuhan dua orang sutradara terkenal waktu itu Anis Rasyid dan Mak Sebe, Syuhendri menunjukkan talenta dan bakat untuk menjadi bintang teater. Dalam lakon yang berjudul “Salah Mencurahkan Kasih” karya Anis Rasyid, salah satu pemainnya adalah Syuhendri. “Salah Mencurahkan Kasih ” adalah karya adaptasi dari karya Usmar Ismail yang berjudul “Ayahku Pulang”. Inti ceritanya mengungkapkan tentang seorang ayah yang merantau, saat usianya uzur ia pulang ke kampung, namun di antara anaknya terjadi perselisihan pendapat dalam menerima orang tuanya. Anis Rasyid yang menulis ulang karya Usmar Ismail tersebut adalah salah seorang penggerak kegiatan Tonil di Balingka dengan panggung yang dibuat di sekitar kantor wali nagari dan sekolah Taman Raya atau Madrasah Tsanawiyah Negeri sekarang. Selain Anis Rasyid, kakaknya yang bernama Rasyidin Rasyid adalah juga motor yang menggerakkan pertunjukan sandiwara atau Tonil yang sangat digemari warga Balingka.
Prestasi yang gemilang dari kegiatan seni drama ini diraih tahun 1981. Ketika itu Syuhendri yang duduk di kelas Vl bersama kelompok seni dramanya mengikuti lomba Porseni se-Sumatera Barat, dan grupnya meraih juara 3. Sebuah prestasi yang mendapat acungan jempol dan apresiasi dari masyarakat Balingka.
Perkembangan bakat seni Syuhendri memang tersalurkan dengan baik saat sekolah dasar, namun ketika melanjutkan ke SMP dan SMA di Koto Tuo bakat seninya menjadi terpendam, tidak ada wadah untuk mengembangkan, kegiatan di sekokah hanya fokus untuk belajar.
Minat Syuhendri memang kuat ke bidang sosial, terutama seni dan budaya, termasuk sejarah, sedangkan ilmu eksakta dan matematika kurang disukainya. Karena itu ketika tamat SMA dan ikut tes Sipenmaru dan diterima di IKIP Padang (sekarang UNP) ia mengambil jurusan yang memang sudah menjadi cita-cita hidupnya, yakni jurusan seni drama, musik dan tari. ” Pemilihan jurusan ini
karena tidak ada matematikanya, walaupun saya masuk di jurusan musik yang sangat matematis dan fisika,” ujarnya.
Meskipun Syuhendri berasal dari keluarga miskin, ayah pedagang kecil dan ibu tidak punya pekerjaan jelas, kadang bertani dan menjahit, namun motivasi yang diberikan ibunya memberikan gairah dan kemauan kuat bagi Syuhendri untuk terus melanjutkan pendidikan. “Memang satu-satunya pilihan saya adalah sekolah, menjahit saya tidak punya bakat, bertani juga kurang minat. Soal rezeki ibu mengatakan, Allah pasti memberikan. Inilah yang membuat saya yakin untuk sekolah,” kenangnya.
Dengan keyakinan tersebut Syuhendri rileks saja menghadapi setiap rintangan dalam perjuangannya menempuh pendidikan. Ia pun melakukan apa yang bisa dilakukannya untuk memuluskan pendidikannya. Ketika masih SMA ia menabung sedikit-sedikit dengan harapan bisa membantu untuk biaya masuk perguruan tinggi. Meniru temannya anak seorang PNS yang menabung lewat kantor pos, Syuhendri melakukan hal yang sama. Ketika selesai SMA uang yang disisihkannya itu terkumpul Rp 250 ribu. Dari uang inilah Syuhendri membeli formulir masuk tes perguruan tinggi dan biaya selama tinggal di Padang untuk masuk tes IKIP Padang.
Pertama kali ke Padang tentu saja Syuhendri berpikir di mana bisa menetap. Nasib baik baginya ia bisa menumpang di Mesjid Al-abror. Marbot di mesjid tersebut bernama Muhammad Zain adalah orang Balingka dan kuliah di IAIN Iman Bonjol, Padang.” Marbot masjid disediakan kamar, sehingga saya bisa menumpang. Dari masjid inilah saya berangkat tes, tidur dan tinggal selama ikut test,” kisahnya.
Setelah lulus tes di IKIP Padang maka Syuhendri mulai menjalani kuliah. Ia mengambil Program D3 dengan harapan cepat bekerja. Ia menjelaskan, belajar di Padang dengan segala keterbatasan. Syuhendri bisa dibilang seperti nomaden, artinya tidak punya tempat tinggal tetap.
Awalnya, ia menumpang di rumah keluarga bapaknya selama 6 bulan. Merasa terlalu jauh, akhirnya pindah dan menumpang di rumah seorang seniornya yang masih kuliah bernama Elfikar. Namun, ada yang menguntungkan dari kuliah Syuhendri, karena mengambil jurusan teater, ia tidak banyak belajar teori, yang dominan adalah praktik. “Itulah sebabnya, saya tidak terlalu butuh tempat tinggal. Saya hanya perlu tempat untuk tidur dan istirahat. Dan semua perangkat saya mulai buku, pakaian dan lainnya ada dalam ransel, yang selalu saya bawa ke mana-mana di punggung,” kenangnya.
Syuhendri pun sejak kuliah telah mulai aktif berkesenian. Jika di Taman Budaya ada kegiatan, biasanya cukup.lama, sampai 6 bulan. “Karena kegiatan cukup
panjang, dan biasa disiapkan penginapan untuk pemain Jadi selama 6 bulan saya dapat penginapan gratis,” ungkapnya.
Rupanya, sejak menjadi mahasiswa di Padang kesempatan Syuhendri untuk berkesenian menjadi terbuka lebar. Ia mulai aktif tampil di pentas teater ” Bakat dan minat saya untuk berkesenian yang sempat terputus ketika SMA, pada saat kuliah bertaut kembali. Pertemuan dengan teater ini mungkin jodoh, karena ia muncul dari lubuk hati,” selorohnya.
Di Padang Syuhendri pernah ikut Porseni yang diadakan Kosgoro tahun 1988 mewakili grup jurusannya. Ini pertama kali Syuhendri ikut berkesenian melalui teater. Sejak itu Syuhendri mulai berkiprah lebih luas, selain berteater melalui kampus, Syuhendri juga mulai beraktivitas di banyak teater di Padang. Selama 4 tahun Syuhendri telah tampil di beberapa kota mengadakan pertunjukan , di antaranya di Medan, Padang dan Bukuttinggi. Dan juga telah ikut bermain teater dengan beberapa orang sutradara kondang seperti almarhum Wisran Hadi, BHR Tanjung sutradara senior asal Bayur, Maninjau, dan A Alin De.
Berteater dan kuliah itulah rutinitas yang dijalani Syuhendri selama di Padang. Pada tahun l990 ia berhasil menyelesaikan kuliahnya. Nasib baik begitu selesai kuliah ia ditawari menjadi ASN Taman Budaya Provinsi Sumatera Barat. Pada waktu bersamaan ia juga ikut tes untuk melamar jadi guru. Ia pun lulus dan diterima, namun untuk menjadi guru harus bersedia ditempatkan dimana saja. ” Namun, karena fashion saya di Taman Budaya maka saya batalkan jadi guru. Saya membuat perjanjian menolak kelulusan, sehingga kesempatan itu bisa diberikan kepada peserta lain,” jelasnya.
Menurut Syuhendri, ia diterima menjadi ASN di Taman Budaya Provinsi Sumatera Barat tahun l991 bukan karena prestasi di kampus, sebab ia merasa nilainya biasa saja. Belajar tatap mukanya pun serabutan. Kalau begitu bisa ditebak ia diterima menjadi ASN karena loyalitas berkesenian yang total dan konsisten. “Bagi saya yang penting tamat kuliah dan bekerja. Itu cita-cita awal saya masuk kuliah IKIP Padang dan memilih program D 3. Dengan begitu beban orang tua menjadi lepas dan saya bisa mandiri. Sebab, menjadi seniman itu belum tentu menjanjikan untuk hidup,” kilahnya.
Memang bagi Syuhendri bekerja di sektor formal seperti ASN cukup penting. “Saya waktu itu berpikir realistis saja. Idealisme untuk bekerja di luar pemerintah saat itu belum tertanam di pikiran saya,” imbuhnya.
Setelah selesai kuliah Program D3 dan bekerja, bukan berarti semangat Syuhendri untuk meningkatkan pendidikan telah pudar. Ia tetap berkeinginan untuk melanjutkan pendidikan. Pada tahun 1997 pimpinan Syuhendri di Taman Budaya memberi kesempatan kepada karyawannya untuk melanjutkan pendidikan. Tahun l998 Syuhendri melanjutkan Pendidikan ke IKIP Padang yang telah berubah nama menjadi UNP (Universitas Negeri Padang). Menempuh pendidikan sebanyak 3 smester akhirnya Syuhendri berhasil meraih S1, tetap di jurusan drama, teater, tari dan musik.
Mengakhri masa lajangnya pada tahun 1994 Syuhendri menikah dengan Zurmailis, wanita Pariaman yang mengajar di Universitas Andalas. Awalnya Zurmailis dosen magang, belakangan juga diangkat jadi dosen tetap sebagai ASN. Dari pernikahan dengan Zurmailis pasangan ini dikaruniani tiga orang anak, Aura Dhamira (25 tahun), Khaira Damira (21 tahun), Azzura Fatahanul Umara (20 tahun).
Pada tahun 2006 Zurmailis berangkat ke Yogyakarta mengambil program S 2 dan S 3 di Universitas Gajah Mada. Ditinggal istri terpaksa Syuhendri bekerja dan berkesenian, sambil mengasuh anak-anaknya yang ditinggal istri. Namun, ini hanya berlangsung 1 tahun. Pada tahun 2007 Syuhendri juga dapat kesempatan belajar untuk program yang sama , magister dan doktor. Ia dapat rekomendasi dari ISI ( Institut Seni Indonesia) Padang Panjang sebagai dosen luar biasa. Suami istri ini kemudian berhasil menggondol gelar doktor di kota gudeg ini.
Rupanya, sebagai dampak suami istri ini melanjutkan pendidikan di Jogja, keluarga mereka terpaksa harus boyong pula ke kota pelajar ini. Dan terpaksa pula melanjutkan sekolah di sana. Anak yang pertama Aura Damira adalah lulusan agro-pertanian UGM. Anak kedua Khaira Dhamira lulusan UGM jurusan planologi, kini ASN di Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK ) Jakarta. Anak ketiga Azzura Fatahanul Umara saat ini kuliah di dua perguruan tinggi, yaitu sebagai mahasiswa jurusan ilmu hadist di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan mahasiswa jurusan ilmu hukum di Universitas Islam Indonesia (UII). Azzura kuliah di dua perguruan tinggi ini tanpa dibebani bayaran karena mendapat bea siswa karena prestasi.
Membina Remaja Melalui Teater
Pada tahun 1993 Syuhendri sempat membuat grup teater sendiri dan tiap tahun aktif melakukan pementasan. Aktif bersama isterinya, grup teater ini ditujukan untuk membina remaja dan mahasiswa. Namun, grup teater ini terhenti ketika ia mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan ke Jogja. Setelah kembali dari tugas belajar maka ia mengaktifkan kembali grup teaternya. Grup teaternya diberi nama Kelompok Studi Sastra dan Teater Noktah (KSST) Noktah.
Awalnya grup teater ini berpusat di jalan Medan, Padang. Namun, belakangan setelah kembali dari Jogja, dipindahkan ke Jalan Purus, rumah kediaman Syuhendri. Ia ingin melakukan kesenian lebih terfokus pada masyarakat bawah. ” Kegiatan kesenian yang saya bangun selama ini di taman budaya dan tempat-tempat ekslusif lainnya, sasarannya kaum intelektual,seniman dan mahasiswa. Sekarang saya ingin lebih fokus pada masyarakat atau lingkungan sekitar,” ujarnya.
Menurut Syuhendri, Purus adalah wilayah marginal dan pinggiran. Secara ekonomi adalah menengah ke bawah dengan masyarakat yang beragam. Dan persoalan pun kompleks, bukan saja ekonomi tetapi juga kriminalitas, obat terlarang, prostitusi dan hukum. “Secara kultur saya paham daerah ini, karena itu saya berpikir apa yang bisa disumbangkan untuk lingkungan ini,” katanya.
Sebagai seorang seniman, maka melalui pendekatan seni Syuhendri membina dan mendidik mereka. Terutama, yang menjadi sasarannya adalah remaja dan anak-anak. Melalui teater yang dibangunnya Syuhendri mengadakan pentas pertunjukan dan melatih mereka ikut berkesenian . “Melalui kesenian saya melatih mereka memiliki kepekaan lingkungan, mempunyai toleransi, dan punya masa depan. “Paling tidak memutus mata rantai dari lingkungan sosial yang buruk dan kurang baik”, ujarnya.
Kegiatan lain yang dibuka Syuhendri di Purus ini adalah ruang baca, kegiatan kreativitas ,Taman Baca Masyarakat (TBM), dongeng, menulis, baca puisi, latihan drama dan banyak lainnya. Komunitas ini diberi nama Tanah Ombak. “Tanah Ombak ini kegiatannya gratis, tidak dipungut bayaran. Biaya operasional berasal dari sumbangan relawan, proses kreatif yang dilakukan, kerja sama dengan lembaga kebudayaan Perancis dan organisasi masyarakat”, terangnya,
Syuhendri menegaskan, bahwa kegiatan yang dilakukannya, yang menyangkut literasi dan lainnya itu intinya adalah membangun karakter dan mentalitas masyarakat. “Inilah gerakan yang saya lakukan sampai sekarang,” sebutnya.
Aktivitas Adat
Karena watak kesenimanannya yang terbuka untuk berbicara dan mengeluarkan pendapat Syuhendri terpilih menjadi datuk di pesukuannya Suku Pili Koto Hilalang Balingka, Bukittinggi, Sumatera Barat, dengan gelar Datuk Siri Marajo.
Sebagai datuk yang berasal dari golongan terpelajar, plus seniman yang memiliki pola pikir terbuka, apa adanya dan dinamis, Syuhendri memiliki.corak pandangan sendiri tentang adat. Cara pandangnya menekankan pada substansi dan bukan formalitas. ” Kalau saya memiliki tafsir tersendiri tentang adat, berbeda dengan tokoh-tokoh adat konvensional. Kalau tokoh konvensional datuk itu mesti berpakaian yang baik, pakaian adat , kopiah basiriang (kopiah khusus datuk). Sementara saya melihat kepenguluan itu adalah pimpinan dan kepemimpinan. “Kepemimpinan itu tidak diperlihatkan secara verbal, kepemimpinan itu lebih kepada wawasan dan pemikiran buat warga kita,” tuturnya.
Bagi Syuhendri, persoalan adat itu harus kontekstual dengan persoalan kekinian. Kontekstual dengan kebutuhan milenial.”Saya menafsirkan adat tidak verbal, tetapi selalu konteks dan sesuai dengan kegunaan. Sebab adat itu barang buatan, sejauh tidak melanggar sunnah dan nilai-nilai Islam , dia bebas ditafsir apa saja. Jadi, bagi saya adat itu bukan rumah gadang, bukan pelaminan, bukan pakaian pengulu. Itu hanya ornamen atau simbol. Adat yang paling esensial itu adalah yang ada dalam diri kita. Adat laku pusaka kata (adat itu tingkah laku dan kata).Tabalitajua (bisa membeli dan bisa menjual ). Lamak diawak lamak di urang (enak di kita enak juga sama di orang lain),” rincinya.
Berbicara pusaka adat , menurut Syuhendri, pusaka itu bukan harta, pusaka itu kata. Kata itu yang jadi pusaka.” Katopertamoditapati, katokaduokatobacari (kata pertama ditepati, kata kedua dicari-cari). Orang yang mencari-cari kata adalah orang pendusta.Jadi, hati-hati mengeluarkan perkataan. Jadi yang harus dijaga perkataan, apalagi bagi seorang pimpinan atau datuk. Jadi hilang rumah gadang, hilang pelaminan tidak masalah, selama adab tidak hilang dalam diri kita. Tafsir seperti inilah yang perlu kita tingkatkan kepada anak cucu kita,” harapnya.
Menyangkut adat sebagai warisan masa lalu menurut Syuhendri, adalah hikmah yang harus dipelajari. Sedangkan masa kini harus dijadikan fase-fase yang berkualitas untuk menopang masa depan yang lebih baik,” urainya.
Menurut Syuhendri, konsekuensi pandangannya tentang penafsiran adat yang “lebih maju” ini telah dijelaskannya kepada warga sukunya ketika terpilih jadi datuk. “Saat diangkat jadi penghulu saya tandaskan dengan jelas. Saya seorang seniman, lingkungan saya kesenian, lingkungan saya tidak formal dan jauh dari pencitraan,” terangnya.
Namun, meski telah dijelaskan visinya tentang adat tersebut, bagi masyarakat Balingka tidak urung ada saja yang melekatkan gelar khusus bagi Syuhendri. Ia disebut Datuk Gaul dan Datuk yang Seniman.
Sebagai orang asli Balingka, tentu Syuhendri mafhum, kebiasaan memberi “gelar” dan julukan itu juga kebiasaan perilaku orang Balingka !
Penulis lepas, pernah bekerja sebagai redaktur Panji Masyarakat, tinggal di Tangerang Selatan, Banten.