Hidup Mewah dan Boros

Menurut Imam Fakhruddin Ar-Razi,   dalam Tafsir Kabir, mewah adalah orang yang disombongkan oleh kenikmatan dan dan kemudahan (fasilitas) hidup. Ibn Khaldun menyebut kebiasaan hidup mewah ini menimbulkan korupsi. Untuk itu, mereka berbohong, berjudi, menipu, berbuat curang, mencuri, bersumpah palsu, dan seterusnya. Karena lihairnya beberapa keinginan yang diakibatkan oleh kemewahan, kata Ibn Khaldun, orang-orang pun berusaha mengetahui cara-cara dan bentuk-bentuk immoralitas. Di Indonesia kita megealnya antara lain dalam bentuk KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme)

Jika kemewahan dan segala akibat yang ditimbulkannya itu meluas dalam suatu negeri, maka kita akan menyaksikan kehancuran negeri itu. Allah berfirman: “Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup di negeri itu (supaya menaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan di negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (Q.S. 17:16).

Hidup  mewah juga merupakan faktor utama datangnya bala dan azab serta jauhnya pertolongan Allah. Seperti dinyatakan dalam sebuah firman: “Hingga apabila Kami timpakan azab kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri mereka, dengan serta mereka memekik minta tolong pada hari ini. Sesungguhnya kamu tidak akan mendapat pertolongan dari Kami.” (Q.S. 23:64-65).

Apa bedanya hidup mewah dengan boros atau mubazir?

Memang tidak sinonim. Di dalam kemewahan, pasti terdapat unsur pemborosan, namun orang boros belum tentu mewah. Akan tetapi,  sebagaimana halnya hidup mewah, hidup boros pun amat tercela dalam pandangan agama. Bahkan Tuhan menyebut pelakunya sebagai teman setan. “Walaa tubadzir tabdziraa. Innal mubadziriina kaanu ikhwaanasy syayathiin. Wa kaanasy-syaithaanu lirabbihi kafuura.  (Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros (tabdzir). Sesungguhnya para pemboros adalah saudara-saudara setan, dan setan sangat ingkar kepada Tuhannya.” (Q.S. 17: 26-27).

Ar-Razi mengartikan tabdzir sebagai menghambur-hamburkan harta dan membelanjakannya dalam kemewahan. Ia mengutip penuturan Utsman ibn Aswad yang suatu kali bertawaf bersama Mujahid. Tatkala pandangannya tertuju ke bukit Abu Qubaisy, kata Utsman, Mujahid berkata:

“Kalau seseorang membelanjakan uangnya dalam jumlah seperti itu (seraya menunjuk ke bukit) untuk taat kepada Allah, maka ia bukan tergolong orang yang boros Tetapi kalau seseorang membelanjakan satu dirham pada jalan kemaksiatan, ia termasuk golongan yang boros.”

Kata Utsman, orang-orang yang  mendengar perkataan itu, serta serta menyumbangkan hartanya dalam jumlah banyak. Tetapi, kata dia, “ada juga orang-orang yang bekomentar, ‘Tak ada gunanya menyumbang harta secara boros dan melampaui batas seperti itu.” Apa kata Mujahid? “Tidak ada kata boros dalam hal kebaikan.”