Khilafah: Dari Petunjuk Alquran Sampai Makna Historis Politis

Salah satu persoalan yang menyita banyak perhatian ketika orang membincangkan pemikiran politik Islam adalah tentang khilafah. Persoalan kepemimpinan politik atau imamah ini muncul setelah Nabi wafat, karena memang tidak ada petunjuk baik dalam Quran maupun hadis yang terkait dengan siapa yang beliau tunjuk untuk meneruskan kepemimpinann beliau, atau bagaimana tatalaksana penggantian atau suksesi kepemimpinan tersebut. Lalu muncullaah ijmak atau kesepakatan di antara para sahabat untuk menangkat Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai penerus kepemimpinan beliau yang digelari khalifatu rasulillah alias pengganti atau penerus (kepemimpinan) Rasulullah. Penggantinya Abu Bakr, Umar ibn Al-Khaththab, disebut khalifatu Abi Bakr khalifaatu Rasulilillah, penerus Abu Bakr yang meneruskan Rasulullah, dan seterusnya sampai Utsman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib – yang semuanya disebut sebagai al-khulafaur rasyidun. Lantaran terlalu panjang, maka sebutan mereka diringkas menjadi khalifah. Gelar ini kemudian digunakan oleh penguasa dari Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah dan seterusnya sampai para penguasa Turki Usmani.

Jadi apa yang sekarang sering disebut-sebut sebagai khilafah Islamiyah itu sesungguhnya merupakan hasil kesepakatan atau ijmak para sahabat sepeninggal Rasulullah. Dengan kata lain, konsensus para sahabat yang kemudian berkembang menjadi bagian dari fikih siyasah (pemikiran politik (Islam) ini sejatinya tidak berpijak pada sumber pokok ajaran, yakni Alquran dan Sunnah Rasul (Hadis).

Dalam Alquran memang terdapat ayat-ayat yang membicarakan khilafah maupun khalifah. Misalnya, yang sering dikutip, adalah surah Al-Baqarah ayat 30 dan surah Shad ayat 28. Kedua ayat ini dianggap yang paling memungkinkan dibanding ayat-ayat lainnya seperti QS 6:165; QS 7: 69,74); QS 10: 14,73, QS 27: 62, dN Q. 35:39.   Namun, menurut sejumlah mufassir ayat-ayat itu tidak mengindikasikan adanya perintah untuk membangun sebuah sistem politik di dalam Islam. Seperti dikemukakan Ahmad Syafii Maarif dalam bukunya Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara (2006:18), apa yang disebut oleh pemikiran politik Islam tentang khilaafah atau imamah pada abad pertengahan, hanyalah punya sedikit hubungan atau malah tidak sama sekali dengan Alquran dan Sunnah Nabi yang sejati.

Allah berfirman, dalam surah Al-Baqarah ayat 30, “Dan ingatlah ketika Tuhanmu berkata kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi,’ mereka berkata, ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji-Mu dan menyucikan-Mu?’ Tuhan menjawab, ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui’.” Menurut Zamakhsyari, seperti dikutip Muhammad Abdullah Darraz (20..), makna khalifah dalam ayat di atas adalah penghuni bumi sebagai pengganti penghuni sebelumnya, yakni Adam dan keturunannya. Jadi, yang dimaksud sebagai khalifah dalam ayat tersebut adalah ditujukan kepada Adam baik secara personal maupun kepada manusia secara umum sebagai keturunan Adam. Pendapat ini didukung mufassir lainnya seperti Fakhruddin Ar-Razi yang menyatakan, bahwa kedudukan Adam sebagai khalifah dimuka bumi itu merupakan penghormatan dan pengagungan Allah  kepada Adam dan anak cucu keturunannya. Dengan begitu, bisa kita simpulkan bahwa ayat ini tidak hanya berbicara tentang Adam sebagai seorang khalifah, tetapi juga manusia pada umumnya yang juga mengemban misi tersebut – dan karena itu sama sekali tidak berbicara mengenai khalifah dalam konteks kepemimpinan politik dalam Islam.

Berikutnya adalah surah  Shad ayat 26: “Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janaganlah mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan Hari Perhitungan.”  Para mufassir, di antaranya Zamakhsyari, Razi, Baidhawi, Abu Bakar Jabir Al-Jaziri, sebagaimana dikutip Darraz, bersepakat  bahwa makna  “khalifah” dalam ayat ini adalah “pengganti”. Yakni pengganti para nabi sebelumnya dalam mengemban tugas kenabian, sebagai pengatur berbagai urusan manusia. Dengan kata lain, khalifah di sini dimaknai sebagai sebuah missi kenabian, yaitu menegakkan kebenaran dan keadilan di kalangan manusia yang bersumber dari ketentuan dan petunjuk Allah – dan sama sekali  tidak terkait dengan persoalan politik keduniaan.

Pertanyaannya: mengapa pengertian khalifah dalam kedua ayat itu bergeser menjadi pengertian yang lebih bersifat politis?