Erie Sudewo (1): Metamorfose Seorang Juru Warta

Dunia jurnalistik, dunia empati. Penghayatan, memberi bobot artikel yang ditulis seorang jurnalis. Jurnalis, profesi yang ditekuni pada awal kariernya, menjadikan dirinya didapuk sebagai direktur Dompet Dhuafa, institusi perintis yang menginspirasi Indonesia bahkan dunia Islam sehingga hirau pada kekuatan zakat sebagai filantropi Islam. Dialah Erie Sudewo, jurnalis yang plus dengan potensinya tetap berempati atas derita sesama, berkarya dengan pengelola zakat dan tetap menulis.

Dua puluh lima September 1957. Cimahi, Bandung nan asri, bertambah satu warga lagi. Erie Sudewo namanya. Di tengah keluarga militer ini, Erie kecil dididik menjadi anak berpembawaan tegas, penuh disiplin. Erie tumbuh dalam keluarga yang berkecukupan. Ia memperoleh kesempatan belajar yang memadai sebagai bekal hidup.

Erie Sudewo yang tegap dan bertampang dingin itu, ternyata pribadi lembut hati yang kerap terhenyak menyaksikan kenyataan hidup. “Saat ayah saya meninggal, tahun 1973, saya dihadapkan kenyataan pahit. Di sekitar saya terlihat kemunafikan.” Apa itu? Rupanya, sejumlah orang yang pernah baik terhadap keluarganya, sikap baiknya pudar setelah sang ayah berpulang. “Ketika ayah hidup, banyak sekali relasi atau tamu yang datang. Tapi, ketika beliau sudah meninggal, tak satupun relasi dan tamu yang suka datang ke rumah. Sejak saat itu, saya lebih sering memposisikan diri sebagai bagian dari orang-orang yang kalah. Saya jadi sering bergaul dengan mereka yang kalah dan diperlakukan kurang adil,” ungkapnya. Situasi batin inilah, yang membentuk karakter Erie muda.

Menjadi Jurnalis

Dengan susah payah, anak yatim ini bertekad membekali diri dengan pendidikan sampai ke jenjang tertinggi. Tak heran, kalau ia bisa belajar meraih sarjana. Kampus Universitas Indonesia, menjadi tempatnya belajar. Ia sempat pindah kuliah dari jurusan arsitek yang banyak butuh biaya, ke jurusan arkeologi. Eri suka agak sungkan menyebut latar belakang kesarjanaannya. “Maklum, ada yang bilang, itu ilmu sesat. Kan belajarnya, pakai menggali-gali kubur segala,” ujarnya bergurau.

Erie bukan tipe orang yang senang bercerita hal-hal pribadi. Yang pasti, ia tipe orang keras hati, tak suka banyak bicara. Bekerja dan berbuat, lebih menjelaskan eksistensinya ketimbang melontarkan pendapat. Saat itu, sempat terungkap, bagaimana Erie muda berjuang untuk tetap survive. Bagaimana tidak, saat masih semester VI, tepatnya tahun 1982, ia sudah menikah. Ia mempersunting gadis Betawi,  Tutti Yusuf namanya. Keluarga muda ini penuh perjuangan. Apa saja ia lakoni demi menghidupi keluarga.

Erie pernah berdagang kecil-kecilan, misalnya, berjualan T-Shirt dan lain-lain. “Yang penting halal,” ujarnya. Erie pernah menjadi pegawai negeri. “Wah, saya tidak kuat menghadapi kultur di dalamnya. Akhirnya saya keluar,” kenang Erie. Salah satu kultur yang membuatnya tak nyaman, kondisi “banyak nyantai” di instansi tempatnya bekerja. “berat rasanya makan gaji buta,” ungkapnya.

Selain berdagang, Erie mulai menulis artikel-artikel bertema budaya. Ia menikmati dunia barunya, dunia jurnalistik. Sudah senang karena pendapatnya dibaca orang, mendapat honor pula. Akhirnya, dunia jurnalistik ia seriusi. Ia total menjadi jurnalis. Ia pernah bekerja di beberapa media masa. Antara lain harian Bisnis Indonesia, Berita Buana dan terakhir harian Republika.

Empatik

Jurnalistik, adalah dunia empati. Tanpa empati, sulit menghasilkan tulisan yang “bertenaga”. Buat Erie, dunia jurnalistik memberinya banyak hikmah. “Saya bisa berdakwah melalui tulisan-tulisan saya. Hal ini saya lakukan karena saya berpikir bahwa berdakwah bukan hanya milik orang-orang yang pandai berbahasa Arab atau yang pandai mengaji Quran, meskipun memang dakwah itu punya standarnya sendiri. Standar dari memakai baju adalah rapi, begitu juga standar menaruh sandal, lalu kenapa kita tidak berdakwah dengan hal-hal tersebut yang sesungguhnya amat mudah kita lakukan” ujar alumnus Arkeologi Universitas Indonesia (UI) 1985 ini.

Masa kanak-kanak dan masa remaja yang keras, di tengah ikhtiar bertahan hidup dan sikap munafik, membuat Erie punya sikap yang khas dalam hidup. Kepekaan sosialnya menajam. Suatu ketika, sejumlah orang berteriak “Maling, maliing”. Sebuah bayangan berkelebat, terengah-engah. Kian dekat dengan massa pengejarnya. Maling itu tertangkap. “Saya tidak bisa melihat ketidakadilan terus berlanjut seperti itu,” kenang Erie. Ia tanpa ragu, mencegah massa untuk tidak main hakim sendiri. “Alhamdulillah, maling itu tidak sampai babak-belur apalagi mati di tangan massa,” ungkap bapak empat anak ini.

Boleh jadi, sikap empatiknyalah yang memperkuat kerja-kerja jurnalistiknya. Dari sana, citra dirinya mencuat. Tak heran kalau dalam urusan-urusan sosial, ia kerap ketiban sampur. Saat di media cetak terakhir tempatnya mengabdi sebagai jurnalis membentuk embrio yayasan penghimpun zakat, ia dipercaya sebagai penanggungjawabnya. Jadilah, Erie Sudewo, selain kepala sekretariat harian umum Republika, ia juga ketua Dompet Dhuafa Republika. Dari sinilah, sebuah sejarah perzakatan modern ditancapkan.

Zakat yang Membebaskan

Setelah kian banyak berkiprah, hampir satu tahun lamanya, kemudian orang menyebut “Dompet Dhuafa Republika”, punya kesan bangga dan mengapresiasi lembaga ini sebagai aset umat yang patut didukung. Dulu? “Wah, sepi dukungan. Waktu proses pembentukannya saja, dari sekian orang yang diajak berembug, yang datang segelintir saja,” kenang Erie Sudewo. Sejak mendapat amanah menangani Ikatan Silaturahmi Republika (ISR), yang mengelola zakat, infak, sedekah karyawan Republika, Erie merasa perlu sharing dengan rekan-rekannya. Ia mencoba mengundang seluruh manajer di harian tempatnya bekerja. Ia ingin mendapat masukan dari rekan-rekannya.

Hari itu, kata Erie, ia ingat benar, Rabu pagi, tahun 1993. Undangan rapat pukul 10.00, pukul 11.00, baru datang satu orang. “Yang datang, Yayan Sofyan. Itupun cuma untuk pamitan tidak bisa ikut rapat.” Begitulah, kata putra purnawirawan TNI-AD ini. Saat itu, belum banyak lembaga sosial yang bisa dibanggakan, sehingga wajar saja kalau banyak yang masih memandang sebelah mata. “Buat saya, itu pembakar. Oke, lihat saja, bagaimana lembaga ini nanti,” batin Erie meneguhkan tekad.

Diabaikan dalam manajemen Republika, buat Erie, banyak hikmahnya. “Malah kita tidak direcoki. Saya bisa berbuat apa saja dengan tenang,” kenang tokoh yang pernah jadi anggota dewan pakar Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini. Sebagai anak yatim sejak 1973, jauh sebelum negeri ini banyak mengalami ‘apa-apa’, ayahnya Sumarno sudah berpulang dalam usia 44 tahun. “Jadi, jangan ajari saya tentang kemiskinan. Saya mengalaminya sendiri,” ujarnya.

Sedikit demi sedikit, dana zakat, infak, sedekah (ZIS) karyawan Republika, disalurkan kepada yang berhak. Rekan-rekan di redaksi, mendukung dengan pemberian ruang khusus untuk lembaga yang diberi nama Dompet Dhuafa Republika (DDR) ini. “Bukan sekadar karena mereka kasihan, tapi tulisannya memang layak muat. Saya sudah biasa menulis, no problem dengan  artikel-artikel bernuansa human interest itu,” ungkapnya.

Pemuatan artikel itu, diikuti dengan pelibatan pembaca harian ini mendonasikan kelebihan hartanya. Laporannya dimuat setiap hari. Dari sini, kepedulian pembaca koran yang saat itu tengah mekar-mekarnya, tersalur dengan baik. Luar biasa, dalam tempo singkat dana sosial yang dihimpunnya mencapai angka fantastis baik dari sisi jumlah rupiahnya maupun jumlah orang yang berderma. Apa kuncinya? “Kelola semuanya dengan hati. Bekerjalah dengan sungguh-sungguh, profesional, jujur, dan selalu berusaha melipatgandakan manfaat di setiap kerja yang dilakukan,” kata Erie.

Faktor penting lainnya, manajemen puncak Republika memberi keleluasaan bagi DDR memanfaatkan fasilitas perusahaan. “Melahirkan DDR, jelas sebuah keputusan politik. Saat itu kekuatan konglomerasi sedang jaya-jayanya. Membela kaum miskin, bisa berkonotasi anti-kemapanan, anti status-quo atau bahkan kiri. Republika, malah membuka rubrik DDR setiap hari. Ini juga ikut menggalang kepercayaan publik terhadap Republika. Tanpa peluang itu, perkembangan DDR takkan sepesat itu,” papar Erie.

Kunci sukses lainnya, selama itu, manajemen DDR benar-benar independen. Sampai tahun keenam, posisinya yang masih nebeng fasilitas harian Republika di jalan Warung Buncit, Jakarta Selatan, jauh dari intervensi perusahaan terhadap pengelolaannya. Kalau pun pada gilirannya, harian Republika memperoleh dampak social marketing dari kiprah DDR, wajar saja karena dia yang melahirkannya.

DDR, membuktikan, bagaimana zakat secara nyata dengan manajemen profesional, bisa membebaskan dhuafa. Kalaupun tidak sertamerta dari kemiskinan materi yang melilitnya, minimal dari rasa diabaikan oleh sesamanya. Satu sen dua sen zakat, infak atau sedekah muslimin yang digalang melalui DDR dan tiba di tangan mereka, menyadarkan mereka, ada yang mempedulikannya.        

Intervensi dari Luar

Harian Republika dan DDR, bersimbiosis mutualistis. Peneguhan keberpihakan, membangun citra positif harian ini. DDR sendiri sebagai pengelola zakat, tumbuh menjadi ikon tersendiri dalam ikhtiar membantu kaum miskin negeri ini. “Jurnalisme airmata” yang mengisi rubrik DDR, menyentakkan kepedulian. Semangat berderma, meluas. Wajah sosialnya yang cemerlang, dilirik banyak pihak.  

Tapi tidak semua lirikan itu, bernada positif. Kasak-kusuk politicking mulai menerpa. Kepemimpinan Erie Sudewo di DDR, mulai diguncang. Apa masalahnya? Ada beberapa orang penting yang punya kepentingan dengan memanfaatkan citra positif DDR. Siapa? “Ada lah. Diantaranya, beberapa menteri. Mereka ingin bermain dengan DDR dengan mengganti kepalanya. Tapi kan DDR tidak bisa diganti seenaknya, karena DDR tak punya kaitan struktural dengan harian Republika.”  Mengapa Erie mau digusur? “Saya kira, karena saya keras kepala. Saya selalu menolak proyek-proyek yang bernuansa politis. Sejak lahir sampai kapan pun, insyaAllah, DDR tetap berkhidmat untuk membantu kaum dhuafa dan nonpolitis,” ujarnya tegas. Di bawah kepemimpinan Erie,  terbangun sebuah corporate culture amilin DDR yang pelan tapi pasti, menepis citra pinggiran lembaga zakat.

Saat Erie Sudewo kuliah lagi di Asian Institute Management (AIM), Manila, Philipina tahun 1995, ada yang menduga, itu dalam rangka memberi sedikit jarak antara Erie Sudewo dan DDR. “Ah, itu cuma dugaan orang. Saya tidak merasa dijauhkan dari DDR. Justru di AIM, saya mendapat hikmah. Di komunitas nonmuslim, saya bisa memperkenalkan dengan bangga, bahwa di negara saya, ada DDR sebagai lembaga swadaya masyarakat yang dengan dana zakat, bisa eksis tanpa tergantung kucuran dana funding asing. Independensinya pun tidak diragukan,” ungkap Erie.

Dari rahim DDR, lahir sejumlah institusi pelopor dengan spesialisasi program yang menukik pada kepentingan perlawanan nyata terhadap kemiskinan. Dengan kesabaran, ketekunan, sikap tawadhu’ dan tanpa banyak bicara, DDR secara konkret melawan kemiskinan. Jamaah yang solid, diimami Erie Sudewo, mewujudkan ungkapan sahabat Ali bin  Abi Thalib, “Kalau kemiskinan itu berwujud manusia, niscaya aku tebas lehernya.”  DDR, menebas kemiskinan di tepat di lehernya. Tetapi, memang, kemiskinan adalah sebuah konstelasi raksasa yang memerlukan kejamaahan lebih luas. “DDR, baru sebutir pasir di padang pasir kemiskinan,” ungkap Erie merendah.

Lengser saat di Puncak

Sebagai President (dulu sebutannya Chief Executive Officer) DDR, Erie pernah ke kawasan bencana sosial seperti Timur Timur menjelang jajak pendapat, beberapa kali ke Aceh,  bahkan ke Iraq saat negeri itu menjelang bombardemen Amerika, untuk menyalurkan bantuan kemanusiaan. Secara sistematis, ia mengondisikan tersusunnya budaya korporat, pembangkit energi positif bagi gerak lembaga. Semuanya, amat sederhana. Tapi menjadi bernilai, ketika itu diputuskan bersama dan dengan komitmen tinggi, semua amilin DDR menaatinya.

Apa sajakah itu? Antara lain, shalat tepat waktu, taushiyah harian, berdoa bersama sebelum bekerja, menghormati tamu, rendah hati, berprasangka baik, dan efisiensi di semua aktivitas. Di DDR, berkas-berkas bahan rapat yang tak perlu diarsipkan, dicetak dengan  kertas bekas. Tak boleh ada pemborosan sekecil apapun, di DDR.

Orang-orang lama DDR pasti masih ingat benar, sebagai pimpinan, Erie selalu mengingatkan kalau melihat lantai kurang bersih. Pengumuman menyolok, pernah terpampang di pintu DDR “Pastikan, bahwa sepatu anda benar-benar bersih saat masuk ruangan ini.” Kata Erie, DDR berkhidmat untuk dhuafa, dengan centang-perenang “budaya miskinnya” yang sulit dibenahi. Mereka tak bisa diceramahi, tetapi diberi keteladanan. “Interaksi setiap amilin DDR dengan kaum dhuafa, adalah proses mentransfer keteladanan. Bagaimana bisa mengubah kultur kaum dhuafa, kalau kita sendiri jorok?” kata Erie.

Ruang penerimaan mustahik, saat itu mungkin “termewah” dibanding yang disediakan lembaga lain. “Kita ada karena mereka. Kita bekerja untuk dhuafa, mengapa menerima dhuafa harus di ruang sempit dan pengap sementara menerima donatur, di ruang ber-AC? Kalau kita biasa bersih, teratur, memperlakukan setiap tamu tanpa perbedaan, insyaAllah, dhuafa pun belajar langsung bagaimana hidup bersih, dan merasakan nikmatnya kebersihan dan kehangatan dalam ukhuwwah islamiyah.” (Bersambung)