Perjalanan Berliku Isra Amir dari Guru ke Puncak Birokrasi
Jarang terjadi seorang anak yang masih di bawah umur memiliki kesadaran untuk meraih pendidikan yang baik. Biasanya, mereka lebih suka bermain dan berkumpul dengan teman seusianya untuk melakukan hal yang menyenangkan.
Namun, bagi Isra dalam usia yang masih dini, seumur SD, ia sudah berpikir jauh ke depan. Bahkan, ia mampu memetik hikmah dan pelajaran dari pengalaman serta peristiwa yang terjadi di lingkungan keluarga dan kakak-kakaknya.
Drs. Isra Amir, M.Pd yang kini menjabat Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kab. Agam, Sumatera Barat, sebelum meraih puncak karier di birokrasi saat ini, mencapainya melalui jalan yang tidak mudah. Ada perjuangan yang menuntut kesabaran, kegigihan dan ketabahan, yang tentu saja juga pengorbanan.
Di awal menamatkan Sekolah Dasar tahun l976, ketika hendak melanjutkan ke SLTP, ayahnya Amiruddin menginginkan ia masuk madrasah tsanawiyah. Isra yang waktu itu baru berusia 12 tahun (lahir 18 Februari 1964) menolak masuk tsanawiyah, ia ingin masuk SMP.
Yang menarik adalah alasan penolakannya. Ia berkaca pada dua orang kakaknya, Erizal dan Mirwan yang sekolah di tsanawiyah Balingka, namun keduanya gagal alias tidak tamat. Yang satu putus di tengah jalan dan yang satu lagi tidak tamat alias tidak menerima ijazah. ” Sejak itu saya tidak pernah bercita-cita masuk tsanawiyah, tetapi saya ingin masuk SMP ,”ujarnya.
Menurut Isra, kegagalan dua orang kakaknya itu menjadi pemicu baginya untuk masuk SMP dan memotivasinya untuk giat belajar dan sekolah. ” Coba bayangkan, ayah kami seorang guru, sedangkan anaknya gagal sekolah,” kenangnya.
Memang ayah Isra adalah seorang guru dan kepala sekolah SD Negeri 2 Balingka, namanya Amiruddin, masyarakat akrab menyapanya Pak Amir. Ia cukup lama memimpin SD Negeri 2 Balingka dan telah melahirkan banyak lulusan. Semua warga Balingka pasti mengenal Pak Amir. Ia pun pernah menjadi pejabat Wali Nagari Balingka dan Kepala Desa Pahambatan 2 periode ” Semangat saya untuk sukses dalam pendidikan karena ingin menggantikan ayah saya sebagai guru,” tegas Isra.
Keberuntungan buat Isra adalah sebuah SMP Negeri baru dibuka di Koto Tuo, 5,5 KM dari Balingka. Dengan segera ia mendaftar disana, namun sekolah yang cukup jauh ini terpaksa ditempuh setiap hari dengan berjalan kaki. Yang melelahkan adalah Balingka itu tipografi daerahnya mendaki dan menurun, sehingga ketika pulang sekolah harus menempuh jalan menanjak ,cukup membuat kaki terasa letih.
Menurut Isra, ia tidak pernah sekolah naik kendaraan umum, karena tidak punya uang untuk ongkos. Namun, karena berjalan bersama-sama temannya sebanyak 9 orang, kelelahan tidak terasa. Kesempatan naik kendaraan hanya ada kalau kebetulan lewat truk, dan mereka diizinkan untuk naik.
Karena jarak sekolah yang cukup jauh itu, Isra dan teman-temannya sering terlambat, akibatnya hampir setiap hari mereka kena hukum disuruh berbaris. Namun, ini ada hikmahnya, suatu hari kepala sekolah dan guru minta diantar ke Balingka. Sebabnya, sekolah memesan untuk membuat bangku dan meja pada seorang tukang di Balingka. Setelah beberapa lama pesanan itu belum juga selesai sehingga kepala sekolah ingin melihat langsung pesanannya. Oleh karena itu Isra dan teman-temannya diminta untuk mengantarkan ke Balingka.
Mereka kemudian naik kendaraan hingga pangkalan, setelah itu perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki. Alangkah terkejutnya guru tersebut, karena perjalanan yang cukup jauh dan mendaki pula. Padahal, jarak yang mereka tempuh baru separo perjalanan yang dilakukan Isra dan kawan-kawannya. “Jadi kamu sekalian tidak naik kendaraan ke sekolah, hanya menempuh perjalanan kaki,” ujar guru itu heran. Setelah mengetahui kondisi murid-muridnya itu, maka Isra dan kawan-kawannya tidak lagi dihukum bila terlambat datang sekolah. “Sebenarnya, kalaupun kami terlambat paling hanya 10 menit,” ujar Isra.
Isra menamatkan SMP tahun l980 setelah menempuh pendidikan sejak tahun 1976. Karena cita-citanya ingin menjadi guru menggantikan profesi ayahnya, maka Isra memasuki Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Jurusan Sekolah Dasar. Dalam masa sekolah guru ini ia tidak lagi pulang pergi dari Balingka, tetapi kost di daerah Birugo, Kodya Bukittinggi.
Ketika tamat SPG tahun 1983, dalam waktu bersamaan dibuka peluang untuk jadi guru PNS dan Sipenmaru. Isra mengikuti Sipenmaru dan tidak mengikuti tes pegawai jadi guru. Cita-citanya memang ingin kuliah. Karena merasa bakal lulus di Sipenmaru ia mengesampingkan ujian penerimaan pegawai negeri. Ternyata, ia gagal atau tidak diterima Sipenmaru, sedangkan ujian PNS guru juga sudah terlewat waktunya, akibatnya lebih 3 bulan ia menganggur. Dalam masa pengangguran inilah ia mengisi waktunya dengan menjadi guru honorer di SD Kotohilalang, Balingka.
Pada tahun 1984 ia kembali mengikuti test penerimaan guru dan dinyatakan lulus sebagai pegawai negeri, namun penempatannya di sebuah daerah yang sangat terpencil, perbatasan dengan Pariaman. Yaitu di SD Inpres 4/82 Padang Tui Unit II Kecamatan Tanjung Mutiara. Sebelum bertugas, Isra meninjau lokasi tempat penugasan tersebut. Di antar kenalannya Adi Warsito , guru olah raga di SD Kotohilalang, Balingka. Keduanya mengendarai motor mencari lokasi sekolah tersebut. Sebelumnya, ayahnya Amiruddin meminta dibatalkan saja karena lokasinya yang jauh dan terpencil.
Setelah menelusuri banyak jalan dan acap bertanya, akhirnya bertemu kampung tersebut. Di jalan raya di Ghasan Kecil, kawasan sekolah tersebut, masyarakat menginfokan sekolahnya dengan menunjukkan sebuah kampung. Tapi tidak bisa dilalui kendaraan, dari sini kendaraaan harus dititipkan. Perjalanan selanjutnya harus berjalan kaki menempuh jalan setapak, diteruskan meniti di atas pematang sawah dengan membuka alas kaki, selanjutnya meliwati hutan dan rimba, menyeberangi dua sungai kecil, dan tidak menemukan rumah penduduk. Setelah menempuh perjalanan satu jam barulah ketemu sekolah SD Inpres tersebut, dan itulah satu-satunya rumah yang ada.
Setelah memasuki bangunan sekolah dan bertemu dengan para guru yang semuanya wanita. Ada empat orang guru, dan dua orang ternyata teman Isra waktu sekolah di SPG, namanya Herlina asal Lubuk Basung dan Helmawati asal Pariaman. Setelah Isra menceritakan bahwa ia dapat pengangkatan ( SK) di sekolah Inpres ini, kedua rekannya sangat gembira karena bakal ada teman guru pria. ” Syukurlah Isra, itu bagus, terima saja pengangkatan ini,” saran keduanya. Namun, Isra mengatakan belum bisa memutuskan melihat lokasinya yang terpencil, sepi dan di tengah hutan, tidak ada penduduk dan rumah satupun. “Kamu ini kan laki-laki, bagaimana tidak berani, kami saja perempuan sanggup,” tandas temannya memberikan semangat.
Setelah melaporkan apa yang dilihatnya, lengkap dengan kondisi, situasi tempatnya bakal ditugaskan kepada ayahnya, Amiruddin, sang ayah masih menyarankan untuk membatalkan pengangkatan, apalagi ibunya juga mendengar tradisi di Tiku, Pariaman, bahwa laki-laki jika sudah jadi pegawai bakal banyak yang melamar untuk dijadikan menantu. Tradisi tersebut dikenal dengan sebutan tradisi Penjemputan. Namun, Isra sudah bertekad dan memantapkan hatinya untuk menerima tawaran tersebut dan siap bertugas mengajar sebagai guru di SD Inpres ini. “Ayah, tolong izinkan saya bertugas, karena keinginan saya untuk menjadi guru, menggantikan ayah. Saya hanya fokus mengajar, tidak ada niat yang lain,” ujar Isra, pada kedua orang tuanya, yang amat mengkhawatirkan anaknya pergi.
Akhirnya, setelah kedua orang tuanya mengizinkan, bahkan ikut mengantar kepergiannya. Isra, juga membawa sebuah sepeda batang dari rumah milik ayahnya, untuk digunakan pulang pergi mengajar di tempatnya bertugas.
Memang Isra tidak langsung bertugas di SD Inpres tempat ia di SK-kan. Ia kemudian di karyakan di sekolah SD yang ada di pinggir jalan, namanya Tiku Pasir. Kebetulan kepala sekolah SD tersebut yang bernama Pak Taslim merangkap kepala sekolah tempat Isra ditugaskan. Sebab, muridnya belum lengkap, yang ada baru Kelas 1 sampai Kelas IV. Selama 2,5 tahun Isra dikaryakan di sekolah ini. Dan ia cukup merasa betah karena daerah ini datar, berpasir dan panas, wajahnya sedikit menjadi hitam karena naik sepeda tiap hari.
Setelah muridnya cukup lengkap di sekolah yang baru, akhirnya Isra terpaksa pindah kesana dan bergabung dengan guru wanita yang jumlahnya 4 orang, dan juga sudah ditetapkan kepala sekolah yang baru dari guru wanita tersebut. Di sekolah Inpres ini Isra bertugas selama 1,5 tahun. Ia cukup menjadi andalan di sekolah ini, selain mengajar ia bertugas membuat surat menyurat,mengetik dan lainnya, ternyata hanya Isra yang menguasai administrasi surat menyurat ini. Yang lain tidak ada yang mampu.
Setelah 4 tahun mengajar di Padang Tui, Kecamatan Tanjung Mutiara ini (1984-1988), Isra ingin pindah penugasannya dengan tujuan agar bisa kuliah. Untuk itu ia mengajukan permohonan kepada Kepala Kandep Pendidikan Kec. Tiku. Namun, Kepala Kandep menyarankan agar tidak pindah, karena ia satu-satunya guru pria di sekolah Inpres yang baru itu. Namun, Isra bersikeras minta pindah karena ingin kuliah. “ Kalau mau pindah silakan minta izin kepala sekolah,” kata Kepala Kandep. Sayang, kepala sekolah juga tidak memberikan izin, apa pun alasannya. “Kalau mau pindah silakan urus sendiri ke atas, kalau saya tidak akan memberikan izin,” kata kepala sekolah yang wanita tersebut.
Akhirnya terpaksalah Isra minta tolong kepada Kepala Kandep Pendidikan. Isra memang sudah akrab dengannya, sebab sewaktu mengajar di SD ketika dikaryakan ia sering bermain ke kantor Kandep dan suka membantu mengetik, membuat surat dan lainnya. Dan Kandep ini juga minta pindah ke kampungnya di Baso, Bukittinggi. “Mendengar Kepala Kandep bakal pindah, saya juga mendesaknya agar saya juga dipindahkan Akhirnya, Kandep sendiri yang mengurus surat pindah saya, hanya 15 hari, surat pindah selesai,” jelas Isra.
Dari guru ke birokrasi dan pemecatan
Isra pindah ke kampung halamannya sendiri di SD Inpres 10/73 Balingka. Sesuai keinginannya untuk kuliah, hari itu ia langsung mendaftar kuliah di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Ahlussunnah dengan mengambil jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni/Pendidikan Bahasa dan Sastra. Tamat tahun 1993 dengan meraih gelar doktorandus. Pada tahun itu juga keluar peraturan setiap guru SD minimal harus lulus Program D 2. Beruntung bagi Isra karena ia sudah meraih doktorandus atau setara S1 sehingga sudah melebihi target.
Setelah 7 tahun menjabat guru SD Inpres 10/73 (1988-1995) pada tahun 1995 sampai 1999 Isra diangkat sebagai Kepala SDN 07 Pahambatan Kecamatan IV Koto menggantikan Pak Nawazir yang sudah uzur. Pertimbangannya, karena Isra sudah sarjana. Kemudian Isra mengikuti pelatihan bagi para kepala sekolah SD di Padang. Dari 100 orang peserta diklat Isra satu-satunya yang termuda.
Yang juga menggembirakan, golongan atau kepangkatan Isra disesuaikan karena ia sudah S1 yaitu menjadi golongan 3 A. Padahal, awalnya ia adalah golongan 2 C, sehingga dengan kenaikan menjadi golongan 3 A ia melompati waktu sepanjang 8 tahun.
Pada akhir tahun 1997 datang pemberitahuan dari Kandep Pendidikan bahwa akan datang Tim ke sekolah yang dipimpin Isra untuk menilai kemampuan dan kepemimpinannya. Tim itu untuk menilai Isra yang akan diangkat jadi Pengawas atau penilik sekolah. Mendengar informasi tersebut Isra merasa kurang yakin karena sepengetahuannya pengawas atau penilik itu umumnya guru-guru yang sudah senior, padahal Isra merasa dirinya baru guru yunior dengan pengalaman yang masih minim. Kepala sekolah saja baru 2 tahun. Namun, menurut Kandep bahwa Isra pantas jadi penilik karena ia sudah sarjana. Akhirnya, tim yang menguji memutus Isra lulus dan ditugaskan sebagai pengawas di Kecamatan Tanjung Raya, Maninjau.
Pengalaman yang berkesan selama 3 tahun menjadi penilik di Maninjau (1999-2002) adalah bagaimana mendisiplinkan guru. Mereka datang ke sekolah rata-rata jam 9.00 dan pulang tetap jam 12.30, padahal jam sekolah seharusnya jam 8.00 sudah mulai belajar. Berbagai upaya dilakukan agar guru datang tepat waktu, baik saat mulai belajar maupun usai jam sekolah. Untuk itu Isra selalu datang pagi hari, meski guru belum ada yang muncul. Hampir satu tahun keadaan ini berlangsung, melalui berbagai upaya penyadaran. Pada tahun kedua dan ketiga usaha ini baru menunjukkan hasil sehingga seluruhnya telah disiplin mengikuti jadwal masuk sekolah yang normal. Selama menjadi penilik Isra pulang pergi Balingka- Maninjau, untungnya sejak diangkat jadi pengawas Isra mendapat bantuan sebuah motor Susuki A 100 sehingga memudahkannya dalam bertugas. Namun, sejak menjadi pengawas ini Isra tidak lagi ikut mengajar, padahal ketika menjadi kepala sekolah sekali-sekali masih nengajar menggantikan guru yang tidak datang.
Hanya satu tahun menjadi penilik di Kec. Tanjung Raya Maninjau, pada tahun 2002-2003 ia dimutasi menjadi penilik di Kec.IV Koto Kab. Agam. Sejak menjadi penilik disini, Isra sering menjadi nara sumber dan memberikan penataran buat para guru dan kepala sekolah yang ada di Kabupaten Agam. Ia menyampaikan apa yang ia terima dari penataran di Pusat, terutama setelah dapat bekal dari penataran di Padang, kemudian disampaikan atau disosialisasikan pula kepada para guru yang ada di Kab. Agam.
Melihat kiprah Isra ini, akhirnya di ujung tahun 2003 Isra ditawari untuk mengabdi langsung di Dinas Pendidikan Kabupaten Agam. Awalnya, Isra merasa ragu apakah bisa bekerja di birokrasi, karena latarbelakangnya seorang guru SD. Namun, setelah dipikirkan secara matang akhirnya diputuskannya untuk diterima. Sejak ini berakhir lah karirnya sebagai guru dan pindah ke lingkungan birokrasi. Jabatannya Kasi Tenaga Teknis Subdin Dikdas dan Prasekolah Dinas Pendidikan Kebudayaan dan Olahraga. Tugasnya, menangani masalah guru kalau ada yang pindah dan naik pangkat. Cakupan tugasnya juga lebih luas yaitu kabupaten bukan lagi kecamatan.
Namun, jabatannya sebagai Kasi ini juga tidakkah lama, hanya 9 bulan. Ia kembali di mutasi sebagai Kasi Kurikulum Pendidikan Dasar dan Pra Sekolah Dinas Pendidikan Kabupaten Agam. Sejak ini Isra sering keluar daerah antara lain ke Jakarta, Medan dan lainnya untuk membahas masalah kurikulum untuk pendidikan dasar dan pra sekolah. Tugas ini dijalani selama 4 tahun.
Kemudian sejak 2008 sampai 2012 Isra naik jabatan sebagai Kepala Bidang Pendidikan SD Dinas Pendidikan,Pemuda dan Olah Raga. Sebagai Kabid maka Isra membawahi tiga seksi yaitu seksi sarana, kurikulum dan personalia atau tenaga teknis. “Di sini urusannya banyak berhubungan dengan proyek, sebagai guru saya terpaksa harus belajar untuk menanganinya,” ujarnya.
Namun, ketika menjabat Kabid ini terjadilah peristiwa yang tidak diduga oleh Isra. Pada tahun 2011 terjadi Pilkada di Kabupaten Agam. Dan, pada tahun tersebut ia sempat pula menemani ayahnya untuk naik haji. Sang ayah karena usia sudah lanjut perlu ada yang menemani. Untuk itu Isra minta cuti sampai selesai pulang melaksanakan haji. Tetapi, setelah pulang dari haji dan masuk kantor ia menerima surat yang isinya diberhentikan sebagai Kabid. Ia, tidak tahu alasan pemberhentiannya. Ia ditaruh sebagai asisten staf pembangunan dan perekonomian. Dan jabatan ini tidak punya job, tidak ada pekerjaan. Ia mencoba mencari tahu alasan pemberhentiannya, ditanya apakah ia tidak bisa bekerja dengan baik, jawabannya bahwa ia bisa bekerja dengan baik. Dari informasi yang didapatkannya, ternyata ada penyesatan informasi yang dituduhkan kepadanya bahwa ia diduga membantu salah satu calon rival pilkada yang kalah. Itulah alasan kenapa ia diganti sebagai kepala bidang. Tentu saja Isra merasa heran karena selama ini ia tidak pernah aktif dalam politik, apalagi membantu salah satu kandidat yang ia tidak kenal sama sekali, yaitu Guspardi Gaus yang sekarang menjadi anggota DPR-RI.
Tiga bulan lamanya Isra merasa tidak bekerja dan hanya menerima gaji buta sebagai asisten staf pembangunan. Akhirnya, karena merasa tidak tahan dengan situasi tersebut Isra minta berhenti dari jabatan asisten staf tersebut dan minta dikembalikan menjadi pengawas atau penilik sekolah. Meski ada yang menasehati supaya tetap bertahan dengan jabatan asisten staf, namun Isra kukuh ingin kembali jadi penilik atau pengawas sekolah. Permintaannya dikabulkan dan ia kembali jadi pengawas sekolah di tingkat kecamatan yang dijabatnya dari tahun 2012-2013.
Namun, jika kita memang tidak bersalah ada saja masa dimana kebenaran bisa terungkap dan nama kita dipulihkan kembali. Demikian pula yang dialami Isra, kemungkinan bupati terpilih waktu itu Dr. Ir.Indra Catri MT telah menerima kebenaran dan informasi yang sesungguhnya, bahwa Isra memang tidak ada sangkut pautnya dalam kegiatan politik atau pilkada bupati Kab. Agam. Akhirnya, dalam beberapa kali kesempatan dan pertemuan dengan bupati Indra Cakti beliau sendiri meminta agar Isra kembali aktif di kantor kabupaten. Isra menerima tawaran tersebut dan menduduki jabatan yang baru yaitu sebagai Sekretaris Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga, dan pangkatnya juga naik menjadi golongan IV B.
Hanya 3 tahun Isra menjabat Sekretaris Dinas Pendidikan dan Olah Raga (2013-2016). Pada tahun 2017 Isra malah menjadi orang nomor satu di dinas pendidikan menjadi Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Agam. Ia terpilih melalui kontestasi lelang jabatan. Jabatan ini dipangkunya sejak 2017 sampai sekarang, dan golongannya pun naik menjadi golongan IV C. Sesuai pepatah, ternyata sengsara membawa nikmat
Isra merasa apa yang diraihnya sekarang sudah melebihi cita-citanya. Dulu, harapannya hanya ingin menjadi guru menggantikan ayahnya, kini malah menjadi Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Agam, sebuah jabatan yang cukup prestisius.
Menurut Isra, dalam bekerja di birokrasi kuncinya harus loyal pada atasan sejauh itu sesuai undang-undang dan tidak melanggar aturan, kemudian kita menganggap semua orang sebagai sahabat dan teman, walaupun ia memusuhi kita.
Menurut Isra, jabatan kepala dinas 70 persen ditentukan secara politis , hanya 30 persen kinerja. Namun, saat ini sudah banyak kemajuan, tidak semua orang bisa ditentukan oleh bupati, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, selain golongan atau kepangkatan, juga melalui seleksi lelang jabatan. ” Menjadi kepala dinas itu godaannya luar biasa, dan resikonya juga berat. Separo kaki kita ada di penjara, dan separo lagi ada di tepi jurang. Karena itu bisa juga terseret ke KPK. Hanya orang yang bekerja dari dasar hati dan amanah yang bisa berjalan dengan aman,” ingatnya.
Isra, yang bersaudara 9 orang dengan latar belakang ayah seorang guru, merasakan hidup yang prihatin. Dari mulai sekolah dasar sudah biasa bekerja membantu orang tua, mulai bertani hingga menjajakan dagangan berkeliling kampung. “Karena itu kita harus sering melihat ke bawah, prihatin dan membantu mereka,” ujar Isra, yang sejak 2010 menjadi datuk di persukuannya, dan juga menjadi Ketua KAN (Kerapatan Adat Nagari) Balingka.
Dengan jabatan tersebut suami dari Hernety dan ayah dari Rahmi Febria Haris dan Al Qadri Haris ini ingin berbuat lebih banyak dan mengabdi di kampungnya. Semoga sukses!
Penulis lepas, pernah bekerja sebagai redaktur Panji Masyarakat, tinggal di Tangerang Selatan, Banten.