MUHAMMAD MAHFUDZ AT-TIRMASI, ULAMA HADIS TERKEMUKA DARI TREMAS
Syekh Mahfudz At-Tirmasi, kelahiran Tremas, Jawa Timur, menjalani karier intelektualnya di Tanah Suci. Di Makkah pula, pengarang produktif ini tutup usia. Meskipun tidak pernah mengajar di pesantren yang didirikan kakeknya, Pesantren Tremas justru dikenal luas berkat reputasi keilmuan Syekh Mahfudz. Apa kehebatannya dalam mengarang kitab?
Nama lengkapnya Muhammad Mahfudz bin Abdullah At-Tirmasi. Populer disebut Syekh Mahfudz Tremas. Dialah ulama Jawi paling berpengaruh pada zamannya. Lahir tahun 1258 H/1868 M. di Tremas, Pacitan, Jawa Timur, Mahfudz menghabiskan sebagian besar hidupnya di Makkah, tempat para kiai Jawa yang paling berpengaruh pada awal abad ke-20 menjadi murid-muridnya. Mahfudz amat berjasa dalam memperluas cakupan ilmu-ilmu yang di pelajari di pesantren-pesantren di Jawa, termasuk hadis dan usul fikih.
Meskipun tidak pernah mengajar di Pesantren Tremas, Mahfudz ikut mengangkat nama harum pondok yang didirikan kakeknya dari pihak ayah itu. Abdul Mannan Dipomenggolo, sang kakek, mendirikan Pesantren Tremas pada 1830. Sampai sekarang pesantren tua yang sering dihubung-hubungkan dengan Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini masih eksis, dan bisa diakses lewat dunia maya. Sebelum mendirikan pesantrennya, Abdul Mannan belajar di Pesantren Tegalsari asuhan Kiai Kasan Besari (Hasan Basri), yang salah satu muridnya adalah pujangga Ronggowarsito. Setelah itu dia berangkat ke Timur Tengah dan belajar pada Sayyid Muhammad Ash-Shatta’ di Makkah dan pada Ibrahim Al-Bajuri, syeikh Al-Azhar. Setelah Abdul Mannan wafat pada 1862, putranya Abdullah menggantikan kepemimpinannya di Pesantren Tremas.
Muhammad Mahfudz adalah putra tertua Abdullah. Dia memperoleh pelajaran dasar agamanya dari sang ayah. Beranjak remaja, dia dikirim belajar ke Makkah. Dia belajar pada seorang ulama penganut mazhab Syafi’i yaitu Sayyid Bakri atau Abu Bakr bin Muhammad Ash-Shatta’ Ad-Dimyati, putra guru kakeknya di Makkah. Sepanjang hayatnya, Mahfudz memang dekat dengan keluarga Shatta’. Keluarga terpelajar ini berasal dari Dimyat, Mesir. Mahfudz bahkan diangkat menjadi anak, dan dikubur di tengah-tengah keluarga Shatta’. Mahfudz juga belajar pada kolega dan sekaligus rival Sayyid Bakri, yaitu Muhammad Said Ba-Basil, yang menggantikan Ahmad bin Zaini Dahlan sebagai mufti Makkah dari mazhab Syafi’i. Dia juga belajar pada sejumlah ulama Indonesia yang bermukim di Makkah, seperti Syekh Nawawi Banten (Nawawi bin Umar Al-Jawi Al-Bantani), `Abdul Ghani Al-Bimawi dan Muhammad Zainuddin As-Sumbawi. Semuanya mengajar di Masjidil Haram.
Mahfudz tidak kembali ke Nusantara, dan memilih berkarier di Makkah, tempat dia menjadi guru yang ulung. Sewaktu Abdullah wafat pada tahun 1894, adiknya, Dimyati, yang menjadi kiai di Tremas. Anak-anak Abdullah lainnya adalah Kiai Haji Dahlan yang juga pernah belajar di Makkah. Sekembali dari Tanah Suci dia diambil menantu oleh Kiai Shaleh Darat Semarang. Lainnya adalah Kiai Haji Muhammad Bakri yang ahli qira’ah, dan Kiai Haji Abdur Razaq, ahli thariqah dan mursyid yang punya murid di mana-mana.
Kiai Dimyati memang punya andil besar dalam memajukan pesantren Tremas. Tapi, berkat reputasi Mahfudz-lah Tremas menjadi dikenal lebih luas, meskipun, itu tadi, beliau tidak pernah mengajar di sana. Di antara murid-muridnya yang berasal dari Indonesia adalah Kiai Haji Hasyim Asy’ari, Kiai Haji Bisri Syansuri dan Kiai Abdul Wahhab Hasbullah, yang kelak mendirikan Nahdhatul Ulama di tahun 1926. Kita ketahui, ketiga kiai ini merupakan murid Syekh Mahfud yang paling terkenal dan diakui berkat kegiatan politik mereka di Tanah Air.
Dia juga mengajar sejumlah murid, dan beberapa di antaranya menjadi ulama yang berpengaruh, sebut misalnya Ali Al-Banjari, penduduk Makkah asal Kalimantan Selatan, Muhammad Baqir Al-Jugjawi, wong Jogja yang juga bermukim di Makkah, Kiai Haji Muhammad Ma`shum Al-Lasami, pendiri pesantren Lasem, Jawa Tengah (ayahandanya Kiai Ali Maksum dari Pesantren Krapyak Yogya dan pernah jadi Rais Aam PBNU), Abdul Muhit dari Panji Sidoarjo, pesantren penting lainnya dekat Surabaya. Memang banyak di antara murid Syekh Mahfudz yang mendirikan pesantren. Kiai Hasyim sendiri adalah pendiri Pesantren Tebu Ireng, dan kiai pertama yang mengajarkan kumpulan hadis Bukhari. Sedangkan Kiai Bisri, menantunya, pendiri pesantren Tambakberas, yang juga pernah menjadi Rais Aam PBNU. Kedua kiai besar ini, kita ketahui, adalah engkongnya KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, mantan presiden kita itu.
Penulis Produktif
Muhammad At-Tarmasi boleh dibilang penulis produktif. Dia mengarang sejumlah kitab tentang berbagai disiplin keislaman, seluruhnya ditulis dalam bahasa Arab. Sayang, banyak karyanya yang belum sempat dicetak, dan beberapa di antaranya bahkan dinyatakan hilang. Salah satu bukunya yang dicetak ulang dan digunakan di pesantren sampai sekarang adalah Manhaj Dhawi an-Nazar, salah satu karya tingkat lanjut mengenai tata bahasa Arab. Tapi yang paling terkenal adalah Mauhibah Dzi al- Fadl . Kitab fikih empat jilid ini merupakan syarah atau komentar atas karya Abdullah Ba Fadhl Al-Muqaddimah al-Hadhramiyyah. Kitab ini boleh dibilang jarang diajarkan di pesantren, lebih banyak digunakan oleh kiai senior sebagai rujukan dan sering dikutip sebagai salah satu sumber yang otoritatif dalam penyusunan fatwa oleh para ulama di Jawa.
Dua kitabnya di bidang usul fikih adalah Nailul Ma’mul, syarah atas karya Zakariyya Anshari Lubb Al-Ushul dan syarahnya Ghayat al-Wushul, dan Is’af al Muthali, syarah atas berbagai versi karya Subki Jam’ al-Jawami. Sebuah kitab lainnya mengenai fikh yaitu Takmilat al-Minhaj al-Qawim, berupa catatan tambahan atas karya Ibn Hajar Al-Haitami Al-Minhaj al-Qawim.
“Muhammad At-Tarmasi boleh dibilang penulis produktif. Dia mengarang sejumlah kitab
tentang berbagai disiplin keislaman. Seluruhnya ditulis dalam bahasa Arab.
Sayang, banyak karyanya yang belum sempat dicetak, dan beberapa di antaranya bahkan dinyatakan hilang.”
At-Tirmasi juga menaruh minat pada seni baca Al-Qur’an (qira’ah). Untuk itu pula, dia menulis kitab Al Fawaid at- Tarmisiyah fi Asanid al- Qiraat al Asy’ariyah, Al-Budur al Munir fi qiraah al-Imam Ibnu Katsir, Tanwir ash Shadr fi Qiraah al Imam Abi ’Amr, Al-Fuad fi Qiraat al Imam Hamzah, Tamim al Manafi fi Qiraat al-Imam Nafi’, dan Aniyah ath-Thalabah bi Syarah Nadzam ath Tayyibah fi Qiraat al- Asy’ariyah.
Selain itu, ada dua karya lainnya tentang bibliografi dan riwayat pengarangnya. Yakni Kifayat al-mustafid li-ma `alla min al-asanid, mengenai jalur transmisi (sanad) dari para pengarang kitab-kitab klasik sampai guru-gurunya, dan As-Saqayah al-Mardhiyyah fi Asma’i Kutub Ashhabina al- Syafiiyah, kajian atas karya-karya fikih mazhab Syafi’i dan riwayat para pengarangnya.
Diceritakan dalam kitab Kifayatul Mustafid bahwa Syekh Mahfudz selain masyhur sebagai seorang alim yang khusyuk dalam ibadah, tawadu dalam tingkah laku, rida dan sabar di dalam sikap, juga sebagai seorang ahli dalam Hadis Bukhari. Beliau diakui sebagai seorang isnad (mata rantai) yang sah dalam pengajaran Shahih Bukhari. Ijasah ini berasal langsung dari Imam Bukhari itu sendiri yang ditulis sekitar 1000 tahun yang lalu dan diserahkan secara berantai melalui 23 generasi ulama yang telah menguasai karya Shahih Bukhari, dan Syeikh Mahfudz a merupakan mata rantai yang terakhir pada waktu itu.
Dalam menulis, konon Syekh Mahfudz ibarat sungai yang airnya terus mengalir tanpa henti. Gua Hira menjadi tempatnya mencari inspirasi. Dia biasa menghabiskan waktunya di gua tempat Nabi menerima wahyu-Nya yang pertama itu. Kecepatan Mahfudz dalam menulis kitab, juga boleh dibilang istimewa. Kabarnya, kitab Manhaj Dhawi an-Nazhar beliau selesaikan dalam 4 bulan 14 hari. Mahfudz mengatakan bahwa kitab ini ditulis ketika berada di Mina dan Arafat.
Mengingat karyanya yang berbagai-bagai itu, tidak berlebihan kiranya jika Syeikh Yasin Al-Padani, ulama Makkah asal Padang, Sumatera Barat, yang berpengaruh pada tahun 1970-an, menjuluki Mahfudz At-Tarmasi: al-alamah, al-muhadits, al-musnid, al- faqih, al- ushuli dan al- muqri.
Yang menarik, kitab-kitab karangan Syeikh Mahfudz tidak hanya dipergunakan oleh hampir semua pondok pesantren di Indonesia, tapi konon banyak pula yang dipakai sebagai literatur wajib pada beberapa perguruan tinggi di Timur Tengah, seperti di Maroko, Arab Saudi, Irak dan negara-negara lainnya. Bahkan sampai sekarang di antara kitab-kitabnya masih ada yang dipakai dalam pengajian di Masjidil Haram.
Muhammad Mahfudz At-Tirmasi wafat pada hari Rabu bulan Rajab tahun 1338 Hijrah bertepatan dengan tahun 1920 M.