Wali Sanga (10): Sunan Bonang, Sang Penggubah Syair Tombo Ati
Orang ramai mengenal syair Tombo Ati antara lain lewat nyanyian musisi Opick (Aunur Rofik Lil Firdaus) atau suara Kyai Kanjengnya Cak Nun (Emha Ainun Nadjib, semoga Allah cepat mengangkat penyakitnya, red). Sejatinya syair Tombo Ati (bahasa Jawa: penyembuh Jiwa) berasal Sunan Bonang, yang selain dikenal sebagai waliullah di Tanah Jawa, juga seorang sastrawan. Ia banyak menggubah sastra berbentuk suluk atau tembang tamsil. Selain Tombo Ati, ia menciptakan Suluk Wijil yang dipengaruhi kitab Ash-Shidiq karya Abu Sa’id Al-Khair.
Tembang atau lagu dan syair Tombo Ati masih disenandungkan di pesantren-pesantren dan langgar-langgar di pelosok Tanah Air, sebagai bagian dari solawatan menjelang sembahyang. Selain direkam dan dirilis beberapa penyanyi dan kelompok musik, seperti disebutkan tadi.
Tombo Ati iku limo perkorone/Kaping pisan moco Kuran lan maknane
Kaping pindo sholat wengi lakonono/Kaping telu wong kang soleh kumpulono
Kaping papat wetengiro ingkang luwe/Kaping limo zikir wengi ingkang suwe
Salah sawijine sopo iso ngelakoni/Mugi-mugi Gusti Allah nyembadani/
(Obat hati ada lima perkaranya/Yang pertama baca Qur’an dan maknanya/Yang kedua sholat malam dirikanlah/Yang ketiga berkumpullah dengan orang saleh/Yang keempat perbanyaklah berpuasa (literal: perut lapar)/Yang kelima dzikir malam /perpanjanglah/Salah satunya siapa bisa menjalani/Moga-moga Allah Ta’ala mencukupi)
Upaya mencerna Tombo Ati, lirik syair ini niscaya mengantar anda ke alam masa lalu. Memahami pesan dari lirik itu, klop kalau Sunan Bonang kasih judul Tombo Ati (Obat Hati).
Menurut pitutur Sunan Bonang, salah satu dari Wali Songo yang dikisahkan dalam narasi yang kita terima, begini kisahnya. Suatu ketika rombongan Sunan Bonang dalam perjalanan melalui Tuban (Jawa Timur), dicegat perampok.
“Kami cuma membawa gamelan,” kata pria bersurban dengan jubah putih yang memimpin rombongan santri.
“(Penampilan) Kalian bukan niyaga (pemain gamelan Jawa)! Coba kalian mainkan gamelan itu. Kalau kalian bohong, bukan hanya harta kalian tapi nyawa kalian juga kami cabut!” kata kepala garong yang bernama Kebondanu itu.
Dimainkanlah perangkat musik itu. Sang pemimpin rombongan melantunkan suluk dalam macapat dengan merdu. Suluk itu berisi pesan tasawuf yang dikenal dalam masyarakat Jawa dan Madura dan ditulis dalam bentuk puisi dengan metrum (tembang) tertentu seperti sinom, wirangrong, kinanti, asmaradana, atau dandanggula.
Suluk itu begitu menggetarkan hati yang mendengar. Tak terkecuali para garong. Kaki Kebondanu seketika lemas, tubuhnya menggelosor ambruk ke tanah. “Tobaaat….. Hentikan tembang kalian!” teriak Kebondanu.
“Tidak ada yang salah dengan tembang ini. Kalian mungkin terlalu banyak punya niat buruk dalam hidup,” kata sang pemimpin santri itu dengan nada tenang.
“Saya nyerah….saya nurut perintah Ki Sanak,” kata Kebondanu dengan tubuh menggeliat-geliat di atas tanah seperti cacing kepanasan. Musik pun dihentikan. Kebondanu bernafas lega. Dengan tubuh yang masih lemah dia bersimpuh dan memohon kepada pimpinan rombongan untuk bersedia menjadi guru dan membimbing jalan hidupnya.
Sang pimpinan rombongan memperkenalkan diri sebagai Susuhunan dari Bonang, sebuah desa di perbatasan Rembang, Jawa Tengah dengan Tuban di Jawa Timur. Para santrinya lebih mudah menyebut dia dengan Sunan Bonang. Sejak saat itu Kebondanu menjadi pengikut setia dan santri yang taat. Sunan Bonang memang dikenal sebagai penyebar Islam yang tak pernah lama menetap di satu wilayah. Beliau lebih sering mengembara dalam menyebarkan ajaran Islam di Tanah Jawa. Wajar jika muridnya banyak tersebar di berbagai wilayah.
Pada kisah lainnya, diceritakan tentang pencegatan Sunan Bonang oleh Berandal Lokajaya. Berandal ini mencegat Sang Sunan saat sedang berjalan sendirian. Mata hati Sunan yang sangat waspada, melihat bahwa Lokajaya hatinya dipenuhi dengan keinginan duniawi. “Kalau kamu mau harta, ambillah emas yang ada di biji aren itu,” katanya kepada Lokajaya sambil menunjuk pohon aren yang berbuah butir-butir emas. Lokajaya terbelalak dan langsung memanen aren emas itu dan memasukkannya ke dalam kantong bajunya. Setelah semua emas terambil dia periksa kantongnya. Ternyata emas itu kembali menjadi biji aren.
Sadar bahwa yang dirampok adalah orang yang punya ilmu tinggi, Lokajaya mengejar orang berjubah putih itu. Dia bersimpuh dan memohon agar diangkat menjadi murid sang Sunan. Sunan Bonang menerima Lokajaya. Ternyata berandalan itu adalah putra Adipati Tuban, Tumenggung Wilatikta yang melawan kemewahan hidup sebagai anak pejabat. Dia layaknya seorang Robin Hood Jawa, karena hasil rampokannya dia bagikan kepada rakyat miskin. Berandal Lokajaya bernama asli Raden Said. Dia banyak menerima ilmu dari Sunan Bonang. Tak hanya ilmu keagamaan, namun juga seni tradisional yang digunakan Sunan Bonang untuk menyebarkan Islam. Di kemudian hari Lokajaya dikenal sebagai Sunan Kalijaga.
Wartawan Panji Masyarakat (1997-2001).
Ia antara lain pernah bekerja di Aksi Cepat Tanggap (ACT) Jakarta.
Dan kini aktif di Indonesia Care, yang juga bergerak di bidang kemanusiaan.