Wali Sanga (9): Raden Rahmat alias Sunan Ampel

Di negara Kamboja sekarang ini, dulu terdapat sebuah kerajaan bernama Campa. Rajanya dikenal adil bijaksana. Ketika itu agama Islam telah memasuki Kerajaan Campa. Sebab Campa merupakan pelabuhan tempat persinggahan antara Barat dan Timur. Juga antara Utara dan Selatan.

Raja yang bijaksana itu dikarunia anak, putri semuanya. Putri yang cantik-cantik. Seperti ayahanda mereka dikenal ramah. Tidak membedakan warna kulit dan kebangsaan. Karena itulah putri-putrinya tidak memilih dalam bersuami.

Karena hubungan kenegaraan yang baik antara Campa dengan Majapahit, maka salah seorang putrinya kawin dengan Raja Majapahit. Sedangkan yang lainnya dengan orang biasa. Putri yang kawin dengan seorang saudagar Arab melahirkan seorang putra yang diberi nama: Raden Rahmat.

Raja Campa yang tidak mempunyai seorang putra sangat senang dengan kehadiran cucu lelaki tersebut. Tentu saja cucu lelaki itu mendapat keistimewaan di istana. Raden Rahmat tumbuh menjadi anak lelaki-yang lampan. Selain itu sangat cerdas. Kebiastaan cucu raja ini selain belajar dalam keprajuritan, Raden Rahmat sangat haus akan ilmu.

Ayahnya mengetahui hal itu. Raden Rahmat dididik dalam agama Islam semenjak kanak-kanak. Karena mendalami Islam itulah selalu hatinya bergolak. Setiap melihat fakir miskin selalu direnungkannya, sehingga membuat Raden Rahmat suka menyendiri.

Untuk menghilangkan kekesalan hatinya Raden Rahmat suka bermain-main dengan anak-anak rakyat. Khususnya anak-anak nelayan. Dengan seenaknya bajunya yang gemerlapan dibuang. Kemudian alas sepatunya yang gemerlapan dibuang. Dengan telanjang baju Raden Rahmat bermain-main dengan mereka.

“Aduh, duh,” teriak ibunya yang ke luar dari tandu kerajaan.

“Ada apa ibunda?” tanya Raden Rahmat dengan polosnya.

“Kau nanti sakit kalau gak pakai baju,” Sahut ibunya.

Anak-anak bubar ketakutan. Mereka tidak menyangka bahwa kawan bermainnya adalah cucu Raja.

“Ibunda menakut-nakuti mereka,” kata Raden Rahmat.

“Mereka baru mengetahui bahwa kau itu cucu Raja,” sahut ibunya sambil memakaikan bajunya.

“Apa sih perbedaan raja dan bukan raja?” kata Raden Rahmat.

Ibunya tidak menjawab. Raden Rahmat lalu dibawa pulang. Tetapi dia tidak mau naik tandu yang digotong oleh empat orang.

“Sebaiknya berjalan saja,” kata Raden Rahmat sambil berlari.

Melihat hal itu ibunya pun mengikutinya. Raden Rahmat berlarian dengan tidak lupa menyapa setiap anak. Ibunya yang di atas tandu cuma diam. Anak satu-satunya yang akan dijadikan pewaris kerajaan Campa. Tetapi tidak memiliki sifat adigung-adiguna. Itulah yang membuat hati ibunya senang pada Raden Rahmat.

Sesampai di rumah, Raden langsung menghadap ayahandanya. Ayahandanya yang tinggi besar melihat kehadirannya. Raden Rahmat menjadi ketakutan. Langsung dia memeluk kaki ayahandanya.

“Kau tidak boleh ke luar kamar selama tiga hari. Hanya dapat bebas kalau kau dapat menyelesaikan membaca Al-Qur’an. Setiap harinya harus khatam,” katanya ayahnya.

Hukuman tersebut akan’ dirasa berat bagi anak-anak. Tetapi Raden Rahmat malah menyenanginya. Dengan menekuni Al-Qur’‘an setiap hari dia akan lebih mendalami isinya. Dan tidak sampai tiga hari Al-Qur’an telah dapat diselesaikan membacanya.

Sekarang ayahnya yang jadi kelabakan. Raden Rahmat telah menjadi cerdas. Banyak sekali pertanyaan yang menimbulkan pertentangan batinnya. Sebagai cucu raja dan melihat anak-anak melarat di luar istana.

“Anakku, itulah keadilan Allah. Dengan adanya kaya dan miskin. Seperti juga siang dan malam,” kata ayahandanya.

“Mengapa begitu?” tanya Raden Rahmat.

“Misalnya saja siang dan malam. Kalau diadakan siang saja tentu kita terbakar matahari. Dan sebaliknya kalau malam terus manusia menjadi pemalas,”

Raden Rahmat semakin mendalami tentang keadilan. Sehingga pada suatu hari istana harus dibersihkan. Kerajaan Campa akan mendapat tamu. Dari hal yang demikian semua gelandangan harus diusir. Dengan secara paksa para gelandangan diusir. Depan pintu gerbang istana terdapat pengemis. Setiap harinya mangkal di situ. Raden Rahmat selalu memberikan pesalin, uang dan makanan.

Pengemis tersebut belum meninggalkan gerbang istana. Para pengawal lalu menyeretnya. Pengemis tersebut memintanya, agar ditunda dalam pengusirannya.

“Setelah hamba bertemu cucu raja,” teriak pengemis itu.

Tetapi para pengawal menyeretnya. Raden Rahmat ke luar dari dalam istana.

“Tunggu, Paman,” teriak Raden Rahmat.

Mendengar suara cucu raja pengawal pun berhenti. Sipengemis lalu berlarian memeluk kaki Raden Rahmat. Dengan senang hati si pengemis menerima pemberian cucu Raja. Tetapi sang Raja di waktu itu muncul. Melihat kakeknya Raden Rahmat langsung memeluk kakinya.

“Ada apa cucuku?” tanya Raja Campa.

“Mohon keadilan, Kek,” jawab Raden Rahmat.

“Apa maksudmu?” tanya Raja Campa.

Lalu Raden menceritakan tentang perilaku pengawal istana. Raja Campa tersenyum mendengar cerita cucunya yang cerdas ini.

“Keduanya harus dihukum,” kata Rajaya Campa.

“Itu tidak adil!” seru Raden Rahmat.

“Pengawal bersalah karena menganiaya orang. Dan pengemis ini juga bersalah karena melanggar larangan kerajaan,” kata Raja Campa sambil meninggalkan Raden Rahmat.

Istana menjadi geger karena Raden Rahmat hilang. Hanya raja yang mengetahuinya ke mana cucunya itu pergi. Lalu memerintahkan ayah Raden Rahmat untuk mendatangi kumpulan kaum gelandangan. Raden Rahmat semenjak melihat hukuman yang tidak adil berkumpul dengan kaum gelandangan. Mereka menjadi akrab saling berbincang. Melihat kehadiran ayahandanya Raden Rahmat lalu memeluk kakinya.

Para gelandangan menjadi bubar ketakutan. Raden Rahmat lalu dibawa kembali ke istana. Dengan peristiwa tersebut Raden Rahmat semakin suka menyendiri. Kedua orang tuanya tidak dapat lagi menasihatinya. Calon Raja Campa kesukaannya menyendiri tentu’ sangat memasygulkan kalangan istana.

“Sebaiknya dia dikirim ke Jawa,” kata ayah Raden Rahmat.

Raden Rahmat mengetahui bahwa dia mempunyai bibi yang menjadi permaisuri Raja Majapahit. Usul ayahandanya itu sangat disetujuinya. Kakeknya, sang Raja Campa tidak dapat berbuat banyak.

”Berhati-hatilah kau di rantau orang. Agar kau dapat membawa diri,” pesan ayahandanya.

Dengan sebuah kapal yang dilengkapi segala keperluannya Raden Rahmat meninggalkan Campa. Kapal tersebut merapat ke pelabuhan. Raden Rahmat yang sederhana tidak menunjukkan diri sebagai putra kerajaan. Dengan tenang dia ikut berdesakan di antara para penumpang.

Karena Raden Rahmat ingin lebih cepat turun, sandal seorang saudagar terinjak. Saudagar tersebut menjadi marah. Lalu memerintahkan kedua pengawalnya memukul Raden Rahmat. Melihat bahaya yang datang Raden Rahmat bersiap diri. Pengawal tersebut menjadi sangat marah. Walau dikeroyok tiga orang, Raden Rahmat ternyata lebih trampil dari mereka.

“Wah, anak muda kau ini jagoan,” kata saudagar tersebut.

“Di dunia ini tidak ada jagoan. Hanya Allah yang paling jago,” jawab Raden Rahmat sambil terus turun.

Ketika itu muncul pengawal Kerajaan Majapahit. Raden Rahmat bermaksud menghindarinya. Tetapi para pengawal sudah diberitahu tanda-tandanya. Mereka lalu menyembahkannya.

Saudagar tersebut ikut menyembahnya. Raden Rahmat cuma tersenyum melihat tingkah saudagar tersebut.

“Untuk itu kau jangan sewenang-wenang pada rakyat kecil,” kata Raden Rahmat.

Sebenarnya para pengawal akan menghukum saudagar tersebut setelah Raden Rahmat menceritakan semua kejadiannya. Tetapi dicegah Raden Rahmat.

“Sebagai pelajaran baginya,” kata Raden Rahmat sambil meninggalkan kapal.

Melihat sambutan yang begitu meriah Raden Rahmat kembali gelisah. Lalu dia menghadap bibinya untuk diperbolehkan meninggalkan keraton. Raja Majapahit memberi izin dan menyerahkan sebuah daerah yang bernama: Ampel. Selain itu diperkenankan menyebarkan agama Islam.

Raden Rahmat yang kemudian mendapat gelar Sunan Ampel mendapatkan murid yang banyak. Daerah Ampel yang pada mulanya sepi sekarang ramai oleh penduduk. Islam semakin lama tersebar. Kemudian Raden Rahmat mengambil istri seorang perempuan Tuban yang bernama Nyi Ageng Manila.

Dari perkawinan ini Sunan Ampel mempunyai putra Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang), Nyai Gede Maleka dan Syarifuddin. Semua putra-putranya mengikuti jejak ayahandanya yaitu sebagai penyebar agama Islam.

Diceritakan kembali oleh B. Basir. Sumber: Panji Masyakarat No. 494 11 Febuari 1986