Wali Songo (8): Syekh Siti Jenar dan Syekh Amongraga, Al-Hallaj Versi Jawa?

Setelah melangsungkan rapat, sembilan wali Tanah Jawa akhirnya memutuskan hukuman mati untuk Syekh Siti Jenar. Dalam Serat Centini yangmengisahkan proses pelaksanaan hukuman tersebut sebenarnya tidak disebut sembilan wali. Yang hadir bersama Syekh Siti Jenar hanyalah 8 wali saja. Selain Siti Jenar, mereka adalah Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Ngampel, Sunan Kudus dan kemudian Syekh Bontong, Pangeran Palembang dan Panembahan Madura. Adapun Setmata — nama lain untuk Sunan Giri di sini — kemudian hadir juga sehingga lengkap sembilan wali.


Silakan hukuman itu dilaksanakan segera sebab pintu surga terbuka semua, “ jawab Syekh Siti Jenar ketika ditanya kesiapannya menghadapi hukuman mati. Maka dipanggillah Siti Jenar oleh empat orang santri (kaum) dan putuslah lehernya. Tiga orang sahabatnya pun dihukum penggal pula. Sebelum dihukum mereka mengucapkan “Subhanallah”. Seorang anak gembala mendengar kabar yang tersiar, bahwa Siti Jenar berani mati karena mengaku Allah. Maka datanglah anak itu berlari-larian ke tempat musyawarah dengan berseru-seru: “Masih ada Allah yang ketinggalan, karena asyik menggembalakan kambing”. Prabu Setmata berkata, bahwa anak itu harus mati dan ditempatkanlah mayatnya di samping Syekh Jenar. Maka menjawab Siti Jenar yang sudah menjadi mayat itu: “Baiklah anak itu didekatkan kepadaku.”


“Maka anak kecil itu pun mendesak: Lekaslah dan turutkan aku kepada Syekh Siti Jenar, sebab pintu surga sudah terbuka.” Dan anak kecil itupun segera dipancng dan mati dengan senyum di bibirnya. Sunan Giri berkata: “Tidak kusangka, bahwa jenazah Siti Jenar masih utuh”. Tiga hari berlalu, tapi jenazahnya masih utuh di tempatnya. Kemudian, terdengarlah suara memberi salam dan “selamat tinggal paduka raja”, kepada Sunan Giri serta gaiblah tubuh Syekh Siti Jenar. Jenazah para sahabatnya dan anak gembala itu pun tidak ketinggalan ikut hilang pula. Semua, orang yang menyaksikan kejadian itu sangat heran terhadap keajaiban Siti Jenar.”


Kisah Syekh Siti Jenar, sesungguhnya mirip dengan kisah Al-Hallaj yang juga dihukum mati karena mengatakan “Akulah Kebenaran (Ana al-Haqq) , yang merupakan salah satu nama Allah. Seperti halnya Al-Hallaj, Jenar dihukum bukan karena ajarannya melainkan karena usahanya menyebarkan ajaran yang mestinya disembunyikan tersebut.


Kisah serupa juga terjadi pada sunan Panggung (Demak), Ki Babeluk (Pajang) dan Syekh Amongraga (Mataram), yang juga mengalami nasib yang sama. Di antara tokoh-tokoh ini memang terdapat persamaan dan perbedaan. Siti Jenar dan Sunan Panggung secara konsekuen menolak syariat, sedangkan Amongraga membela syariat, dan baru pada akhir hidupnya tidak berpedoman lagi pada syariat. Seperti halnya Syekh Siti Jenar, Syekh Amongraga dihukum mati dengan ditenggelamkan di Laut Selatan.


Jika Abu Abdillah Husain Al-Manshur Al-Hallaj merupakan tokoh historis (886-922 M), yang bisa dilacak jejak kehidupannya sejak lahir sampai kematiannya, boleh jadi kisah Siti Jenar, Ki Bebeluk, Sunan Panggung, dan Ki Amongraga, atau kisah di antara tokoh-tokoh itu, merupakan kisah fiksi, yang sengaja dibuat untuk menjaga pelaksanaan syariat Islam, sehingga tidak ada yang berani yang mengikuti jejak tokoh-tokoh yang diceritakan itu. Karena itu, ada yang menyebut bahwa Siti Jenar (dan tokoh-tokoh yang mirip ucapannya dengan Siti Jenar) sebagai Al-Hallaj versi Jawa.
Sumber: Karel A. Steenbrink, beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19 (1984)