Wali Songo (7): Makhdum Ibrahim alias Sunan Bonang

Sebagai seorang lelaki yang akan menjadi ayah untuk pertama kali, Sunan Ampel gelisah. Nyi Ageng Manila istrinya semenjak tadi mengerang kesakitan. Menurut perhitungannya anak pertama itu memang sudah tiba waktunya untuk dilahirkan. Karena gelisah dia tidak dapat khusuk dalam mengelola pesantrennya.

“Sebaiknya aku serahkan pada Raden Paku,” desah Sunan Ampel.

Dia ingat muridnya yang cerdas. Raden Paku adalah anak angkat dari seorang janda kaya. Tetapi kekayaannya tidak menjadikan dirinya sombong. Dengan kecerdasannya Raden Paku menjadi murid terbaik dari Sunan Ampel.

“Assalamu alaikum, Sunan,” kata Raden Paku ketika memasuki rumah Sunan Ampel.
Melihat kehadiran murid kepercayaannya hati Sunan Ampel sekarang kembali tenang. Raden Paku melihat Nyi Ageng Manila yang tampak lesu. Wajahnya kepucatan dengan tangannya yang selalu memegang perutnya. Selalu mengelusi perutnya yang besar.

“Mungkin akan lahir Sunan?” kata Raden Paku.

“Itulah, selama menunggui kelahiran sang bayi aku tidak dapat mengelola pesantrenku,” kata Sunan Ampel.

“Apa maksud, Sunan?” kata Raden Paku.

“Sampai nanti anakku lahir, pimpinlah pesanten ini,” kata Sunan Ampel.

“Semoga, semuanya berjalan baik Sunan,” kata Raden Paku.

Setelah jabatan pimpinan diserahkan Raden Paku, Sunan Ampel lebih banyak berdoa untuk keselamatan ibu dan anak. Dia memang merasa bahwa kelahirannya banyak mendapat halangan. Sebagai orang yang menyiarkan Islam di tengah para berhala, tentu orang-orang tidak menyenanginya. Dan satu-satunya yang mempersulit persalinan.

Dari hal yang demikian Sunan Ampel lebih tekun berdoa. Dengan ilmu yang dipunyainya sebagai wali mengadu kepada Allah tentang kesulitan ini. Dengan ketekunan yang luar biasa di tengah do’anya, Sunan Ampel merasakan di sekitar tempat dia duduk terdengar Suara-suara. Kamarnya dipenuhi oleh berbagai kepala dengan lidah menjulur. Semuanya berusaha mencekik Sunan Ampel.

“Audzu billahi minasy syaithanir rajim”, seru Sunan Ampel.

Lalu tangannya digerakkan ke kanan dan ke kiri. Kepala-kepala yang tidak lain para gendruwo menjerit. Semuanya lenyap meninggalkannya. Sunan Ampel terus bergerak disertai suara takbir.

“Alhamdulillahi rabbil ’alamin,” desah Sunan Ampel sambil mengusapi keringatnya. Seperti orang yang baru mengadakan perjalanan jauh. Di saat itulah terdengar tangis bayi. Wajah Sunan ampel cerah. Dia telah dapat menyelesaikan ujian. Semuanya itu berkat pertolongan Allah.

Semenjak kelahiran anaknya yang pertama yang diberi nama: Makhdum Ibrahim, tidak ada lagi halangan bagi kelahiran berikutnya. Putranya yang kedua diberi nama: Syarifuddin. Sedangkan putrinya diberi nama: Nyi Gde Maleka.

Sebagai kanak-kanak, Makhdum Ibrahim tentu mempunyai kelucuan yang menyenangkan orang tuanya. Sunan Ampel ingat semasa kecil ketika di negeri Campa. Makhdum Ibrahim memang anak cerdas. Sunan Ampel mendidik putranya dengan ilmu agama Islam. Sunan Ampel merasakan bahwa putranya mewarisi bakatnya. Terlihat punya keinginan untuk menjadi penyebar agama Islam.

Setelah dewasa Makhdum Ibrahim ingin berkelana. Dengan pengalaman berkelana dimaksudkan sebagai pemula penyebar agama Islam. Lalu Makhdum Ibrahim minta diri pada ayahandanya untuk mengembara. Sunan Ampel telah memakluminya. Putranya diizinkan mengembara mencari tambahan ilmu.

“Raden Paku ikuti putraku,” kata Sunan Ampel setelah Makhdum Ibrahim meninggalkan pesantren.

Sebagai seorang ayah Sunan Ampel ingin mencoba putranya. Tugas itu hanya dapat dilaksanakan oleh Raden Paku. Murid kepercayaannya yang telah berhasil menggantikannya memimpin pesantrennya. Raden Paku diberi tugas khusus oleh Sunan Ampel.

Makhdum Ibrahim sedang melepaskan lelah di bawah pohon. Hari sangat panas sehingga menghentikan perjalananinya. Raden Paku melihat putra gurunya yang sedang beristirahat. Sebenarnya Raden Paku tidak tega mencoba Makhdum Ibrahim. Tetapi karena tugas yang diberikan gurunya dia pun bertindak.

Seperti sedang berlarian Raden Paku melewati tempat Makhdum Ibrahim istirahat. Makhdum Ibrahim tercengang melihat murid ayahnya tiba-tiba muncul. Sedangkan yang mengherankannya ada sesuatu yang dibawa Raden Paku.

“Kakak Paku?” seru Makhdum Ibrahim.

“Lho, kok masih di sini?” kata Raden Paku dengan ketakutan.

Makhdum Ibrahim tersenyum sambil bangkit dari duduknya. Sedangkan Raden Paku berusaha menyembunyikan benda yang dibawanya. Melihat hal itu Makhdum Ibrahim sangat berkeinginan mengetahuli apa yang dibawa murid kepercayaan ayahandanya.

“Kakak tidak perlu takut,” Kata Makhdum Ibrahim.

“Ah, kau ini,” jawab Raden Paku ketakutan.

“Betul, aku tidak akan mengadu pada ayahanda,” kata Makhdum Ibrahim.

“Baiklah, ini aku membawa guci,” kata Raden Paku.

“Itu kan minuman tuak, Kak?” kata Makhdum keheranan.

Raden Paku mengaku suka minum tuak. Sebab dengan tuak segala kesegaran akan didapatkannya.

“Tetapi kan haram, kak,” kata Makhdum Ibrahim.

“Itu kalau banyak sebab memabukkan,” kata Raden Paku.

“Kalau sedikit tidak haram?” kata Makhdum Ibrahim.

Raden Paku menyadari bahwa putra gurunya ini bermaksud meminum tuak yang dibawanya. Dia menyesal tetapi ini semua ujian untuk putra gurunya. Raden Paku melihat sebagai anak muda Makhdum Ibrahim gagal menahan nafsunya. Karena terlena oleh pikirannya guci yang. dibawa Raden Paku terjatuh. Isinya tentu saja menjadi tumpah semuanya.

“Wah, kita tidak jadi minum tuak,” kata Makhdum Ibrahim. Kata-katanya menyesali perbuatan Raden Paku.

Jangan khawatir, kau mampir ke rumahku,” kata Raden Paku. –

Raden Paku membawa putra gurunya ke rumahnya. Makhdum Ibrahim sangat kagum atas rumah Raden Paku. Ibu angkat Raden Paku memang dikenal sebagai janda yang kaya raya. Setelah berkenalan dengan ibu angkat Raden Paku, Makhdum Ibrahim diminta menunggu. Sebenarnya Sunan Ampel sudah berada di rumah tersebut. Raden Paku menemui gurunya yang sedang termenung melihat tingkah putranya.

“Sudahlah.” kata Sunan Ampel sambil menyalami Raden Paku yang telah berhasil mengelabul putranya.

Raden Paku lalu kembali menemui Makhdum Ibrahim. Sedangkan Makhdum Ibrahim sangat gelisah. Dia di saat itu memang sedang haus. Sedangkan yang namanya tuak dapat menghilangkan haus. Di samping menyegarkan badan setelah jauh berjalan.

Raden Paku muncul dengan guci serta cangkir. Makhdum Ibrahim dengan gembira menyambutnya. Ketika Makhdum Ibrahim menuang tuak dari guci, muncullah Sunan Ampel. Melihat kehadiran ayahnya Makhdum Ibrahim lalu memeluk kakinya. ? ‘

“Ternyata engkau berdusta,” Kata Sunan Ampel.

“Ampunilah hamba, ayahanda,” Kata Makhdum Ibrahim.

“Engkau tahu hukuman pendusta?” kata Sunan Ampel.

“Dipotong lidahnya,” sahut Makhdum Ibrahim.

“Nah, bersediakah engkau dipotong lidahmu,” kata Sunan Ampel.

“Sanggup menerima hukuman,” Kata Makhdum Ibrahim.

Sunan Ampel kagum akan kejantanan putranya. Dengan rela hati menerima hukuman atas kesalahannya. Hal inilah yang membanggakan diri Sunan Ampel bahwa putranya itu masih punya watak.

“Kalau aku potong, kau tidak dapat membaca ayat-ayat Al-Qur’an,” kata Sunan Ampel.

“Apa maksud, ayahanda?” kata Makhdum Ibrahim.

“Nah, sekarang kau dapat menemui aku di Ampel apabila kau telah hafal isi Al-Qur’an,” kata Sunan Ampel sambil terus meninggalkan putranya.

Hukuman tersebut sebenarnya menyuruh Makhdum Ibrahim untuk lebih mendalami Al-Qur’an. Dengan biaya dari ibu angkatnya, Raden Paku dan Makhdum pergi ke Malaka. Keduanya bersama-sama ingin mendalami Al-Qur’an. Mereka berniat akan menemui Sunan Ampel setelah hafal dan mendalami Al-Qur’an.

Setelah beberapa tahun kemudian Makhdum Ibrahim kembali ke Ampel. Tetapi tidak menemui ayahandanya. Dari pembicaraan dengan saudaranya bahwa ayahandanya menyuruh menemuinya di Gunung Cerme. Disadarinya bahwa satu ujian lagi harus dijalani. Dengan tawakal kepada Allah Makhdum Ibrahim berusaha untuk secepatnya sampai ke Gunung Cerme.

Makhdum Ibrahim pun dapat bertemu dengan ayahandanya. Sunan Ampel akan mewariskan ilmu wali kepada putranya. Makhdum Ibrahim memeluk kaki ayahandanya.

“Sebelumnya kau harus bersih, anakku,” kata Sunan Ampel.

“Semuanya telah bersih ayahanda,” kata Makhdum Ibrahim.

“Sebab tidak boleh ada yang mendengar wejanganku ini,” kata Sunan Ampel sambil membawa putranya ke tepi laut. Makhdum Ibrahim tidak menyadarinya bahwa sepatunya terbawa tanah merah. Dengan menggunakan perahu Sunan Ampel membawa putranya. Di tengah lautan dengan gelombang yang dahsyat wejangan diadakan. Dengan tekun Makhdum Ibrahim menjalankan semua wejangan tersebut.

“Kau sekarang dapat menyebarkan Islam, anakku,” kata Sunan Ampel sambil turun dari perahu.

Makdhum Ibrahim mengikuti ayahandanya. Sedangkan tanah merah yang melekat di sepatunya jatuh ke tanah. Keduanya tidak mengetahul bahwa tanah tersebut dimakan oleh cacing. Dan kelak cacing ini berkat kebesaran Allah berubah menjadi manusia. Dan dialah yang dikenal dengan sebutan Syekh Siti Jenar yang artinya Syekh Lemah Abang.

Sedangkan Makhdum Ibrahim tidak diperkenankan kembali ke Ampel. Oleh Sunan Ampel Makhdum Ibrahim ditinggal di daerah Lasem di sebuah desa yang bernama Bonang. Makhdum Ibrahim mendirikan pesantrennya di situ. Dan dikenallah dia dengan sebutan Sunan Bonang.

Diceritakan Kembali oleh B. Basir. Sumber: Panji Masyarakakat, No. 497, 11 Maret 1986