Kartini: Saya Akan Perbaiki Citra Islam Agar Tidak Jadi Bahan Fitnah

Ibu kita Kartini,
Putri sejati,
Putri Indonesia,
Harum namanya

Ibu kita Kartini
Pendekar bangsa
Pendekar kaumnya
Untuk Merdeka

Wahai ibu kita Kartini
Putri yang mulia
Sungguh besar cita-citanya
Bagi Indonesia

Itulah kutipan lirik lagu “Ibu Kita Kartini” karya WR Supratman yang telah menjadi lagu wajib nasional. Setiap 21 April, lagu itu selalu dinyanyikan oleh anak-anak sekolah untuk memperingati hari lahir Kartini. Seorang perempuan pribumi hebat yang lahir di Jepara pada 21 April 1879. Berarti 145 tahun yang lalu.

Tahun ini, peringatan Hari Kartini ke-145 bertepatan dengan umat Islam yang baru merayakan Idul Fitri 1445 H.

Narasi tentang Kartini sangat erat kaitannya dengan perjuangan emansipasi. Hal ini dapat dibaca melalui surat-suratnya kepada para sahabat penanya di Belanda yang menyampaikan ide-ide tentang kebebasan, kesetaraan, anti feodalisme, kemajuan dan keadilan. Tak heran jika Kartini kemudian menjadi ikon emansipasi yang pemikirannya dianggap sudah melampaui zamannya.

Kartini adalah sosok yang sangat inspiratif bagi semua wanita, terutama dalam memperjuangkan kesetaraan dan kesamaan peran dengan pria.

Kartini adalah perempuan yang memiliki pemikiran yang moderat. Ia seorang pahlawan yang sebagian besar hidupnya dihabiskan untuk memperjuangkan emansipasi bagi kaumnya yang saat itu sangat terbatas. Bidang pendidikan tampaknya menjadi media yang efektif bagi Kartini untuk memberikan pencerahan bagi para wanita waktu itu. Pada tahun 1912 Kartini kemudian mendirikan sebuah sekolah bernama Sekolah Kartini di Semarang.

Kartini telah menyalakan obor peradaban baru pada masanya yang membuat wanita Indonesia (Jawa) lebih beradab dan lebih maju. Perjuangan Kartini melawan diskriminasi mendorong perempuan modern saat ini untuk berani melawan stereotype perempuan, bahwa pada akhirnya mereka hanya menjadi ibu rumah tangga. Saat ini semua bidang profesi terbuka bagi Perempuan dan tidak sedikit kaum Perempuan justru lebih unggul dari laki-laki. Lebih menariknya lagi, jumlah penduduk di muka bumi ini kaum perempuan justru lebih banyak dari kaum pria.

Hidup di masa ketika status sosial perempuan masih dianggap rendah dan hak kebebasannya sangat terbatas, RA Kartini dianggap sebagai peletak dasar kebangkitan perempuan Indonesia, baik di bidang pendidikan, sosial, maupun hukum. Dia adalah pelopor emansipasi wanita Indonesia. Bisa dikatakan Kartini merupakan salah satu pahlawan nasional Indonesia yang memiliki keistimewaan, apalagi dia adalah sosok pahlawan wanita pribumi.

Belajar Islam

Sosok Kartini seolah jauh dari narasi sejarah sebagai seorang muslimah. Pandangannya tentang Islam yang dianutnya, tidak banyak diangkat dalam sejarah perkembangan Indonesia. Padahal sejarah mencatat bahwa Kartini adalah salah satu santri Kiai Sholeh Darat di Jepara yang cukup cerdas dan kritis dalam memahami persoalan agama dan perkembangan sosial budaya.

Dalam dua surat Kartini kepada Tuan J.H. Abendanon tertanggal 15 Agustus 1902 dan 17 Agustus 1902 secara eksplisit menyebut bahwa gurunya adalah seorang tua. Bahkan Kartini menyebut bahwa orang Jawa menulis naskah dengan menggunakan huruf Arab (dalam tradisi pesantren disebut huruf Pegon atau huruf Jawi).

“Saya sungguh gembira melihat perkembangan kesenian bangsa bumiputera… Bahagia mendapatkan segala sesuatu yang indah. Cahaya Tuhan ada dalam diri manusia, dalam apa saja, bahkan juga sesuatu yang tampaknya paling buruk… Saya berharap dengan pendidikan dapat membantu pembentukan watak, dan paling utama adalah cita-cita… Saya hendak berbicara dengan kamu tentang bangsa kami, dan bukan tentang pendidikan. Tentang hal itu nanti bukan? Di sini ada seorang orang tua, tempat saya meminta bunga yang berkembang di dalam hati. Sudah banyak yang diberikan kepada saya, sangatlah banyak lagi bunga simpanannya. Dan saya ingin lagi, senantiasa ingin lagi… Saya tidak mau lagi belajar membaca Al-Qur’an, belajar menghafal amsal dalam bahasa asing, yang tidak saya ketahui artinya. Dan boleh jadi, guru-guru saya, laki-laki dan perempuan juga tidak mengerti. Beritahu saya artinya dan saya akan mau belajar semua. Saya berdosa, kitab yang suci mulia itu terlalu suci untuk diterangkan artinya kepada kami.”

Rangkaian kata yang sangat panjang dalam surat Kartini itulah kata hati Kartini dalam mengungkapkan betapa dirinya mendapatkan ilmu dari orang tua terkait dengan isi kandungan Al-Qur’an.

Bahkan kalimat setelah itu ia menegaskan:  “Tahun berganti tahun, kami namanya orang Muslim, karena kami turunan orang Muslim. Dan Kami namanya saja Muslim, lebih daripada itu tidak. Tuhan, Allah, bagi kami hanya semata-mata kata seruan. Sepatah kata, bunyi tanpa arti dan rasa. Demikian kami hidup terus, sampai tiba hari yang membawa perubahan dalam kehidupan jiwa kami. Kami telah menemukan Dia, yang tanpa disadari telah bertahun-tahun dirindukan oleh jiwa kami.”

Dalam surat berikutnya lainnya tertanggal 17 Agustus 1902, Kartini menulis bagaimana pandangannya tentang Islam dan Barat (Eropa) berubah setelah dia mengaji kepada Kiai Sholeh Darat. Kiai Sholeh telah membawa Kartini muda dalam perjalanan transformasi spiritual.

“Selamat pagi, melalui surat ini Adik datang lagi untuk bercakap-cakap… Kami merasa senangnya, seorang tua yang telah menyerahkan kepada kami naskah-naskah lama Jawa yang kebanyakan menggunakan huruf Arab. Karena itu kini kami ingin belajar lagi membaca dan menulis huruf Arab. Sampai saat ini buku-buku Jawa itu semakin sulit sekali diperoleh lantaran ditulis dengan tangan. Hanya beberapa buah saja yang dicetak. Kami sekarang sedang membaca puisi bagus, asyaraka hikmah dalam asyar yang indah. Saya ingin sekali kamu mengerti asyar kami… Patuh karena takut! Bilakah masanya datang firman Allah yang disebut cinta itu, meresap ke dalam hati manusia yang berjuta-juta itu?… Demikianlah saya, anak yang baru berumur 12 tahun hanya seorang diri berhadapan dengan kekuasaan musuh… Tuhan itu besar, Tuhan itu kuasa!”

Dalam suratnya kepada Ny. Abendanon tertanggal 27 Oktober 1902, ia menyatakan bahwa ia tidak lagi benar-benar percaya bahwa orang Barat adalah segalanya.

“Sudah lewat waktunya, awalnya kami berpikir bahwa asyarakat Eropa benar-benar yang terbaik, tidak ada bandingannya. Maafkan kami. Apakah menurut Anda asyarakat Eropa itu sempurna? Bisakah Anda menyangkal bahwa di balik keindahan di masyarakat Anda ada banyak hal yang sama sekali tidak pantas disebut peradaban?”

Sekilas memang ada yang berubah pada diri Kartini. Setelah beberapa kali mengikuti ceramah kepada Kiai Sholeh Darat, mata dan hatinya terbuka bahwa orang pribumi juga memiliki kemampuan yang tidak kalah hebatnya dengan orang Barat.

Kartini sangat antusias belajar dengan Kiai Sholeh Darat, apalagi saat sang Kiai menjelaskan arti dan maksud surat Al-Fatihah.

Selama ini ia hanya membaca dan menghafal Al-Qur’an, namun tidak mengetahui arti dan maknanya. Setelah dijelaskan oleh Kiai Sholeh Darat, ia tercengang karena ternyata betapa hebatnya kandungan ajaran Islam. Karena itu ia membayangkan betapa hebatnya masyarakat pribumi jika bisa memahami Islam secara luas seperti yang dipaparkan dalam kajian Kiai Sholeh Darat.

Muslimah yang Taat

Kartini tidak menolak tudingan bahwa dia itu seorang muslimah karena keturunan dari orang tuanya. Itu suatu realitas sejarah yang tidak bisa dipungkiri. Namun dia tegas mengatakan bahwa dirinya seorang muslimah yang taat (religius). Dia juga tidak ragu untuk mengatakan bahwa pada suatu waktu dia akan menjadi seorang pendakwah Islam yang baik.

Dalam suratnya kepada Nyonya Van Kol, tertanggal 21 Juli 1902, Kartini mengungkapkan keinginannya itu bahwa suatu saat dia akan menjadi pendakwah Islam agar orang lain tidak salah dalam memahami Islam.

“Saya bertekad dan berusaha untuk memperbaiki citra Islam yang selama ini menjadi sasaran fitnah. Semoga kita diberkahi untuk bisa berkarya agar agama lain melihat Islam sebagai agama pilihan.” Wallahu a’lam.