Raden Ayu Lasminingrat Intelektual Perempun Sebelum Kartini

Nama Raden Ayu Lasminingrat memang tidak seharum nama Raden Ajeng Kartini. Bahkan kalah tenar dari Dewi Sartika. Padahal ia banyak mengguratkan inspirasinya sebelum mereka. Menurut Deddy Effendy dia adalah tokoh intelektual perempuan pertama di Indonesia . Dua fokus utamanya adalah dunia kepengarangan dan pendidikan.

Lasminingrat menulis beberapa buku berbahasa Sunda yang ditujukan untuk anak-anak, sebagian karangan sendiri dan sebagian terjemahan dari bahasa Belanda. Salah satu karya tulisnya adalah buku Carita Erman yang merupakan terjemahan dari karya Christoph von Schmid, pada 1875. Buku ini dicetak 6.015 eksemplar dengan menggunakan aksara Jawa, lalu mengalami cetak ulang pada 1911 dalam aksara Jawa dan 1922 dalam aksara Latin.

Pada 1876 terbit Warnasari atawa Roepa-roepa Dongeng Jilid I dalam aksara Jawa. Buku ini merupakan hasil terjemahan dari tulisan Marchen von Grimm dan JAA Goeverneur, yaitu Vertelsels uit het wonderland voor kinderen, klein en groot (1872) dan beberapa cerita Eropa lainnya. Jilid II buku ini terbit setahun kemudian, lalu mengalami beberapa kali cetak ulang, yakni pada 1887, 1909, dan 1912, dalam aksara Jawa dan Latin. Setelah menjadi istri Bupati Garut, Lasminingrat menghentikan aktivitas menulisnya dan berkonsentrasi di bidang pendidikan.

Lasminingrat adalah putri penghulu Limbangan dan sastrawan Sunda, Raden Haji Muhamad Musa. Ia istri Bupati Garut Raden . Adipati Aria Wiratanudatar VII. Raden Ayu Lasminingrat belajar di sekolah Belanda di Sumedang. Selama di Sumedang, Lasminingrat diasuh oleh teman ayahnya asal Belanda, Levyson Norman. Karena didikan Norman, Lasminingrat tercatat sebagai perempuan pribumi satu-satunya yang mahir dalam menulis dan berbahasa Belanda pada masanya.

Tahun 1907 Lasminingrat mendirikan Sekolah Kautamaan Istri pada 1907. Sekolah ini didirikan di ruang gamelan, Pendopo Kabupaten Garut. Siswa angkatan awal Kautamaan Istri hanya terbatas pada anak perempuan kaum menak Garut saja. Mereka diajarkan membaca, menulis, dan berbagai hal yang harus dipelajari oleh seorang perempuan seperti cara memasak, merapikan pakaian, mencuci, menjahit pakaian, dan segala hal yang berhubungan dengan kehidupan berumah tangga, termasuk pelajaran agama.

Perkembangan sekolah ini cukup pesat, pada 1911 jumlah muridnya mencapai 200 orang, kemudian lima kelas dibangun di sebelah pendopo. Sekolah ini akhirnya mendapatkan pengesahan dari Pemerintah Hindia Belanda pada 1913 melalui akta Nomor 12 tertanggal 12 Februari 1913. Pada 1934, cabang-cabang Keutamaan Istri dibangun di Kota Wetan Garut, Bayongbong, dan Cikajang.

Lasminingrat merupakan salah seorang tokoh yang mendukung Dewi Sartika (l. 1884) mendirikan sekolah bagi kaum perempuan pada 1904. Ini berawal saat Dewi Sartika mengalami kesulitan dalam perizinan mendirikan sekolah kepada Bupati Bandung, RAA Martanagara. Bupati selalu menolak maksud Dewi Sartika tersebut.

Menurut sejarawan Universitas Padjadjaran, Nina Herlina Lubis, dalam bukunya Kehidupan Kaum Menak Priangan, ayah Dewi Sartika dituduh terlibat dalam percobaan pembunuhan terhadap Bupati Bandung dan pejabat Belanda di Bandung. Karena peristiwa itu, Bupati Bandung menganggap Dewi Sartika adalah anak musuh politiknya sehingga permintaannya selalu ditolak. Oleh karena itu, Lasminingrat meminta suaminya yang i Bupati Garut untuk memberikan saran kepada Bupati Bandung agar permohonan Dewi Sartika dapat dikabulkan. Setelah berbicara dengan RAA Wiratanudatar VIII, Bupati Bandung memberi izin kepada Dewi Sartika. Pada Januari 1904, Dewi Sartika akhirnya mendirikan Sakola Istri di Bandung.

Lasminingrat meninggal pada 10 April 1948. Jenazahnya dimakamkan di belakang Masjid Agung Garut, berdampingan dengan makam suaminya.