Buya Hamka (2): Dibui Rezim Soekarno dan Ditekan Orde Baru

Hamka pernah dipenjara pada masa kekuasaan Soekarno. Pada masa Orde Baru ia mendapat tekanan karena menolak keinginan pemerintah. Ia pun mengundurkan diri dari jabatrannya sebagai ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI). Kini Buya Hamka jadi pembicaraan kembali sehubungan dengan penayangan film Buya Hamka yang diputar sejak awal Lebaran lalu.

Pada masa-masa awal proklamasi Hamka aktif menggalang kekuatan untuk mempertahankan kemerdekaan RI di Sumatera Barat. Pada 1950 ia pindah ke Jakarta. Selain pujangga, Hamka mulai dikenal sebagai ulama. Pada pemilihan umum tahun 1955, ia terpilih menjadi anggota parlemen dari Partai Masyumi mewakili unsur Muhammadiyah.

Pada tahun-tahun itu, melalui mimbar Masjid Agung Al-Azhar di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Hamka kerap melancarkan kritik terhadap Demokrasi Terpimpin yang sedang digalakkan Soekarno pasca-Dekrit Presiden 1959. Dianggap berbahaya, ia dimasukkan bui pada 1964. Majalah Panji Masyarakat yang ia pimpin juga diberedel karena memuat tulisan Mohammad Hatta bertajuk “Demokrasi Kita”. Selama di penjara, Hamka berhasil menyelesaikan karya monumentalnya, Tafsir Al-Azhar 30 Juz. Ia baru dibebaskan pada 1967, menyusul runtuhnya rezom Soekarno dan lahirnya Orde Baru di bawah Soeharto.

Pada 27 Juli 1975 Majelis Ulama Indonesia (MUI) berdiri. Hamka pun terpilih sebagai ketua umum. Jabatan ini dia pegang sampai ia mengundurkan diri pada 18 Mei 1981. Ketika menyampaikan pidato saat pelantikan dirinya, Hamka menyatakan bahwa dia bukanlah sebaik-baik ulama. Ia sangat menyadari bahwa dirinya memang populer, karena sejak usia muda sudah bertablig, menulis, memimpin majalah Panji Masyarakat, dan menjadi Imam besar Masjid Al-Azhar Jakarta yang sangat terkenal itu. Selain itu, suaranya yang serak-serak basah bisa didengar di radio dan mimbar-mimbar.

Pada 7 Maret 1981, MUI mengeluarkan fatwa tentang Natal. Yakni, orang Muslim haram mengadiri acara natal yang diselenggarakan kaum Nasrani. Fatwa MUI tersebut memunculkan kontroversi. Sebagian besar kalangan Islam tampaknya setuju saja atas fatwa tersebut, sementara kalangan Kristiani memandang bahwa fatwa tersebut tidak mendukung upaya-upaya kerukunan antar umat beragama. Sedangkan pemerintah, dalam hal ini diwakili Menteri Agama Alamsyah Ratuperwinegara, juga merasa keberatan. Alasanya fatwa tersebut akan meregangkan hubungan antar umat beragama yang selama ini sedang dirajut oleh berbagai pihak. Alamsyah meminta agar fatwa tersebut dicabut. Bahkan, Alamsyah sempat mengancam, ia akan mundur sebagai Menteri Agama bila fatwa tersebut tak dicabut. Tapi, MUI di bawah kepemimpinan Hamka tetap berteguh dan tetap mempertahankannya. Hamka lebih sigap, ia memilih mundur dari MUI daripada mengikuti kemauan pemerintah yang bertentangan dengan hati nurani dan akidahnya itu.

Pada 24 Juli 1981, Hamka memutuskan untuk melepaskan jabatannya sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia, karena fatwanya yang tidak kunjung dipedulikan oleh pemerintah Indonesia. Mundurnya Hamka dari MUI ternyata mengundang simpati masyarakat muslim pada umumya. Bahkan, ia mendapat pujian dan ucapan selamat dari berbagai kalangan umat Islam.

Buya Hamka wafat pada 24 Juli 1981 (bertepatan dengan ulan Ramadan) di Jakarta, dalam usia 73 tahun. Ribuan jamaah ikut menyalatinya di Masjid Agung Al-Azhar, dan mengantarkan ke peristirahatan terakhirnya di Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan.