Buya Hamka (1): Sang Otodidak dan Superproduktif

Hamka adalah seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, ia dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah. Kini Buya Hamka jadi pembicaraan kembali sehubungan dengan penayangan film Buya Hamka yang diputar sejak awal Lebaran lalu.

Hamka adalah tokoh multitalenta dan multiperan. Dia ulama, aktivis, politisi, jurnalis, editor dan sastrawan. Ia belajar dan memperdalam sendiri berbagai bidang pengetahuan, seperti sastra, budaya, filsafat, tasawuf, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan bekal pengetahuannya yang luas itu, Hamka menjadi penulis yang produktif, mulai dari roman sampai tafsir Alquran.


Ia lahir pada 17 Februari 1908 di Sungai Batang, Maninjau, Sumatera Barat. Ia putra Haji abdul Malik Karim Amrullah, ulama besar dan salah seorang pelopor gerakan tajdid di Miangkabau. Pendidikan formal yang dia tempuh sampai kelas tiga di Sekolah Rakyat. Lalu sekolah agama yang ia jalani di Padangpajang dan Parabek hanya selama tiga tahun. Selebihnya, ia belajar secara otodidak. Kesukaannya di bidang bahasa membuatnya cepat sekali menguasai bahasa Arab. Dari sinilah ia mengenal dunia secara luas, baik hasil pemikiran klasik Arab maupun Barat. Karya para pemikir Barat ia dapatkan dari hasil terjemahan ke bahasa Arab.


Nama Hamka melekat setelah untuk pertama kalinya Abdul Malik naik haji ke Mekah pada tahun 1927. Di usia yang muda ia sudah melanglangbuana. Tatkala usianya masih 16 tahun (1924), ia sudah meninggalkan Minangkabau, menuju Jawa. Di Yogyakarta, ia berkenalan dan menimba ilmu tentang pergerakan kepada para aktivisnya, seperti Haji Oemar Said Tjokrominoto (Serekat Islam), Ki Bagus Hadikusumo ( Muhammadiyah), K.H. Fakhruddin (Muhammadiyah dan aktivis SI, dan RM Soerjopranoto (tokoh perburuhan dan SI). Hamka, bersama dengan kaum muda aktivis, ikut kursus tentang pergerakan. Beberapa waktu berikutnya ia pergi ke Pekalongan dan mukim di rumah A.R Sultan Mansyur, tokoh Muhammadiyah Pekalongan yang juga kakak iparnya. Di sini Hamka berkenalan lebih jauh dengan para tokoh Muhammadiyah di kota batik itu. Pertengahan tahun 1925, Hamka kembali ke Padang dan ikut mendirikan Tablig Muhammdiyah di rumah ayahnya.

Dua tahun setelah kembalinya dari Jawa, Hamka pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Kesempatan ibadah haji itu ia manfaatkan untuk memperluas pergaulan dan bekerja di percetakan di Mekah. Kemudian Hamka pulang ke Indonesia akhir tahun 1927.


Muktamar Muhammadiyah di Solo tahun 1928 adalah titik pijak Hamka untuk berkhidmat di Muhammadiyah. Dari keaktifannya di Muhammadiyah tersebut mengantarkannya ke berbagai daerah, termasuk ke Medan, tahun 1936. Di Medan inilah peran Hamka sebagai intelektual ulama dan ulama intelektual mulai terbentuk. Di kota ini ia mengaktualisasikan dirinya melalui majalah Pedoman Masyarakat. Ia menjadi seorang mubalig, ahli agama, sastrawan, sekaligus wartawan. Dengan berkenalan dengan beragam pemikiran di dunia ia bisa menulis apa saja, mulai dari pemikiran, falsafah, sampai dengan berita- berita kunjungan ke daerah.


Hamka adalah seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, ia dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, ia meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx, dan Pierre Loti.


Hamka banyak menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya lain seperti novel dan cerpen. Pada tahun 1928, Hamka menulis buku romannya yang pertama dalam bahasa Minang dengan judul Si Sabariah. Kemudian, ia juga menulis buku-buku lain, baik yang berbentuk roman, sejarah, biografi dan otobiografi, sosial kemasyarakatan, pemikiran dan pendidikan, teologi, tasawuf, tafsir, dan fikih. Karya ilmiah terbesarnya adalah Tafsir al-Azhar. Di antara novel-novelnya seperti Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka’bah, dan Merantau ke Deli juga menjadi perhatian umum dan menjadi buku teks sastra di Malaysia dan Singapura. Beberapa penghargaan dan anugerah juga ia terima, baik peringkat nasional maupun internasional.


Pada tahun 1959, Hamka mendapat anugerah gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar, Kairo atas jasa-jasanya dalam penyiaran agama Islam dengan menggunakan bahasa Melayu. Kemudian pada 6 Juni 1974, kembali ia memperoleh gelar kehormatan tersebut dari Universitas Nasional Malaysia pada bidang kesusasteraan, serta gelar Profesor dari Universitas Beragama Prof. Dr. Moestopo.

Karya-karya ilmiah lain dari Hamka yang populer, antara lain; Revolusi Agama (1946), Falsafah Ideologi Islam (1950), Perkembangan Tashawwuf dari Abad ke Abad. cet. 3 (1957), Pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia (1965, awalnya merupakan naskah yang disampaikannya pada orasi ilmiah sewaktu menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar Mesir, pada 21 Januari 1958), Sayyid Jamaluddin al-Afghani (1965) Islam dan Kebatinan (1972), Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya, cet. 8. (1980), Tasawuf Modern, cet. 9 (1983), Filsafat Ketuhanan, cet. 2 (1985), Tafsir al-Azhar, Juz I sampai Juz XXX (1986), Sullam al-Wushul; Pengantar Ushul Fiqih (terjemahan karya Dr. H. Abdul Karim Amrullah).