Mereka yang Disombongkan Kemewahan
Orang menempuh berbagai cara untuk memenuhi keinginan bermewah-mewah. Apa akibatnya jika kemewahan dipertontonkan. Tapi ada pula yang disebut perilaku boros. Apa bedanya dengan mewah? Bercermin pada Hatta, dan fenomena zaman sekarang.
Sekarang lagi ramai orang berbincang tentang pejabat dan keluarganya yang sering pamer harta di media sosial. Ini gara-gara Mario Dandi Satriyo, anak pejabat tinggi Ditjen Pajak yang menganiaya David, anak pengurus GP Ansor, sampai koma berhari-hari di rumah sakit. Dandy sering memamerkan jip Rubicon dan motor Harley Davidson. Nah dari mana benda-benda mewah itu? Ayahnya, Rafael Alun, yang memiliki kekayaan Rp56 miliar, pun diusut karena dicurigai memiliki kekayaan yang tidak sesuai dengan gajinya sebagai pejabat.
Di tengah ramainya sorotan kepada Rafael Alun, muncul Eko Darmanto, kepala Kantor Bea Cukai Yogyakarta, yang jadi sorotan warganet lantaran suka pamer harta di media sosial. Aksi pamer harta itu dimuat Eko di akun instagram miliknya, yang kini sudah dihapus. Dalam salah satu postingannya, Eko tampak menaiki Harley Davidson, seraya menambahkan tagar #BeaCukaiHedon. “Eselon III Bea Cuai punya koleksi mobil antik dan moge harley serta beberapa barang branded. #BeaCukaiHedon,” cuit Eko, yang kini telah dibebastugaskan oleh Kementerian Keuangan.
Sementara itu, sebagian orang mungkin baru tahu barang-barang mewah setelah melihat tayangan media yang memperlihatkan harta benda para tersangka korupsi. Mulai dari jam tangan, tas, sampai mobil yang harganya miliaran rupiah. Juga kehidupan pibadi dan keluarga mereka yang wah, lengkap dengan rumah-rumah dan apartemen-apartemen baik yang ditinggali maupun yang hanya ditengok sekali-kali.
Berkata Imam Fahruddin Ar-Razi (Tafsir Kabir), mewah adalah perilaku orang yang disombongkan oleh kenikmatan dan kemudahan hidup. Sedangkan Ibn Khaldun dalam kitabnya Muqaddimah menyebut korupsi sebagai akibat kebiasaan hidup mewah. Untuk itu, kata dia, mereka berbohong, berjudi, menipu, berbuat curang, mencuri, bersumpah palsu, dan seterusnya. Karena lahirnya beberapa keinginan yang diakibatkan oleh kemewahan, ungkap failasuf besar Muslim ini, orang-orang pun berusaha mengetahu cara-cara dan bentuk-bentuk tindakan immoralitas itu. Dan kita mkaranelihat betapa rumit dan licinnya perilaku tercela ini dimainkan sekarang.
Di Indonesia kita mengenalnya antara lain dalam bentuk yang popuer disebut KKN alias korupsi, kolusi dan nepotisme, yang hampir dipastkan terjadi pada seluruh lapangan kehidupan dan dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat. Tak heran jika Hatta pernah menyatakan bahwa korupsi telah membudaya dan masyarakat Indonesia – dan karena itu sulit diberantas. Bapak Proklamator itu tentu saja sangat anti-korupsi, dan dikenal hidup amat sederhana, sampai-sampai ia tidak mampu menyisihkan uang pensiunnya untuk sekadar bayar tagihan listrik. Hatta memang praktis mengandalkan hidupnya hanya dari uang pensiun, selain mengajar di perguruan tinggi. Katanya, dia tidak ingin memanfaatkan pengaruhnya sebagai mantan wakil presiden untuk, misalnya, menjadi komisaris perusahaan.
Tapi bagaimana dengan seorang pejabat tinggi Republik yang mengatakan bahwa korupsi merupakan pelicin bagi roda pembangunan? Bagaimana pula dengan para mantan pejabat dan bekas pendukung calon presiden yang sekarang banyak mengisi jabatan komisaris di perusahaan-perusahaan negara? Hampir dipastikan, itu bukan lantaran kompetensi mereka yang dibutuhkan untuk mengembangkan korporsi, tetapi lebih karena pertmbangan yang selain itu.
Kembali kepada pendapat Ibn Khaldun. Jika kemewahan dan segala akibat yang ditimbulknnya itu meluas dalam suatu negeri, maka kita akan menyaksikan kehancuran negeri itu. Allah sendirilah yang akan menghancurkan negeri itu sehancur-hancurnya. Hidup mewah juga merupakan faktor utama datangnya bala dan azab, serta jauhnya pertolongan Tuhan.
Nah. Apa bedanya hidup mewah dengan boros atau mubazir? Di dalam kemewahan, pasti terdapat unsur pemborosan, tapi orang boros belum tentu mewah. Namun, sebagaimana halnya hidup mewah, perilaku boros pun amat tercela dalam pandangan agama. Bahkan Tuhan menyebut pelakunya sebagai teman syetan (ikhwanusy syayathin).
Imam Ar-Razi, dalam kitabnya yang tadi, mengartikan boros (tabdzir) sebagai menghambur-hamburkan harta dan menafkahkannya dalam kemewahan. Ia mengutip penuturan Utsman ibn Aswad yang suatu kali bertawaf, mengelilingi Ka’bah, bersama Mujahid. Tatkala pandangannya tertuju ke bukit Abu Qubaisy, kata Utsman, Mujahid berkata:
“Kalau seseorang membelanjakan uangnya dalam jumlah seperti itu (seraya menunjuk ke bukit) untuk taat kepada Allah, maka ia bukan tergolong orang-orang yang boros. Tetapi kalau seseorang membelanjakan satu dirham pada jalan kemaksiatan, ia termasuk golongan yang boros.”
Berkata Utsman, orang-orang yang mendengar perkataan itu, serta merta menyumbangkan hartanya dalam jumlah banyak. Tapi kata dia, ada juga orang-orang yang berkomentar, “Tak ada gunanya menyumbang harta secara boros dan melampaui batas seperti itu’.” Apa kata Mujahid? “Tidak ada kata boros dalam hal kebaikan.”
Tentu, tidak pada tempatnya hasil uang korupsi dibagi-bagi untuk sedekah. Bahkan menurut kalangan Muktazilah, harta atau uang haram ini tidak boleh dikeluarkan zakatnya, tapi wajib dirampas kembali. Tapi anehnya, barang-barang mewah yang ditengarai diperoleh melalui jalan ilegal dan tidak halal itu, dipamer-pamerkan. Ya, dengan bangganya.
Bahan rujukan: Fahkruddin ar-Razi, At-Tafsir al-Kabir (1981); Ibn Khaldun, Al-Muqaddimah (1988).