Opini Ketua DPD-RI AA Lanyalla Mahmud Mattalitti: Demokrasi Telah Cacat dan Berubah Arti
Intelligence Economist Unit, lembaga riset dan analisis internasional multi isu, secara umum menyatakan demokrasi di Indonesia berada dalam status “demokrasi cacat”. Terdapat dua indikator dari memburuknya demokrasi di Indonesia. Yakni budaya politik dan kebebasan sipil.
Polarisasi yang tajam dari keterbelahan masyarakat sipil yang terjadi sejak 2014 hingga hari ini menjadi salah satu penyebab kemunduran demokrasi di Indonesia. Banyak terjadi kegaduhan sosial di masyarakat di mana masyarakat saling persekusi, saling melaporkan ke ranah hukum seolah tidak ada lagi ruang dialog dan tukar pikiran. Menjadi semakin parah ketika ruang-ruang dialog semakin dibatasi dan dipersekusi. Baik oleh kelompok penekan, pressure group, ataupun dibatasi secara resmi oleh institusi negara.
Adanya berbagai sweeping bendera, kaos, pembubaran ruang diskusi dan sebagainya, yang sama sekali tidak mencerminkan kehidupan di negara demokrasi, tetapi lebih pada tradisi barbar, yang menyebabkan sejumlah institusi demokrasi internasional menyatakan bahwa indeks demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran. Penyebab dari berbagai hal di atas adalah karena partai politik menetapkan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold). Akibatnya pasangan calon yang dihasilkan terbukti sangat terbatas. Dari dua kali pemilu Indonesia hanya menghasilkan dua pasangan capres/cawapres sehingga dampaknya terjadi polarisasi yang cukup tajam.
Sekarang sedang digulirkan perpanjangan masa jabatan presiden untuk ketiga kalinya. Ini harus ditolak. Bangsa ini sudah sepakat bahwa masa jabatan presiden hanya lima tahun dan maksimal dua periode. Bahwa pemilu adalah mekanisme evaluasi yang diberikan kepada rakyat tiap lima tahun sekali, bukan tujuh atau delapan tahun. Hal itu adalah prinsip yang merupakan amanat kebangsaan.
Demokrasi di Indonesia sejak amandemen UUD 1945 tahun 2002 telah berubah arti. Bukan lagi dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat, tetapi telah berubah dari rakyat, oleh partai dan untuk kekuasaan. Itulah akibat dari “kecelakaan” amandemen konstitusi 2002 yang memberi ruang terlalu besar kepada partai politik sehingga terjadi parpol menjadi tirani baru yang bekerja dengan pola zero sum game. Sementara DPD-RI sebagai peserta pemilu perseorangan sebagai representasi daerah tidak memiliki kewenangan yang cukup kuat dalam konstitusi. Sehingga unsur non partisan atau non parpol tidak memiliki ruang yang cukup di Senayan.
Sumber: Keynote Speech Ketua DPD-RI AA Lanyalla Mahmud Mattalitti dalam Dialog Kenegaraan: “Penundaan Pemilu, Kemunduran atau Terobosan Demokrasi” dan Peluncuran Buku LP3ES, Kemundura Demokrasi dan Resiliensi Masyarakat Sipil, 28 Maret 2022
Penggiat Pembelajaran Bermakna;
Tinggal di Tangerang Selatan.