Degradasi Nalar dan Moral dalam Kehidupan Politik Kita

Krisis nalar dan moral kini tengah melanda kehidupan politik di Tanah Air. Peristiwa demi peristiwa yang terjadi di arena politik menunjukkan absennya nalar yang sehat dan moral yang terpuji. Para aktor dan kelembagaan politik lebih menonjolkan bagaimana cara memenangkan kontestasi dan seberapa besar keuntungan yang bisa didapat. Hampir-hampir tidak dipersoalkan apa dan siapa yang benar.

Para aktor politik, yang jadi pemimpin atau calon pemimpin, semestinya memang tidak meletakkan tujuannya pertama kali pada garis perburuan kekuasaan itu sendiri. “Saya tidak mengejar kursi” tentu layak diucapkan seorang calon yang sadar. Malah mungkin ia akan berusaha menolak kursi itu jika ia memang merasa bukan orangnya, atau jika ia takut tergoda menyelewengkan penggunaannya, atau jika ia yakin tidak mungkin mendapatkannya. Pada kali lain ia mungkin mengejar kursi itu jika ia memandangnya sebagai satu-satunya jalan yang mungkin untuk mewujudkan amanat rakyat yang diembannya dengan ikhlas dalam wujud program-program yang ia yakini.

Jadinya, posisi atau jabatan bukan sesuatu yang dengan sendirinya diterima dengan suka cita, sebagai anugerah. Tetapi sebagai sarana, dan juga ujian. Sebab kelak di akhirat dia harus mempertanggungjawabkan kekuasaannya, besar maupun kecil, pada pengadilan Tuhan.
Apa yang seharusnya itu, tentu hanya bisa mewujud jika para aktor menggunakan nalar dan berpegang pada moral.

Kepemimpinan yang tegak pada landasan moral memang sudah lama absen. Bisa terjadi bahwa hanya sedikit dari tiga cabang kekuasaan (legislatif, eksekutif dan yudikatif, yang merupakan pribadi-pribadi yang bersih, menjaga diri, terpercaya, mendahulukan kepentingan orang lain dari kepentingannya sendiri, dan tidak haus kekuasaan.

Sekarang politik tampaknya tidak lagi dimaknai sebagai upaya memperjuangkan nilai-nilai, tujuan, dan kepentingan publik. Politik sebagai siasat meraih kekuasaan semakin canggih. Tetapi politik sebagai laku moral justru mengalami degradasi.

Politik sebagai siasat meraih kekuasaan semakin canggih. Tetapi politik sebagai laku moral justru mengalami degradasi.

Kenyataan-kenyataan dalam kehidupan politik seperti pimpinan BPK yang menerima sogok, hakim pejabat MK jadi alat kekuasaan, pimpinan KPK yang melakukan pemerasan dan menerima gratifikasi, pejabat tinggi Kementerian Hukum yang jadi pemburu rente bidang hukum, sejatinya tidak bisa diterima nalar maupun moral. Lebih dari sekadar menyimpang, tapi serba terbalik dengan peran yang harus mereka mainkan. Tak ada rasa takut pada mereka. Juga rasa bersalah dan rasa malu.

Peremehan nalar dan moral dalam kehidupan politik di Tanah Air, boleh jadi antara karena kita sudah mulai melupakan tentang hakikat atau jati diri kita sebagai manusia. Ya, manusia ciptaan Tuhan yang telah diperlengkapinya dengan kemampuan berpikir dan hati nurani, selain nafsu. Di mana ketiganya harus berjalan secara sinkron.

Yang disebut terakhir merupakan daya penggerak pada diri manusia. Ia ibarat bahan bakar pada kendaraan bermotor. Karena itu nafsu sangat penting. Nafsu tidak bisa dikurangi apalagi dimatikan. Tapi tingkah laku manusia menjadi buruk jika dia perbudak oleh nafsunya. Dengan demikian, nafsu tidak boleh dibiarkan liar, tapi harus dikendalikan atau dijinakkan. Alat untuk mengendalikan nafsu itu adalah nalar, akal pikiran, sebagai komponen kedua yang ada dalam diri manusia. Dengan dikendalikan oleh nalar, maka nafsu akan menjadi sebuah kekuatan besar yang positif dan bermanfaat, menyelamatkan serta membahagiakan.

Komponen terakhir adalah hati nurani atau yang disebut kalbu. Nurani memiliki kesadaran tinggi yang mampu menampung cahaya hidayah atau petunjuk murni dari Tuhan. Di dalam kalbu terkandung segala perasaan halus yang berada di lubuk jiwa manusia.

Jika manusia telah mampu mengendalikan nafsu, menggunakan akal pikiran dan mendengarkan hati nurani, maka kita berhak menyandang gelar sebagai manusia yang sempurna, yang berhak mengemban amanat sebagai khalifah Tuhan. Yang mampu mengolah dan memanfaatkan isi alam untuk kehidupan dan kesejahteraannya. Bukankah itu pula sejatinya tujuan utama politik? Mewujudkan kesejahteraan.