Kolom Suharso Monoarfa: Memaknai Piagam Madinah dan Meneruskan Risalah Kenabian

Realitas yang dihadapi Nabi SAW mulai menetap di Madinah adalah selain penduduknya yang beragam, majemuk alias plural, mereka saling bermusuhan satu sama lainnya. Kenyataan inilah yang mendorong Nabi menyusun dan menetapkan “Piagam Madinah”. Piagam Madinah dikenal juga dengan beberapa sebutan, seperti Konstitusi Madinah, Dustuur al-Madinah, Shahifah al-Madinah, Mitsaaq al-Madinah.


Piagam Madinah berisi 47 pasal, memuat poin-poin yang mengatur hubungan antara berbagai komunitas masyarakat (Madinah) yang majemuk, jaminan atas hak berkeyakinan, kesetaraan di muka hukum, sistem perpolitikan, perdamaian, pertahanan-keamanan, serta ketaatan kepada pemimpin. Perjanjian ini kemudian “ditandatangani” bersama dengan 12 kelompok masyarakat, yang diwakili oleh 3 kelompok besar. Yakni kelompok muslimin, kelompok penduduk/suku Arab yang belum masuk Islam, dan kaum Yahudi dari Bani Nadir dan Bani Quraidzah.

Piagam Madinah yang diproklamasikan Rasulullah sekaligus menandai berdirinya negara yang pertama dengan “kewarganegaraan” yang majemuk dalam hal suku dan agama di bawah kepemimpinan Rasulullah. Yakni, suku Arab Quraisy, suku Arab Islam dari wilayah lain, suku Arab Islam asli Madinah, suku Yahudi penduduk Madinah, dan suku Arab yang belum menerima Islam (kaum pagan). Di antara komunitas-komunitas itu yang menonjol adalah komunitas Muslim, dan komunitas Yahudi yang menempati strata sosial ekonomi paling tinggi di Madinah.


Disebutkan, seluruh kaum Muslimin dan kaum Yahudi yang tergabung dalam perjanjian (Piagam Madinah) dikategorikan sebagai satu umat. Mereka wajib berjuang bersama-sama dalam menciptakan keamanan nasional dan bela negara bila sewaktu-waktu ada serangan musuh dari luar. Hal ini di antaranya termaktub dalam Pasal 38 dan 44, yang menyatakan bahwa “Kaum Yahudi memikul biaya bersama mukminin selama dalam peperangan.” Sementara Pasal 44 menyebutkan “Mereka (pendukung Piagam) bahu-membahu dalam menghadapi penyerang kota Yatsrib.” Semua kaum Muslimin dengan berbagai latar belakang suku, seperti suku Quraisy, bani Auf, Saidah, Al-Hars, Jusyam, An-Najjar, Amr ibn Auf, diimbau untuk tetap kompak bekerja sama, seperti halnya dalam membayar diat dan membebaskan tawanan. Banyak Pasal yang menegaskan soal ini, di antaranya Pasal 2 sampai Pasal 10. Untuk memperkukuh kesatuan warganya, pola relasi antara sesama Muslim dan juga Yahudi yang tergabung dalam perjanjian juga diatur. Kaum muslimin dan Yahudi tidak diperbolehkan membuat persekutuan baru tanpa seizin pemerintahan Rasulullah. Mereka juga dinyatakan berada dalam satu barisan menentang orang-orang zalim dan berbuat kerusakan.


Piagam Madinah menegaskan bahwa semua warga memiliki kedudukan hukum yang sama. Siapa pun yang berbuat zalim dan jahat, baik dari kalangan muslimin maupun Yahudi, tidak boleh dilindungi oleh siapa pun, bahkan harus ditentang bersama-sama. Kaum muslimin dilarang main hakim sendiri dan bersekongkol dengan pihak lawan. Selama tidak melakukan pelanggaran, kelompok Yahudi dan sekutu-sekutunya berhak atas perlindungan, pertolongan, dan jaminan negara. Pasal 16 menyebutkan: “Sesungguhnya orang Yahudi yang mengikuti kita berhak atas pertolongan dan santunan, sepanjang (mukminin) tidak terzalimi dan ditentang (olehnya).”


Selain kesetaraan dan kesamaan hak semua warganya, piagam ini juga sangat menghargai dan menghormati hak dasar manusia lainnya, yakni hak beragama. Baik kaum muslimin maupun kaum Yahudi, bersama sekutunya, diberi kebebasan untuk menjalankan agama/kepercayaannya masing-masing. Hal ini tertuang dalam Pasal 25 hingga 35. Pasal 25 berbunyi: “Kaum Yahudi dari Bani ‘Awf adalah satu umat dengan mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum Muslimin agama mereka. Juga (kebebasan ini berlaku) bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang zalim dan jahat. Hal demikian akan merusak diri dan keluarganya.”


Sementara itu wilayah Madinah dinyatakan sebagai “Kota Suci”. Penegasan ini termaktub dalam Pasal 39. Konsekuensinya adalah diharamkan berperang dan pertumpahan darah di wilayah Madinah, kecuali kepada mereka yang melakukan pelanggaran, mengancam stabilitas negara, dan mengoyak sendi-sendi kerukunan beragama.


Dengan piagam yang terdiri atas 47 butir itu Rasulullah telah meletakkan dasar-dasar kehidupan bernegara untuk masyarakat majemuk dalam hal suku dan agama. Intinya, semua umat Islam, meski berasal dari banyak suku, merupakan satu komunitas. Hubungan antaranggota komunitas Islam serta antara anggota komunitas Islam dan anggota komunitas lain didasari prinsip:

  1. bertetangga baik
  2. saling membantu dalam menghadapi musuh bersama
  3. membela mereka yang teraniaya
  4. saling menasihati
  5. menghormati kebebasan beragama

Lima prinsip tersebut mengisyaratkan: pertama, adanya persamaan hak dan kewajiban semua warga negara tanpa diskriminasi suku atau agama; kedua, pemupukan semangat persahabatan dan saling berkonsultasi dalam menyelesaikan masalah bersama (ukhuwah basyariyah, kemanusiaan atau perikemanusiaan) saling membantu dalam menghadapi musuh bersama (ukhuwah wathaniyah, kebangsaan atau persatuan).


Dengan demikian, Piagam Madinah merupakan peraturan yang dirancang untuk persatuan dan kesatuan, pertahanan nasional, kebebasan dan kerukunan beragama, saling tolong-menolong antar sesama, Anggota komunitas bersama-sama bertanggung jawab dalam mewujudkan keutuhan dan kedaulatan negara.


Piagam Madinah dapat kita jadikan sebagai rujukan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam konteks negara-bangsa sekarang. Yakni sebagai i upaya menciptakan integrasi sosial di masyarakat kita yang majemuk. Kita mesti menyadari bahwa perbedaan latar belakang kesukuan dan agama, serta adanya kecemburuan sosial-ekonomi sangat berpotensi menjadi pemicu munculnya konflik horizontal. Piagam Madinah yang terbentuk sebagai salah satu upaya mengatasi munculnya perbedaan kepentingan yang dapat memicu konflik sosial, baik terpendam maupun terbuka, sejatinya menjadi inspirasi umat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.


Sebagai pemimpin negara, Nabi SAW memperlakukan seluruh penduduk Madinah tanpa sikap diskriminatif. Kesetaraan dalam hukum, juga dapat ditunjukkannya dengan tidak menganakemaskan kaum muslimin, atau menganaktirikan yang non-Muslim. Siapa pun yang zalim dan khianat dihukum sesuai peraturan yang berlaku.

Misi Utama


Namun demikian, posisi Nabi sebagai kepala negara (dan sekaligus panglima tertinggi, yang memiliki otoritas untuk mengizinkan atau tidak mengizinkan berperang), sejatinya menempati posisi sekunder. Sebab misi utamanya adalah membawa risalah atau pesan-pesan dari Allah untuk disampaikan kepada umat manusia. Risalah ini secara estafet diteruskan dari generasi ke generasi sehingga menembus ke pelbagai penjuru dunia termasuk kita di Indonesia. Risalah yang diemban Muhammad SAW itu antara lain tertuang dalam surat Al-Fath ayat 8 dan 9: “Inna arsalnaaka syaahidaw- wamubasyyiraw- wanadziiraa. Litu’minuu billahi wa rasuulahu wa tu’azziruuhuwa tuwaqqiruuhu watusabbihuuhu bukrataw wa ashiilaa.”

إِنَّآ أَرۡسَلۡنَٰكَ شَٰهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا لِّتُؤۡمِنُواْ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَتُعَزِّرُوهُ وَتُوَقِّرُوهُ وَتُسَبِّحُوهُ بُكۡرَةً وَأَصِيلًا


Artinya: “Sesungguhnya Kami mengutus kamu sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)Nya, membesarkan-Nya. Dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang.”

Berikut ini beberapa tafsir tentang ayat 8-9 surah Al-Fath. Yaitu tafsir klasik Jalalain karya dua Jalal yaitu Jalaluddin as-Suyuthi dan Jalaluddin al-Mahalli, tafsir Ibnu Katsir, tafsir Kementerian Agama yaitu Al-Qur’an dan Terjemahnya, dan tafsir mutakhir Al-Misbah, karya Muhammad Quraish Shihab.


Tafsir JalalainSesungguhnya Kami mengutus kamu sebagai saksi (syaahid) atas umatmu pada hari kiamat nanti, dan pembawa berita gembira (basyir) kepada mereka di dunia, dan pemberi peringatan (nadzir), yakni memberi peringatan dan menakuti mereka selama di dunia akan siksa neraka kelak di akhirat jika mereka melakukan perbuatan yang berdosa.


Supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya,  menguatkan agama-Nya, maksudnya supaya kalian menolong agama-Nya, membesarkan-Nya, artinya supaya kalian mengagungkan-Nya (kata ganti orang ketiga “ha” atau diterjemahkan dia atau nya, merujuk kepada Allah atau Rasul-Nya), dan supaya kalian bertasbih kepada-Nya yakni kepada Allah di waktu pagi dan petang pada setiap pagi dan sore.


Tafsir Ibnu Katsir: Allah berfirman kepada Nabinya, Muhammad SAW:  “Sesungguhnya Kami mengutusmu sebagai saksi”, yakni atas semua makhluk. “Dan pembawa berita gembira” yaitu bagi orang-orang yang beriman. “Dan pemberi peringatan”, yakni bagi orang-orang kafir.


Supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan menguatkan [agama]-Nya.” Ibnu ‘Abbas dan juga beberapa ulama lainnya mengatakan: “Yakni mengagungkan-Nya.” “Dan membesarkan-Nya” yakni menghormati, mengagungkan dan memuliakan-Nya. “Dan bertasbih kepada-Nya” yaitu mensucikan-Nya. “Pada waktu pagi dan petang yakni pada awal dan akhir siang.

Tafsir Kemenag (Al-Qur’an dan Terjemahnya) : Allah menyatakan bahwa sesungguhnya Dia mengutus Muhammad sebagai saksi atas umatnya mengenai kebenaran Islam dan keberhasilan dakwah yang beliau kerjakan. Nabi bertugas menyampaikan agama Allah kepada semua manusia, serta menyampaikan kabar gembira kepada orang- orang yang mau mengikuti agama yang disampaikannya. Mereka yang mengikuti ajakan Rasul akan diberi pahala yang berlipat ganda berupa surga di akhirat. Nabi juga bertugas memberikan peringatan kepada orang-orang yang mengingkari seruannya untuk mengikuti agama Allah bahwa mereka akan dimasukkan ke dalam neraka sebagai akibat dari keingkaran itu.


Allah melakukan yang demikian agar manusia beriman kepada-Nya dan kepada Muhammad SAW sebagai rasul yang diutus-Nya; membela dan menegakkan agama-Nya dengan menyampaikan kepada manusia yang lain; mengagungkan-Nya dengan membesarkan nama-Nya; dan bertasbih dengan memuji dan menyucikan-Nya dari sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya pada setiap pagi dan petang.


Tafsir Quraish Shihab (Al-Misbah): Sesungguhnya Kami telah mengutusmu, wahai Muhammad, sebagai saksi atas umatmu dan umat-umat terdahulu, dan sebagai pembawa berita gembira kepada orang-orang yang bertakwa berupa pahala yang baik serta pemberi peringatan kepada orang-orang yang berbuat maksiat berupa siksa yang buruk.


Supaya kalian, orang-orang yang diutus rasul kepadanya, beriman kepada Allah dan rasul-Nya, membela Allah dengan cara membela agama-Nya dan mengagungkan-Nya serta menyucikan-Nya pagi dan petang dari hal-hal yang tidak sesuai dengan kebesaran-Nya.


Terdapat perbedaan tipis, yang sifatnya hanya memberi tekanan, di antara para mufasir, kita dapat menyimpulkan bahwa Allah mengutus Muhammad sebagai saksi kebenaran, baik terhadap ajaran Islam yang dibawanya maupun ajaran-ajaran yang dibawa oleh rasul-rasul-rasul sebelumnya. Itu yang pertama. Yang kedua sebagai pembawa berita gembira yaitu berupa balasan surga bagi orang yang beriman. Ketiga sebagai pembawa peringatan berupa balasan neraka kepada mereka yang mengingkarinya.


Adapun tujuan dari risalah yang dibawa Muhammad SAW itu adalah supaya kita beriman kepada Allah, membela dan menegakkan agama Allah dengan cara berdakwah, mengagungkan dan menyucikan nama-Nya, dengan membaca tasbih, tahmid dan takbir setiap hari.


Alhasil, sebagai warga dari sebuah negara, kita wajib menjaga persatuan dan kesatuan; sebagai warga masyarakat kita harus saling tolong-menolong, membantu satu sama lain, dan sebagai umat Islam kita wajib meneruskan risalah atau misi yang dibawa Nabi dengan cara berdakwah yang diformulasikan secara sederhana yaitu amar makruf dan nahi mungkar, serta memperdalam religiositas dengan selalu bertasbih (menyucikan nama-Nya) , memuji nama-Nya (bertahmid) dan mengagungkan asma-Nya (bertakbir) setiap hari.