Imam Teguh Saptono (3): Akhirnya Keluar dari ACT
Nafsu Kerelawanan (passion of volunteering) ya hal itulah yang rasakan ITS pasca pemecatannya sebagai Direktur Utama BNI Syariah karena stigma “terkontaminasi radikalisme” dan dianggap terlalu “ke kanan”. Upaya melawan stigma tersebut pastinya akan patah, karena radikalisme didalam prakteknya senantiasa diterjemahkan dengan sikap konsisten antara aktualisasi tindakan dan sebuah keyakinan yang kuat. “Disisi lain aku tidak mungkin meralat stigma tersebut dengan mereduksi keyakinanku. Letupan energi dari kemarahan tersebut melahirkan semacam proklamasi diri bahwa tidak ada satupun pihak yang bisa mendikteku, kecuali keyakinanku sendiri,” kata ITS.
Maka, ia pun bermonolog, “Buat apa aku risau atas apa yang lepas dari tanganku, karena tidak ada yang berharga selain idealisme, paradigma seperti itu terkadang sering diidentikkan dengan istilah ‘sudah selesai dengan dirinya’. Untuk mengaktualisasikan sikap tersebut akhirnya kutemukan melalui aktivitas kerelawanan,” ujar ITS.
Untuk merealisasikan nafsu kerelawanan tersebut ITS membutuhkan wahana, media organisasi yang besar agar dampaknya bisa dilihat orang lain. “Bukankan ini sebuah proklamasi? Diantara semua organisasi kerelawanan sejatinya ada dua yang sejalan dengan keyakinanku, yakni DD dan ACT, keduanya kukenal tatkala BNISy sering team up dalam program-program sosial. Qodarullah melalui referensi beberapa sahabat, entah mengapa ACT paling sering tersebut, belum lagi provokasi dan kampanye programnya melalui medsos begitu meng “entertain” spirit volunterisme yang tengah membara kala itu,” papar ITS.
Palestina, Suriah, Uyghur, dan sebagainya adalah jeritan-jeritan kaum yang tertindas yang merepresentasikan jeritan jiwa, maka tidak pikir panjang gayungpun bersambut, melalui perkenalan singkat dan atas rekam jejak yang kumiliki, tawaran untuk memegang posisi Presiden Direktur PT Global Wakaf Corpora (GWC) pun kuambil, dan inilah awal aku membersamai Lembaga kemanuisaan ACT pada penghujung tahun 2018.Waktu pun berjalan 6 bulan pertama disibukkan dengan mendesign konsep korporasi wakaf dan roadshow ke sejumlah kota, di luar dugaan animo masyarakat untuk berwakaf cukup besar. Hal ini bukan hanya didasarkan oleh konsep wakaf yang pasti hebat, tetapi juga dukungan materi komunikasi yang ciamik dan harus diacungi dua jempol. Sejauh yang saya alami ACT adalah Lembaga yang mampu meramu informasi dan narasi kedalam bentuk visual dan pilihan kata yang bisa melarutkan emosi para pemirsanya.
Mempertanyakan Aktivitas
Tanpa disadari beberapa pertanyaan mulai muncul, dimulai dari menyangsikan dalam diri ITS. Niat sebagaimana ia pernah utarakan pada awal masuk lembaga ini, bahwa ia masuk dunia kerelawanan adalah sebuah proklamasi diri bahwa ia sudah selesai dengan dirinya. Honorarium dan fasilitas yang ia terima mulai membuat hati tidak tenang, bukankah penerimaan lembaga berasal dari donasi umat? Karena fasilitas yang kuperoleh meski di bawah direktur bank, namun setara dengan manajer senior bahkan mobil operasional yang ia terima setara dengan seorang group head di bank?!
Pertanyaan-pertanyaan tersebut sedikit banyak terjawab dengan risiko dan jam kerja teman-teman di lapangan yang tidak kenal waktu, siaga 24 jam dan siap diterjunkan di medan apapun. Belum lagi dengan capaian-capaian fantastis teman-teman di lapangan. Oh itu mungkin jawabannya, lantas bagaimana dengan dirinya? Maka mulailah beberapa pembenaran ia lakukan dengan mengembalikan separuh honorarium kembali ke Lembaga dalam bentuk donasi pribadi, dan pada akhirnya mobil dinaspun ia kembalikan dengan alasan tidak lagi ia gunakan.
Ada beberapa hal yang membuatnya melakukan hal itu, karena akhirnya jawaban-jawaban tentang sistem remunarasi itu menjadi sangat subjektif, dan juga tidak ada evaluasi yang didasarkan atas parameter-parameter yang bisa diuji secara objektif. Tidak ada satupun komite yang mampu melakukan evaluasi dan rekomendasi atas sistem remunerasi yang dijalankan. Namun kerisauan tersebut berhasil diredam atas keyakinan “Remunerasi adalah hal yang sensitif, seorang ITS kan orang baru di Lembaga, dan bukankah ia loyal terhadap cita-cita? … Dan bukan atas Lembaga?” Maka ITS memutuskan untuk terus menyertai Lembaga dan tanpa terasa memasuki tahun kedua.
Pada tahun kedua inilah kegiatan GWC semakin berkembang, jumlah perusahaan yang mewakafkan sahamnya kian bertambah. Belum lagi inisiatif-inisiatif investasi Lembaga yang ditanamkan di beberapa perusahaan wakaf, ada yang bergerak di bidang grosir, property, Lembaga keuangan, produksi pertanian, dan sebagainya.
Kejanggalan-kejanggalan baru mulai timbul, yakni statusnya sebagai Presiden Direktur tidak memiliki kewenangan yang memadai untuk bisa mengambil keputusan, pengawasan dan evaluasi atas transaksi yang dilakukan oleh Lembaga. Pada sejumlah transaksi, ia sependapat dan memang sewajarnya dilakukan sesuai dengan pengalaman professional yang saya miliki. Namun kegalauan semakin memuncak tatkala sejumlah transaksi terjadi, di mana ia tidak dimintakan pendapat dan dalam posisi untuk tidak dapat menolak, karena kewenangan manajemen seakan di pass thru oleh keputusan pemegang saham. Seluruh keputusan manajemen GWC diambil dengan pola “after the fact” jadi semacam terpojok dan bersifat fait accompli.
Akhirnya ITS memutuskan untuk menjauh sedikit dari ring satu lembaga, selain menghindari keterlibatan namun tetap berharap saya mampu memberikan value added dan sekadar fungsi check and balance bagi teman-teman di sana, karena ia tahu persis secara pribadi terlalu banyak orang baik yang bekerja di sana. Juga visi dari lembaga pun penuh dengan kemuliaan.
Maka ia pun mengajukan diri untuk ditugaskan mengelola salah satu perusahaan wakif yang bergerak di Lembaga keuangan sekaligus mengubah status dari Presiden Direktur menjadi Komisaris GWC. Akhirnya kemelut itupun terjadi, yakni dimulai dari gagal bayar kewajiban terhadap pihak ke-3 dari salah satu perusahaan yang ada di bawah GWC. Sebelumnya dalam kapasitas sebagai komisaris ia sudah sempat memperingatkan Lembaga atas sejumlah investasi yang perlu direview kembali khususnya terkait underlying transaksinya, namun kejadiannya sama, keputusan demi keputusan senantiasa diambil langsung oleh pemegang saham secara langsung dan parahnya kali ini manajemen eksekutif dari GWC terafiliasi dengan bisnisnya.
Akhirnya puncaknya memutuskan diri untuk tidak lagi menyertai Lembaga terpaksa ia ambil putuskan di pertengahan tahun 2020. Keputusan tersebut agak terhalang karena menunggu kesembuhan pasca dirawat di ICU karena Covid. Keputusan final ini ia lakukan dipicu oleh sejumlah diskusi dengan para pimpinan, guna menjawab pertanyaan ini, apakah Lembaga memiliki sistem suksesi kepemimpinan? Bagaimana kinerja pengurus lembaga dinilai? Oleh siapa? Dan apakah evaluasi itu saat ini berjalan efektif? Karena dari serangkaian masalah yang timbul bersifat sistemik, “Saya pada kesimpulan bahwa kepemimpinan harus dirombak, tetapi dari jawaban-jawaban yang ada tidak ada mekanisme yang tersedia saat itu guna memperbaiki dan mengganti kepemimpinan kecuali melalui mekanisme kudeta yang pastinya melanggar aturan yang ada,” jelas ITS. Di situlah ia pun memutuskan untuk meninggalkan lembaga
Wartawan Panji Masyarakat (1997-2001).
Ia antara lain pernah bekerja di Aksi Cepat Tanggap (ACT) Jakarta.
Dan kini aktif di Indonesia Care, yang juga bergerak di bidang kemanusiaan.