BERKACA KEPADA KEPEMIMPINAN KHALIFAH UMAR

Salah satu Teladan Khalifah Umar ibn  Khattab yaitu antinepotisme jarang diikuti oleh para pemimpin Islam, sejak zaman Khalifah Utsman sampai zaman modern sekarang. Padahal nepotisme pula yang antara lain menyebabkan keruntuhan Khalifah Utsman.

“Andai saja ada nabi setelah aku, dia itulah Umar.” Ini  sabda Rasulullah s.a.w. tentang salah seorang sahabatnya, Umar ibn Khaththab, sebagaimana diriwayatkan Imam Turmudzi.

Sebelum mengucap dua kalimat syahadat Umar adalah musuh paling ganas dan menentang habis-habisan Muhammad dan Islam. Tetapi setelah masuk Islam, dia berbalik menjadi pendukung yang gigih. Ia pun menjadi penasihat utama Rasulullah dan Abu Bakar. Kebanyakan ayat-ayat hukum yang diturunkan kepada Rasulullah s.a.w. adalah mendekati pendapat Umar atau cocok dengan pendapatnya, karena Rasulullah memang telah berdoa untuknya: “Semoga Allah menjadikan kebenaran pada lisan Umar dan hatinya.”

Khalifah pengganti Abu Bakar itu memang dikenal punya keluasan wawasan dan kemampuan kepemimpinan, yang tidak tertandingi dalam sejarah Islam, setelah Nabi Muhammad s.a.w. Tak heran jika dalam buku Michael Hart tentang 100 tokoh yang dinilainya paling berpengaruh di dunia sepanjang sejarah, ia disebut sebagai salah satu dari dua tokoh yang mewakili kalangan Islam, selain Nabi Muhammad yang ditempatkan sebagai tokoh pertama. Kata Hart, “Abu Bakar adalah pemimpin yang berhasil tapi beliau wafat sesudah jadi khalifah hanya selama dua tahun. Tetapi dialah yang menunjuk Umar sebagai penerusnya pada tahun 634 dan memegang kekuasaan sampai tahun 644 tatkala dia terbunuh di tangan seorang budak Persia.”

Dalam masa kepemimpinannya yang 10 tahun, bangsa Arab berhasil menaklukan Suriah, Palestina, Turki, Mesir yang waktu itu dikuasai kekaisaran Byzantium. Setelah itu, Irak yang berada di bawah kekaisaran Persia juga berhasil ditaklukan, sampai akhirnya kekaisaran Persia tidak tersisa. Menjelang wafatnya, sebagian besar daerah barat Iran sudah dikuasai sepenuhnya oleh bangsa Arab. “Perluasan mungkin saja bisa terjadi, tetapi tidaklah akan sebesar itu kalau saja tanpa kepemimpinan Umar yang brilian,” tulis Hart. Ia juga menyebut penaklukan yang dilakukan oleh bangsa Arab di bawah Umar lebih luas daerahnya dan lebih tahan lama dan lebih bermakna ketimbang apa yang diperbuat oleh Charlemagne atau Julius Cesar.  

Sayidina Umar, seperti disadarinya sendiri, adalah pemimpin yang berwatak keras dan sangat menjunjung tinggi hukum. Ini tampak dari pidatonya ketika dia diangkat menjadi khalifah menggantikan Abu Bakr. Berikut ini petikannya:

“Aku tahu, di antara kalian ada yang mengatakan, ‘Apa jadinya urusan kita dipimpin Umar yang berwatak keras seperti itu?’ Tanpa perlu bertanya kepada siapa pun tentang diriku, kalian sudah tahu siapa aku. Bahkan sudah sangat berpengalaman mengenai pribadi dan tindakanku. Ketahuilah, kekerasanku terhadap orang yang zalim, yang jahat, dan orang-orang kuat yang menindas yang lemah. Namun terhadap mereka yang baik di antara kalian, aku berlaku sopan dan hormat. Jika ada sengketa antara aku dan siapa pun di antara kalian, aku bersedia pergi bersamanya menemui orang yang kalian anggap bisa menyelesaikannya. Biarlah dia yang menilik persoalannya. Wahai para hamba Allah, bertakwalah kepada Tuhan kalian. Bantulah aku mengatasi nafsu kalian dengan cara mengendalikannya. Bantulah diriku menjalankan amar makruf nahi munkar.”

Kepada para gubernurnya yang ia kirim ke suatu daerah Umar berpesan: “Tegakkanlah hukum. Seretlah orang-orang yang berbuat zalim ke pengadilan. Walau sesaat, lecehkanlah kaum fasik dan pisahkan mereka. Jika terjadi ketegangan antarsuku, serukanlah kepada mereka bahwa itu termasuk bisikan setan. Ajaklah mereka ke jalan Allah dan ajaran Islam.”

“Abadikanlah nikmat dengan bersyukur, kemampuan dengan permohonan ampun, dan kemenangan dengan sikap rendah hati serta mencintai sesama. Jenguklah kaum muslimin yang sakit. Antarkan jenazahnya sampai ke pemakaman. Berikan perhatian yang besar kepada urusan mereka. Dan, bukalah terus pintumu karena kamu salah seorang dari mereka, hanya saja Allah menjadikan kamu paling berat memikul beban.”
Dari paparan di atas, nyatalah bahwa Umar adalah seorang pemimpin yang (1) berpengetahuan dan berwawasan luas; (2) tegas dan pemberani; (3) berpegang teguh pada hukum dan bersikap adil; (4) sangat memperhatikan kepentingan rakyat; dan (5) egaliter. Namun ada satu teladan Umar yang menunjukkan bahwa dia seorang pemimpin yang visioner, yang tidak sadari bahkan oleh penggantinya Khalifah Utsman ibn Affan. Yakni sikap dan tindakannya yang tidak nepotis. Hal ini tampak ketika dia membentuk sebuah komite yang disebut ahlul halli wal-aqdi yang beranggotakan para sahabat terkemuka. Termasuk putranya Abdullah. Namun berbeda dengan anggota komite lainnya, Umar hanya memberikan hak pilih tetapi tidak untuk dipilih. Salah seorang menantunya yaitu Sa’id ibn Zaid, juga tidak ia sertakan ke dalam komite dan sekaligus sebagai salah seorang calon khalifah penerusnya. Padahal Sa’id, yang masuk 10 Sahabat yang digembirakan masuk surga, termasuk sahabat yang terhormat dan mampu untuk memangku sebuah jabatan.

Sayang , teladan Khalifah Umar bin Khattab yang antinepotisme itu jarang diikuti oleh para pemimpin Islam, sejak zaman khalifah Utsman sampai zaman modern sekarang. Termasuk di Indonesia di mana sirkulasi kekuasaan hanya berputar pada keluarga-keluarga elite penguasa tertentu saja. Selain penguasa baru yang tengah melanggengkan kekuasaannya, tentu saja. Dan untuk itu berbagai cara pun dilakukan, tanpa rasa malu bahwa cara yang dilakukan sangat tidak patut. Padahal  salah satu sebab penting dari kejatuhan Khalifah Utsman bin Affan karena pada masa-masa akhir kekuasaannya ia terlalu banyak mengangkat kerabatnya sebagai pejabat. Panggung politik memang menjadi rusak jika yang tampil hanya orang-orang dan kelompok yang itu-itu juga. Dan celakanya mereka hanya ingin melanggengkan kekuasaan saja.