Hidayat Nur Wahid, Wakil Ketua MPR-RI: Kriteria Penceramah Radikal Versi BNPT Tendensius dan Tidak adil

Kriteria penceramah radikal yang dikeluarkan Badan Penanggulangan Terorisme (BNPT) tendensius dan tidak adil. Bahkan menambah kegaduhan,  tidak menyelesaikan masalah dan akar masalah dari radikalisme. Apalagi kriteria tersebut ditetapkan secara sepihak, hanya menyasar kelompok penceramah beragama Islam, tidak menyentuh radikalisme lain yang juga terjadi di wilayah NKRI. Antara lain  dalam bentuk komunisme, ateisme, maupun separatisme yang bertentangan dengan Pancasila.  Dan dilarang oleh hukum yang berlaku di Indonesia. Apalagi kriteria itu juga menyasar Penceramah dengan sikap kritis dan korektif kepada Pemerintah.  Kriteria mengatasi radikalisme itu mestinya sesuai dengan Pancasila yang final pada 18 Agustus 1945, dan UUD NRI yang mengakui juga menghormati Agama, Persatuan Indonesia, serta  hak asasi manusia (HAM)

Pasalnya, bila tidak konsisten,  sesuai dengan Pancasila dan UUD NRI 1945, maka kriteria itu malah menambah masalah. Antara lain,  timbulnya rasa diberlakukan tidak adil. Karena di pihak lain membiarkan terus terjadinya radikalisme melalui ceramah maupun kegiatan yang lain oleh mereka yang anti agama. Seperti kelompok ateis maupun komunis yang tidak sesuai dengan sila pertama Pancasila dan Pasal 29 ayat (1) UUD NRI 1945, yang ditengarai semakin marak laku maupun pernyataan yang dinilai sebagai menodai Agama, ajarannya, simbol maupun tokoh agama. Juga ceramah dari tokoh agama yang mendukung gerakan separatis di Papua sehingga bertentangan dengan Pancasila sila ketiga maupun Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 37 ayat (5) UUD NRI 1945. Padahal korban dari kelompok OPM ini terus berjatuhan. Selain TNI, Polri juga masyarakat sipil bahkan tenaga kesehatan. Dan oleh Menkopolhukam gerakan separatis KKB OPM disebut sebagai kelompok yang lebih berbahaya dari radikalisme. Tetapi, kriteria-kriteria versi BNPT sama sekali tidak membahas masalah radikalisme dari dua  jenis ini.

Kriteria-kriteria BNPB mengatasi radikalisme, kata HNW mestinya juga tidak mematikan demokrasi dan pelaksanaan HAM dalam bentuk kritik konstruktif terhadap Pemerintah yang sah. Karena yang demikian itu adalah dilindungi oleh UUD serta hukum dan merupakan praktik yang lazim di negara demokrasi di seluruh dunia. Kritik dan koreksi dari Penceramah  di negara demokrasi, yang mengakui hukum dan HAM, mestinya diposisikan sebagai bagian dari pelaksanaan Pancasila dan konstitusi,  serta bukti demokrasi yang hidup sebagai kontrol dan kritik terhadap pemerintah.

Dengan kriteria pasal karet ala BNPT  tersebut bisa-bisa di lapangan yang dipraktekkan justru represi. Setiap kritik dari penceramah akan dimasukkan pada kriteria membenci Pemerintah atau tidak mempercayai Pemerintah. Tergolong dalam kriteria radikalisme ala BNPT, sehingga kritik dan penceramah akan terbungkam dengan label penceramah radikal. Maka wajar bila kriteria-kriteria penceramah radikal itu ditolak oleh banyak pihak. Sekretaris Jenderal PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti menyebutnya hanya “untuk membuat kontroversi” dan “membuat gaduh”. Sedangkan, Sekretaris Jenderal MUI KH Amirsyah Tambunan mengkritik keras dan menyebut kriteria penceramah radikal ala BNPT itu sebagai blunder. Bahkan, organisasi pegiat hukum dan hak asasi manusia menyamakan model stempel radikal ini dengan apa yang digunakan oleh orde baru dalam membungkam demokrasi. Komisi III DPR juga mengkritisi dengan menyebutnya sebagai pendiskreditan terhadap umat Islam.

Sikap BNPT mestinya berbasis kajian komprehensif dan bertanggung jawab. Dengan terlebih dahulu mengkaji secara mendalam dengan lembaga-lembaga yang otoritatif seperti DPR, MUI, Muhammadiyah, NU serta ormas-ormas keagamaan lainnya.  Sehingga terhindar dari menggunakan kriteria tendensius dan pasal karet yang berpotensi menciptakan radikalisme dan ketidakadilan dalam penanganan radikalisme. Serta kegaduhan akibat multitafsir di masyarakat, hal yang tidak kondusif untuk menguatkan Persatuan Indonesia, karena adanya ketidakadilan, serta telah mengkotak-kotakan dan menghadirkan sikap saling curiga diantara sesama anak bangsa sebagai penceramah radikal dan penceramah non radikal. Sementara penceramah dari kelompok radikal yang bertentangan dengan Pancasila yaitu anti Agama maupun pendukung separatisme malah tidak disentuh sama sekali. Apalagi dengan beredarnya daftar nama-nama penceramah Muslim yang dimasukkan dalam “daftar penceramah radikal”.

Agar tidak menambah masalah radikalisme, maka kriteria penceramah radikal versi BNPT ini segera dicabut saja. ”Jika ingin revisi, maka BNPT harus melakukan revisi total melibatkan lembaga-lembaga  otoritatif, dengan konsisten berlandaskan pada Pancasila, UUD NRI 1945, hukum dan keadilan. Bukan semata untuk menyasar satu kelompok saja, dan membiarkan radikalisme dan terorisme dari kelompok  lain yang makin membahayakan Pancasila dan NKRI

Saya mengingatkan agar BNPT tidak mengulangi masalah yang tidak menyelesaikan masalah penanganan terhadap radikalisme dalam berbagai ideologi dan gerakan karena bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Apalagi yang bertentangan dengan Pancasila dan UUDNRI 1945. Karena sebelumnya Kepala BNPT juga pernah datang ke MUI dan meminta maaf terkait pernyataan terbuka soal pesantren yang terafiliasi dengan terorisme.

Kepala BNPT  telah meminta maaf terkait hal tersebut. Jadi, mestinya hal ini tidak diulangi, agar masalah radikalisme dan terorisme bisa diatasi dengan benar, agar tidak malah menambah masalah dengan kegaduhan serta saling curiga di antara umat. Sementara ideologi komunisme, ateisme dan separatisme yang jelas ada dan dilarang oleh negara karena bertentangan dengan Pancasila dan UUDNRI 1945 masih bisa berlanjut tanpa pencegahan dan pengawasan oleh BNPT sebagaimana keseriusan terhadap penceramah radikal.

Sumber: Siaran Pers Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nurwahid, 10 Maret 2022