Agus Salim Bela Kartini yang Dituduh Anti-Islam

Kartini & Haji. Agus Salim

Kartini dituduh anti-Islam karena menyerang hukum Islam yang pro-poligami. Mengapa Haji. Agus Salim  membelanya?    

Pada permulaan tahun 1937 pemerintah Hindia Belanda mengedarkan rancangan “Ordonantie perkawinan tercatat” untuk mengetahui reaksi kalangan Islam, sebelum rencana tersebut dibawa ke Volksraad (Dewan Rakyat). Rancangan  itu  antara lain mengenai larangan poligami, perceraian melalui keputusan hakim, dan sokongan kepada perempuan yang dicerai dan anak-anak. Peraturan ini memang tidak dimaksudkan untuk penduduk pada umumnya, tapi hanya bagi orang Indonesia yang sukarela tunduk pada ordonansi tersebut. Artinya tidak ada keharusan bagi seseorang untuk mencatatkan pernikahannya di kantor catatan sipil. Tetapi rancangan ini kemudian mendapat tantangan keras terutama dari kalangan Islam. Yang menolak rancangan yang oleh beberapa kalangan dinilai akan memperbaiki kedudukan wanita itu antara lain Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah/Aisyiyah, Partai Syarikat Islam Indonesia, Barisan Penyadar Partai Syarikat Islam pimpinan Haji  Agus Salim, H. Abdul Karim Amrullah dan  ulama-ulama Minangkabau lainnya, dan banyak lagi. 

Pidato-pidato dan tulisan-tulisan yang mengecam rencana tersebut baru reda setelah kongres Majelis ‘Alaa Islam Indonesia (MIAI). Organisasi ini didirikan pada 21 September 1937 oleh K.H. Mas Mansur dari Muhammadiyah, K.H. Abdul Wahab Chasbullah dan K.H. Muhammad Dahlan (Nahdlatul Ulama) dan Wahudum Wondoamiseno dari Partai Syarikat Islam Indonesia. MIAI didirikan sebagai sebuah federasi yang akan menjadi tempat permusyawaratan, suatu badan perwakilan yang terdiri dari wakil-wakil dan utusan-utusan dari beberapa perhimpunan yang berdasar agama Islam di seluruh Indonesia Tujuannya untuk membicarakan dan memutuskan soal-soal yang dipandang penting bagi kemaslahatan umat dan agama Islam. Hasil keputusan tesebut harus dipegang teguh dan dilaksanakan bersama-sama oleh segenap perhimpunan yang menjadi angotanya. Pada tahun 1943 atau zaman pendudukan Jepang organisasi ini dibubarkan, dan selanjutnya dibentuk Majelis Syuro Muslimin Indonesia atau Masyumi.

Memperlemah Perjuangan Kemerdekaan

Dalam kongresnya yang pertama pada tahun 1938 di Surabaya, MIAI memang membahas sebuah artikel yang ditulis oleh Siti Sumandari di majalah Bangun, yang diterbitkan oleh Partai Indonesia Raya (Parindra), pimpinan Dokter Sutomo. Tulisan itu  dimaksudkan untuk membela rancangan undang-undang perkawinan itu, tetapi di dalamnya terdapat kata-kata yang menghina Nabi, dan menyerang peraturan perkawinan Islam. Hamka dalam Ayahku (1982) mengungkapkan: “Diceritakannya perkawinan Nabi dengan Siti Zainab, janda dari anak angkatnya          Zaid. Kedua pemuda itu (Siti Sumandari dan Suroto, redaktur Bangun yang menulis kata pengantar untuk tulisan Sumandari dan mendukung pendapat pada   artikel tersebut — pen) mengambil dan mengutip beberapa riwayat daripada buku-            buku yang dikeluarkan oleh orang Kristen, di dalam bahasa Belanda. Maka tulisan             itu pun mendapat bantahan yang sekeras-kerasnya daripada surat-surat kabar   Islam. Saya pun turut membantahnya di majalah Pedoman Masyarakat. Bertubi-tubilah datang bantahan, protes dan meluaplah kemarahan kaum Muslimin kepada Sumandari-Suroto, dituduh menghina Nabi Muhammad s.a.w.”

Kongres menuntut agar pemerintah mengambil tindakan terhadap penulis bersangkutan dan penulis mana pun yang berbuat demikian. Sumandari dan Suroto sendiri akhirnya meminta maaf. Mereka mengaku tidak tahu tentang Islam. Sutomo, pemimpin Parindra, yang juga menjadi sasaran kemarahan kaum Muslimin atas sokongannya terhadap tulisan itu, juga minta maaf secara terbuka. Sastrohutomo, ayah Sumandari, juga minta maaf untuk anaknya. Sedangkan Suroto diberhentikan dari pekerjaannya. Menurut A. Gaffar Ismail, tokoh Muhammadiyah, seperti dikutip Hamka, kedua pemuda itu bukanlah anti-Islam, melainkan sedang mempelajari agama. Hanya sayang, karena dari kecil tidak ada didikan agama, maka amat tipislah keislamannya itu    

Sebenarnya suara-suara perkumpulan perempuan sendiri yang mendukung rancangan itu tidak cukup kuat. Menurut perkiraan KH Abdul Wahab Hasbullah pendukungnya hanya 10 persen. Bahkan Kongres Perempuan Indonesia, seperti yang dianjurkan Maria Ulfah, tidak mengambil keputusan mengenai masalah yang sensitif ini, walaupun ia sendiri menyetujui rancangan tersebut. Maria Ulfah mengatakan, “Jika Belanda betul-betul berniat baik, maka ia dapat saja mengumumkan       berlakunya  ordonansi tersebut tanpa konsultasi-konsultasi segala. Apakah mungkin Belanda sengaja melemparkan gagasan ini untuk diputuskan oleh kaum wanita Indonesia, dengan perhitungan bahwa akan terjadi perpecahan di kalangan kaum pergerakan wanita yang berarti memperlemah perjuangan kemerdekaan?”

Akhirnya, rancangan “Ordonantie perkawinan tercatat” yang akan diajukan  Pemerintah Hindia Belanda itu terkubur sebelum sampai ke Volksraad. G.F. Pijper, advisieur Kantoor voor Inlandschezaken, mencatat bahwa penolakan kalangan Islam terhadap ordanansi  perkawinan itu sebagai “bukti kekuatan Islam”. Juga Harry J. Benda yang mengatakan, bahwa selama tiga dasawarsa, baru kali itulah Islam Indonesia berhasil mendemonstrasikan kekuatannya.

Menyusul kandasnya rancangan ordonansi tersebut, beberapa perkumpulan perempuan di Jakarta,  pada akhir 1937  membentuk Komite Perlindungan Kaum Perempuan dan Anak-anak Indonesia (KPKPAI), yang berfungsi seperti BP4 (Badan Penasehat Perkawinan, Perselesihan  dan Perceraian) sekarang. Pada Kongres Perempuan Indonesia III tahun 1938 di Bandung, KPKPAI diubah menjadi Badan Perlindungan Perempuan Indonesia dalam Perkawinan (BPIP). Tugasnya sebagai biro konsultasi perkawinan, dan mengumpulkan bahan-bahan untuk menyusun sebuah rancangan undang-undang perkawinan bagi umat Islam.

Yang menarik, perdebatan mengenai perkawinan, khususnya tentang poligami dan perceraian, disebut sebagai debat antara dua kubu, yakni antara  aliran Islam dan aliran kebangsaan. Pada tahun 1920-an dan 1930-an kebangsaan ini diartikan  bermacam-macam, seperti chauvinisme, anti-Islam, dan netral agama. Pandangan polaristis ini masih membagi lagi aliran Islam ke  dalam aliran kolot dan aliran modern.  Aliran kolot mengenai perkawinan ini antara lain terdapat dalam sebuah risalah, Kewajiban atas Perempuan Islam bagi Suaminya, karangan Mahyidin Mukti, guru agama di Singkel (Aceh), yang diterbitkan di Bukitinggi  pada tahun 1936, dan Perkawinan Islam oleh Haji H. Aji M Noer Ali (Hamna), terbitan  Teluk Kuantan. Sedangkan aliran yang (agak) modern dapat dibaca antara lain dalam  buku Suami Istri  keluaran Balai Pustaka 1924, karangan A. Latief.  Penulis buku ini pada tahun 1924 sudah menolak perceraian yang mudah dan poligami karena nafsu berahi itu tak terbatas.  Haji Agus Salim, tokoh yang akan kita bicarakan,  juga dimasukkan  dalam golongan ini.

Membela Kartini

Haji Agus Salim dalam tulisannya “Perempuan dalam Islam” memang membela R.A. Kartini yang dituduh anti-Islam sehubungan dengan serangannya terhadap Islam yang mendukung poligami. Salim mengakui bahwa pengetahuan agama Islam “marhumah putri Jawa yang mulia itu” tidak memadai, tapi itu tidak berarti bahwa ia membuta-tuli atas agama Islam.Ajaran Islam yang diberikan oleh para kiai waktu itu memang seperti yang dituliskan Kartini, dan memang dalam prakteknya belum terungkapkan keutamaan perempuan di dalam ajaran Islam. Alhasil, menurut Salim, apa yang dikemukakan Kartini tersebut tidak salah. Kata dia, Al-Quran tidak boleh disalin, dan keadaan perempuan dalam Islam pada waktu itu memang menyedihkan.

Pandangan Haji Agus Salim yang melampaui zamannya mengenai kedudukan perempuan dalam Islam, yang juga tercermin dalam peristiwa “perobekan” tabir, meminjam istilah Bung Karno, ketika Salim pada kongres Jong Islamieten Bond (JIB) tahun 1927 di Solo membuka tabir yang memisahkan tempat duduk laki-laki dan perempuan. Seperti dikatakan Mohamad Roem, kawan akrab dan sekaligus “anak didik” Haji Agus Salim sejak sebelum zaman kemerdekaan, pada tahun 1926 lingkungan pemikiran Agus Salim sudah melampaui batas-batas Indonesia. Oleh karena itu kehadirannya senantiasa disambut gembira oleh angota-anggota Jong Islamieten Bond, karena itu berarti adanya seorang penasehat yang memberi kursus-kursus agama islam yang sangat menarik. Di lingkungan JIB sendiri Salim mendapat pangilan kehormatan Ouwe Heer (Orang Tua Kita). Salim memang mempunyai banyak murid dan pengikut yang belajar di sekolah-sekolah Belanda, termasuk anggota dan pengurus JIB, seperti Mohammad Natsir, Prawoto Mangkusasmito, Kasman Singodimedjo, Jusuf Wibisono, Samsuridjal, untuk menyebut beberapa nama, selain tentu saja Mohamad Roem. Seperti kita ketahui, banyak di antara pemimpin JIB menjadi pemimpin umat Islam di bidang politik sesudah merdeka

Pada zaman Kartini bersurat-suratan dengan sejumlah orang Belanda seperti Stella Zeehandelaar, poligami sudah dikutuk sebagai biang keladi keterpurukan perempuan Jawa, meskipun pejuang emansipasi ini pada akhirnya “rela” didinikahi Bupati  Djojoadiningrat  yang sudah punya tiga istri dan tujuh anak.

Bagi Kartini, poligami adalah aib dan dosa karena memperlakukan wanita sewenang-wenang. Karena itu serangan-serangannya amat tajam, dan cenderung emosional. “Bagaimana saya bisa menghormati seseorang yang sudah kawin dan menjadi ayah, yang apabila sudah bosan kepada anak-anaknya, dapat membawa perempuan lain ke rumah dan mengawininya secara sah sesuai dengan hukum Islam,” tulis Kartini kepada Stella Zeehandelaar. Katanya, meskipun hal itu seribu  kali tidak boleh disebut dosa menurut ajaran Islam, selama-lamanya dia  tetap menganggapnya begitu.  Kritik Kartini kepada Islam yang mendukung poligami memang keras. Ia juga sempat meminta Abendanon untuk bertanya kepada Snouck Hurgronje tentang hak dan kewajiban perempuan, dan anak perempuan mereka, dalam hukum Islam. Sebulan kemudian dia beroleh jawaban bahwa “perempuan di Jawa dalam soal perkawinan baik-baik saja adanya.” Ia kecewa: “orang besar” itu telah menentang perjuangannya.”Masih akan adakah orang dengan tenang mengatakan bahwa “keadaan mereka baik-baik saja”, kalau mereka melihat dan mengetahui semuanya yang telah kami lihat dan ketahui sendiri?” tulis Kartini kepada Abendanon. Kartini sangat boleh jadi tidak tahu bahwa Snouck Hurgronje sendiri bukan “teladan” dalam soal itu: orientalis itu kawin, dua kali, dengan gadis pribumi yang baru 13 dan 17 tahun, yang tidak diakuinya di depan hukum Belanda.    

Islam versus Nasionalis?

Adapun golongan nasionalis yang berpedoman ke Barat dapat dibaca dalam tulisan Siti Aminah “Devrouw in Indonesia” in 30 yaar Perhimpunan Indonesia (dicetak 1938 dalam bahasa Belanda). Penulis ini menggambarkan munculnya berbagai organisasi perempuan serta aksi-aksi mereka yang menuntut suatu  undang-undang baru tentang perkawinan yang di dalamnya antara lain memuat pelarangan terhadap dan  perceraian sewenang-wenang. Maria Ulfah yang memang menolak poligami dimasukkan dalam aliran ini. Maria Ulfah adalah anak Bupati Kuningan RT Mochamad Achmad. Pada tahun 1933, ketika berusia 21, Maria memperoleh gelar “Meester” dari Universitas Leiden. Sepulang dari Negeri Belanda bekerja sebagai pangreh praja di Kabupaten Cirebon. Hanya betah tiga bulan,dia  lalu pindah ke Jakarta antara lain mengajar di sekolah menengah Muhammadiyah, sampai sekolah-sekolah partikelir ditutup ketika Jepang datang. Waktu itu ia dikenal dengan sebutan Ny. Mr. Maria Ulfah Santoso. Dan setelah sang suami meninggal, wanita pertama yang menjadi menteri di Asia ini menikah dengan tokoh PSI Subadio Sastrosatomo. Jadilah dia Ny. Maria Ulfah Subadio sampai akhir hayatnya.

Akan tetapi, membawa persoalan perkawinan, lebih-lebih mengenai poligami, dalam debat antara dua kubu, Islam dan nasionalis, boleh jadi akan membawa kita kepada kesimpulan yang menyesatkan: kalangan Islam pro-poligami, sementara kaum nasionalis anti-poligami atau pro-monogami. Dalam kenyataannya, para pemimpin Islam, terutama dari sekitar lingkaran “modernis”, umumnya adalah monogam, sementara pemimpin nasionalis, terlebih nasionalis-Jawa, tidak sedkikit yang poligam. Bahkan kampiun nasionalis seperti Soekarno adalah boleh dikatakan “raja poligam”.

Seperti sudah dikemukakan, pada tahun 1920-an kaum pergerakan diklasifikan ke dalam dua golongan, yaitu golongan Islam dan gologan kebangsaan. Klasifikasi ini, seperti dinyatakan oleh Takashi Shiraisi, dibuat berdasarkan arsip kolonial dan kemudian diteruskan oleh hitoriografi “ortodoks”, dimana Islam dan nasionalisme kerap diperhadapkan sebagai sesuatu yang belawanan atau bersaingan dalam memperebutkan pengaruh. Oleh karena itu, ketika Haji Agus Salim nimbrung dalam diskursus mengenai kedudukan perempuan, serta-merta pemimpin SI ini  pun  dimasukkan ke dalam golongan Islam vis a vis golongan kebangsaan atau nasionalis. Padahal siapa yang meragukan bahwa Salim seorang nasionalis tulen, yang sangat mencintai tanah air dan mendambakan persatuan bangsanya.