Haji Agus Salim The Grand Old Man

H. Agus Salim bersama Bung Karno

Banyak yang berguru kepada H. Agus Salim,  termasuk Bung Karno. Sebelum menjadi tokoh pergerakan, Salim sempat menjadi mata-mata Belanda. Mengapa dia berbalik?

Prof. Schermerhorn, seperti dikutip  Mohammad Roem (1977),  menyebut Haji Agus Salim “seorang jenius dalam bidang bahasa, mampu bicara dan menulis dengan sempurna dalam paling sedikit sembilan bahasa, mempunyai hanya satu kelemahan, yaitu selama hidupnya melarat.” Lawan Sutan Sjahrir dalam perundingan Linggarjati (1946) itu juga menyebut Salim orang yang sangat luar biasa. Siapa saja yang pernah bercakap-cakap dengannya,   kata Schermerhorn, akan mengalami  bahwa lambat laun Haji Agus Salim yang bicara sendiri, dan si lawan bicara  akan  mendengarkan dengan tekun..

Adapun Bung Karno menyebut The Grand Old Man Haji Agus Salim seorang ulama dan intelek. Kata dia, “Saya pernah meneguk air yang diberikan oleh Haji Agus Salim sambil duduk nglesot di bawah kakinya. Saya merasa berbahagia bahwa saya ini dulu dapat minum air pemberian Tjokroaminoto, dan minum air pemberian Agus Salim.” Sedangkan Bung Hatta menyebutnya seorang jenial, yang mendapat pikiran yang penting-penting secara tiba-tiba dan mudah saja mengeluarkannya sepintas lalu. Penghargaan yang tepat bagi dia, kata Hatta, adalah julukan “Indonesia’s grand old man.“.  

Agus Salim dilahirkan di Kota Gedang, Bukittinggi, pada 8 Oktober 1884. Ketika lahir, ayahnya yaitu  Sutan Muhammad Salim memberi nama Masyudul Haq. Waktu masih bayi Masyudul Haq diasuh oleh pembantu yang berasal dari Jawa, yang biasa memanggil anak majikannya dengan sebutan “den bagus” atau “gus” saja. Panggilan kesayangan ini kemudian diikuti oleh keluarga dan lingkungan yang lebih luas yaitu teman-teman sekolah dan guru-guru Belandanya. Lalu terciptalah nama Agus, yang dalam lidah Belanda diucapkan “August”.  Tambahan “Salim” di belakang “Agus” tentu saja diambil dari nama orangtuanya seperti kebiasaan di negeri kita.  

Muhammad Salim berasal dari keluarga bangsawan dan sekaligus kalangan agama. Dia diangkat oleh Pemerintah Hindia Belanda menjadi hoofdjaksa pada landraad di Riau en Onderhorigheden atau jaksa tinggi pada Pengadilan Tinggi Riau dan daerah bawahannya. Berkat kedudukan sang ayah Masyudul Haq alias Agus Salim diterima di Europeese Lagere School (ELS), yang  hanya menerima anak-anak keturunan Eropa. Agus Salim  memiliki kecerdasan di atas rata-rata, termasuk untuk pelajaran bahasa Belanda. Setelah tamat ELS, Agus  Salim meneruskan pelajarannya di Hogere Burgerschool  (HBS) di Jakarta.  Sesudah menyelesaikan pendidikannya di HBS pada tahun 1898,   lulus sebagai juara pertama untuk bukan saja HBS di mana ia bersekolah tetapi juga untuk semua HBS Hindia-Belanda, Agus Salim menaruh minat untuk meneruskan studi kedokteran di negeri Belanda.

Dalam pada itu, Agus Salim mendapat tawaran untuk bekerja di Konsulat Belanda di Jeddah. Ibunya, Siti Zainab, yang telah lama merasakan kecemasan menganai keadaan anaknya yang tidak begitu tekun lagi menjalankan agama, sangat tertarik dan mendorong Agus Salim untuk menerima tawaran itu. Apalagi di Mekkah ada paman Agus yaitu Syekh Ahmad Khatib.

Ketegangan dalam Keluarga

Persoalan studi terus atau bekerja di Jeddah ini sempat menimbulkan ketegangan antara Agus dan kedua orangtuanya. Dikabarkan sering sekali terjadi pertengkaran tegang di rumah, dan paling sering di sekitar meja makan, sehingga makan bersama tak lagi diliputi suasana menyenangkan. Sutan Salim dan Agus sama-sama bersikap keras. Ibunya diliputi kesedihan, jatuh sakit, dan beberapa lama kemudian meninggal dunia.  Agus Salim menyatakan,  “Akhirnya untuk menghormati pesan terakhir Ibu, aku merasa harus menerima tawaran untuk bekerja di Jeddah dengan kedudukan sebagai ahli terjemah dan mengurus jemaah haji Indonesia, pada konsulat Belanda di Jeddah. Aku langsung membeli sebuah buku kecil, mulai belajar bahasa Arab dan berangkat ke Jeddah.”

Pada tahun 1906, dalam  usia 22 tahun, Agus Saim tiba di Jeddah, dan  mulai memangku jabatannya sebagai dragoman alias ahli penerjemah di konsulat Belanda. Selama  lima tahun bekerja di Jeddah, sebagaimana telah diidam-idamkan oleh ibunya, Agus Salim belajar bahasa Arab dan mengenal ajaran Islam secara lebih mendalam. Salah satu gurunya adalah Syekh Ahmad Khatib, ulama pembaru yang berasal dari Kota Gedang, yang masih terhitung pamannya, dan seak tahun 1876 menetap di Mekkah. Dia menncapai kedudukan tinggi dalam mengajarkan agama, yaitu sebagai imam dari mazhab Syafi’i di Masjidil Haram. Meski demikian dia tidak melarang murid-muridnya untuk membaca dan mempelajari tulisan-tulisan para pembaru seperti Muhammad Abduh. KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, adalah salah satu muridnya, selain KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, yang tetap semazhab denganya.

Setelah selesai tugasnya di Jeddah,  Agus Salim kembali ke Tanah Air pada 1911. Di Jakarta ia bekerja pada Departemen Pekerjaan Umum (1911-1912) dan kemudian kembali ke kampung halamannya di Minangkabau untuk mendirikan sebuah sekolah dasar (HIS), sampai tahun 1915. Pada tahun 1912 dia menikah dengan gadis sekampungnya, Zainatun Nahar binti Engku Almatsier. Dari perkawinan ini mereka dikaruniai 10 anak, dua di antaranya meninggal  ketika masih bayi. Pada waktu itu Salim belum dapat menentukan  organisasi yang akan dia masuki. Bahkan dia terkesan ragu ketika  baru bergabung deengan  Sarekat Islam (SI). Demikianlah ia menjadi anggota dari satu organisasi ke organisasi lain : Perkumpulan Teosofi, NIVB (Naderlands Indische Vrijzinnigen Bond) dan Indische Social Democratische Partij (ISDP) dan Indische Social Democratische Partij (ISDP).

Pengetahuan Haji Agus Salim tentang Islam sungguh sangat luas dan mendalam. Meski begitu, seperti dikatakan Deliar Noer, dia mungkin tidak akan tergolong pembaru atau mungkin hanya menjadi penonton saja jika tidak  secara kebetulan dia mengenal SI. Apa pun pemikirannya sebelum dia masuk SI, kata Noer,  hanya setelah menjadi anggota organisasi ini, pemikiran modernnya dikenal dan Sarekat Islam memperoleh cap Islam-nya secara jelas. Kehadiran Haji Agus Salim, juga Mohammad Natsir, merupakan gejala menarik dalam sejarah gerakan pembaruan di Tanah Air. Keduanya berasal dari sekolah Belanda, dan merupakan cendekiawan yang diakui baik oleh mereka yang berasal dari sekolah agama maupun dari sekolah Belanda. Tetapi, menurut Noer pula, kedua orang ini merupakan kekecualian. Sebab umumnya para pemuda yang aktif dalam  gerakan modern Islam yang berasal dari sekolah Belanda, mengenal Islam dari sumber kedua, karena mereka tidak tahu bahasa Arab. Mereka mempelajari Islam dari buku-buku berbahasa Belanda atau bahasa Eropa lainnya serta dari tulisan-tulisan berbahasa Indonesia dan ceramah-ceramah Salim dan Natsir.

Pembicara Ulung dan Ahli Debat

Pada tahun 1915 Haji Agus Salim bergabung dengan SI. Ia berhubungan dengan organisasi ini pada tahun 1915 sebagai seorang “anggota seksi politik dari kepolisian.” Ia tidak populer dalam periode pertama Sarekat Islam itu, tetapi ia berhasil untuk mencapai suatu kedudukan kepemimpinan dalam periode-periode berikutnya, terutama dalam membentuk dan memberi isi pada SI dengan warna Islam. Setelah menjadi anggota SI, Haji Agus Salim menjadi pemimpin organisasi ini di samping Tjokroaminoto. Seperti diketahui, semula SI  satu-satunya pergerakan rakyat yang berpolitik. Sampai Tjokroaminto meninggal dunia pada 1934, Haji Agus Salim menjadi pemimpin yang mendampinginya, atau menurut istilah di kemudian hari H.O.S. Tjokroaminto dan Haji Agus Salim merupakan dwitunggal.

Pada 1921 Agus Salim menjadi anggota Volksraad atau Dewan Rakyat, menggantikan Tjokroaminoto. Selama menjadi angota Volksraad,  Haji Agus Salim dikenal sebagai pembicara ulung dalam bahasa Belanda; ahli debat yang lincah dan tajam dalam kritik. Tak jarang pula ia menjadikan lawannya sasaran tertawaan. Tidak mengherankan jika jarang orang yang berani bedebat dengannya. Pada tahun 1923, Haji Agus Salim keluar dari Dewan Rakyat, yang dinilainya tidak lebih dari “komidi ngomong”. Pada saat  itu, Salim yang menjadi anggota Volksraad, memunculkan kekecewaan partainya terhadap pemerintah dengan mempergunakan bahasa Indonesia untuk pertama kalinya dalam sidang-sidang dewan ini.  Sarekat Ism pun resmi menempuh politik yang dinamakan “non-kooperasi”, yang juga dianjurkan oleh Perhimpunan Indonsia di Nederland. Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan Soekarno pada tahun 1927 juga menempuh jalur politik “non-kooperasi”.

Setelah Tjokroaminoto meninggal, Salim memimpin Dewan Partai, sedangkan Lajnah Tanfidziyah berada di tangan Abiksuno Tjokrosujoso, adik kandung Tjokroaminoto. Perbedaan anara sebelum dan sesudah Tjokroaminoto meninggal adalah bahwa sebelum tahun 1934 Tjokro dan Salim berhasil memegang kepemimpinan partai, sedangkan setelah itu Salim justru menjadi korban dengan naiknya Abikusno, yang bukan hanya memecat Haji Agus Salim dan kawan-kawan dari Barisan Penyadar seperti Roem dan Sangaji, tetapi juga Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo, yang berpihak kepada Abikusno ketika saudara Tjokroaminoto itu bertikai dengan Haji Agus Salim. Setelah tahun 1936 itu Haji Agus Salim seolah menyingkir dari kegiatan politik, karena merasa tidak nyaman menghadapi berbagai pertikaian di antara pemimpin partai. Kegiatannya disalurkan dengan memberikan ceramah melalui radio NIROM   (Nederlands Indische Radio Omroep Maatschapij) dan PPRK (Perkumpulan Pemancar radio Ketimuran), sampai Jepang masuk ke Indonesia. Pada zaman  pendudukan Dai Nippon ini ia bekerja sebagai penasehat di sebuah kantor Jepang, untuk membantu menemukan istilah yang tepat dalam bahasa Indonesia bagi buku-buku yang diterjemahkan dari bahasa Jepang. Untuk mencukupi kebutuhan hidup  mereka  keluarga Salim juga terlibat dalam usaha produksi dan pemasaran arang.  

Menjelang proklamasi Haji Agus Salim menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha  Untuk Persiapan Kemerkaan Indonesia. Dia juga menjadi anggota panitia kecil yang dibentuk Badan penyelidik,   yang terdiri dari sembilan orang dan diketuai Soekarno, yang kemudian menghasilkan apa yang dinamakan Piagam Jakarta. Bersama Husein Djajadiningrat dan Supomo, Agus salim juga mendapat tugas melakukan perbaikan redaksional terhadap rancangan UUD 1945. Sesudah proklamasi, dalam pemerintahan Republik Indonesia, Haji Agus Salim beberapa kali duduk dalam kabinet: Menteri Muda Luar Negeri pada Kabinaet Sjahrir II (1946) dan Kabinet Sjahrir III (1947), Meneri Luar Negeri pada Kabinet Amir Sjarifuddin (1947) dan pada Kabinet Hatta (1948-1949). Haji Agus Salim juga pernah diasingkan oleh Belanda bersama Presiden Soekarno dan Sjahrir ke Brastagi dan kemudian dipindahkan ke Prapat, menyusul pendudukan Yogyakarta oleh Belanda pada 20 Desember 1948. Mereka kemudian dipindahkan ke bangka dikumpulkan bersama Hatta dan kawan-kawan, sebelum akhirnya kembali ke Yogyakarta waktu pemerintah RI dipulihkan pada 6 Juli 1949. Mungkin karena usianya yang sudah lanjut, pada tahun 1950 Salim tidak lagi menjabat Menteri Luar Negeri, tetapi tenaganya masih diperlukan sebagai penasehat ahli Menteri Luar Negeri. Pada tahun 1953 Salim berangkat ke Amerika Serikat, memenuhi undangan Cornell University, untuk memberikan serangkaian kuliah mengenai gerakan Islam di Indonesia. Kembali ke Tanah Air pada akhir tahun itu juga, Salim mulai tampak sakit-sakitan. Pada ulang tahunnya yang ke-70 sahabat dan murid-muridnya mempersembahkan buku Djedjak Langkah Hadji Agus Salim, yang berisi karangannya dari waktu ke waktu. Pada 4 November 1954 Haji Agus Salim tutup usia di kediamannya di Jalan Gereja Theresia, Jakarta Pusat.