Seto Mulyadi: Menjadi “Kakak” untuk Anak-anak Indonesia

Boleh dikatakan, ia menjalani pilihannya sejak lulus perguruan tinggi hingga saat ini. Ia menyebut dirinya “dokter tanpa alat suntik”. Indonesia mengenalnya sebagai pemerhati anak. Sejak menetapkan pilihannya, ia berusaha menjaga penampilannya. “Saya menjaga kebugaran dengan rajin sit up,” katanya. Meskipun sudah tidak muda lagi, bukan demi gaya-gayaan kalau ia setia dengan rambut palsu. Tokoh ini, Seto Mulyadi. Dalam tayangan televisi, khalayak familiar dengan Si Komo, dengan sebaris kalimat pengingat,”Macet lagi, macet lagi, gara-gara si Komo lewat….” Berikut ini ceritanya.

Pertemuan saya dengannya, dalam kurun waktu yang cukup lama sejak terakhir bertemu. Saya bertemu dengannya untuk sebuah tayangan langsung televisi non-komersial. Sebelum itu, saya bertemu saat mengajaknya menghibur anak-anak korban bencana alam di Malang, Jawa Timur, tepatnya ekses erupsi gunung Kelud. Ketika itu Seto Mulyadi ditemani sejumlah personil eks Srimulat. Lalu, kami pun bersua lagi untuk rekaman event filantropi. Sekali jumpa, sekitar satu jam tiga session. Katanya, “Hari ini 50 tahun saya berkarya di dunia anak.” Beliaupun bercerita kilas-baliknya bertemu pertama kali dengan pak Pak Kasur di rumahnya. Ketika itu, di kenangnya, ia menempuh jarak yang cukup jauh sebelum sampai di rumah pak Kasur. Akhirnya, Seto Mulyadi, tokoh kita ini, 50 tahun silam – sampai di rumah Pak Kasur.

”Sehari kemudian, saya diminta datang,” kenang Seto. Hari itu saya dipertemukan sejumlah ibu. Lewat Pak Kasur-lah, sajak itu saya diperkenalkan kepada audiens. Pak Kasur mengatakan,  mulai hari ini, saya punya asisten baru, namanya Kak Seto.” Sejak itu Seto menyebut dirinya dengan sebutan “Kak Seto” sampai hari ini. Dalam pertemuan dengan Kak Seto, ia mengaku awalnya kecewa karena gagal masuk kedokteran, tak seperti kakak kembarnya, Kresno, yang diterima di kedokteran. Dari Pak Kasurlah motivasi Seto muncul, sampai ia pun menerima takdirnya. Apa motivasi Pak Kasur? Belajarlah psikologi. Psikolog itu dokter tanpa alat suntik. Itu kata Pak Kasur, Seto pun konsisten menekuni dunia anak. Ia mengistilahkan pilihannya,”menjadi baby sitter.” “Saya menekuni dunia anak, karena masa kanak-kanak saya terlalu indah. Itu yang ingin saya bagikan untuk anak-anak lainnya,” kata Seto. Sejak 4 April 1970, 50 tahun silam, Kak Seto mendedikasikan diri untuk dunia kanak-kanak.

Dua hal yang mendorong saya menuangkan tulisan ini. Pertama, tentang sosok Seto.  Sikap dan karakternya memiliki daya pikat kuat. Kedua, totalitas yang diekspresikannya, extra ordinary, pilihan apa tentang apa yang dilakukannya. Rasanya, kita cukup mereguk energinya berkarya terutama untuk “dunia anak-anak”. Komitmen beliau, energi beliau yang masih membara, itulah konten yang menyemangati dunia anak-anak. Dunia filantropi, tetap demikian lengang dan lapang memberi ruang eksplorasi. Betapa banyak yang bisa mencecap buah pikiran dan pandangan beliau, terakhir dari sepanggal yang sempat beliau kemukakan, mengingatkan beliau pada pesan Pak Kasur, kalau benar Seto memang memiliki tekad belajar dari Pak Kasur.

Seto Mulyadi lahir di Klaten, 28 Agustus 1951. Ia masih mengingat pesan gurunya itu. ‘Pak Kasur, guru yang baik, harus bisa lebih besar karyanya dibanding gurunya.’ Dalam perbincangan itu, muncul impiannya untuk membangun sebuah perguruan tinggi. Dengan wahana ‘Lembaga Pendidikan’, cita-cita Seto Mulyadi terbentang lebih luas. Dengan begitu membuka peluang amal salih menjadi wujud pengabdian nyata. Usia panjang, seperti pesan Nabi Muhammad SAW, panjang dan bermanfaat.

Nyaris rumah tangga Seto Mulyadi jauh dari kasuk-kusuk apalagi konflik. Hidup Seto Mulyadi dikepung orang-orang baik di sekelilingnya. Perjalanan hidup Seto Mulyadi, meskipun tidak sama-sekali sejahtera, tetaoi dengan kesyukurannya, Seto Mulyadi merasa Allah sangat baik untuknya. Sejak remaja hingga dewasa ia berkeinginan lebih bermanfaatan. Di telinganya suara itu seolah mendengung. Ibarat tetabuhan, setelah pengabdian 50 tahun dalam dunia anak-anak menggema, dimulailah etape kehidupan yang baru.

Kepedulian Pembuka Jalan

Seto Mulyadi sosok yang selalu enerjetik. Alumnus fakultas psikologi Universitas Indonesia ini, (lulus S1 tahun 1981, pendidikan S2 Bidang Psikologi Terapan pada 1989, dan meraih gelar Doktor bidang Psikologi Program Pascasarjana UI pada 199). Pernikahan Seto Mulyadi dengan Deviana, lahir empat orang anak: Eka Putri, Bimo, Shelomita dan Nindya Putri. Seto Mulyadi memiliki saudara kembar bernama Kresno Mulyadi (Kak Kresno) yang juga psikolog anak dan juga kakak Ma’ruf Mulyadi.

Dalam jabatannya sebagai Komnas Perlindungan Anak,  Seto Mulyadi tahun 2006 dinobatkan sebagai Men’s Obsession Award, tak heran ia menjadi sasaran pengaduan bagi mereka yang menghadapi persoalan anak. Termasuk kasus ‘rebutan’ anak. Tak kurang-kurangnya figur publik yang tersandung masalah saat harus menghadapi perceraian. Di antaranya Tamara Bleszynki, Zarima, Five V dan sebagainya. Selain itu, publik mengenal Seto Mulyadi saat ia ditemani Henny Purwonegoro, yang pernah menjadi pembawa acara televisi program anak-anak.

Seto Mulyadi, mewujudkan keprihatinannya dengan mewujudkan Trauma Center Pondok Ceria di Kota Padang, Sumatera Barat. Hal itu dilakukannya sebagai respon pasca gempa mendera Kota Padang dengan kekuatan 7,6 SR. Urun kepedulian atas itu, terutama mendengar ada urgensi untuk melayani anak-anak, Seto Mulyadi membangun Trauma Center Pondok Ceria di tujuh lokasi. Fungsinya, melalui trauma center, psikolog profesional bisa berkontribusi untuk memberikan pencerahan pada anak-anak.

Menurut Kak Seto atas nama Komnas Perlindungan Anak, Trauma Center Pondok Ceria itu akan dibangun di dua SD, dua panti dan lainnya juga di Pariaman. Untuk mendukung pemulihan trauma anak, mereka diajak bermain mengekspresikan perasaannya dengan bernyanyi keras. Kegiatan tersebut, katanya lagi, diyakini akan berfungsi memberikan terapi pada anak, meledakkan emosinya yang dibalut dengan aneka permainan.

 “Pencerahan pada anak-anak pasca gempa perlu dilakukan lebih cepat agar anak bisa pulih dari traumanya dan kembali bisa belajar dengan baik,” kata Kak Seto. Kombinasi pekerja kemanusiaan dengan profesional seperti  Seto Mulyadi itu terbukti cukup solutif terutama pasca bencana.

Indonesia sebagai “etalase bencana” akan selalu belajar dari tragedi serupa. Misalnya, Kota Padang ketika itu dilanda gempa terparah 30 September 2009 silam. Begitupun, ketika Kelud erupsi, Seto Mulyadi saat dilibatkan lembaga kemanusian untuk aksi sosial saat pasca erupsi Kelud (2014). Saat itu bersama Kak Seto, ikut menghibur antara lain Ali Nurdin dan Doyok.

Seperti obsesinya terutama setelah dewasa, Seto Mulyadi seolah “terarahkan” ke jalan kebaikan. Bagaimana pun, hal-hal baik yang dicecapnya seolah memantul dalam kehidupannya. Ada saja stimulan kebaikan yang memancingnya, sehingga terbukalah jalan kebaikan. Dari hidupnya sendiri, keluarganya dan sahabat-sahabatnya, bahkan guru-guru yang masih hidup atau yang telah mendahului, semua seolah mengepungnya. Tinggal dirinya yang mau menyambutnya atau tidak. Ia melayari hidup sebagai samudera kebaikan. Seto Mulyadi hari ini dan nanti seolah menapaki semboyan, hidup “baru” dimulai setelah 50 tahun! ***