Ahyudin, Menjejakkan Legacy Kemanusiaan

Namanya singkat, “Ahyudin”. Namun kiprahnya mendunia, dari bencana alam di dalam negeri, hingga merambah ke sejumlah negara, dari China hingga Eropa, dari Amerika hingga Timur Tengah. Mengulik sosoknya, sejak ia direkrut Lembaga Zakat terbesar di Indonesia lalu dia memilih menginisiasi lembaga kemanusiaan sendiri dan lembaga itu eksis hingga hari ini: Aksi Cepat Tanggap (ACT), sebagai lembaga independen. Setelah lama memimpin ACT, Ahyudin pun menyerahkan tampuk pimpinan lembaga yang dulu ia pimpin dan ia inisiasi: ACT — ke Ibnu Khajar– salah seorang Board of Director (BOD) ACT, untuk memimpin ACT. Sedangkan Ahyudin memimpin holding (Global Islamic Philanthropy) yang menaungi sejumlah institusi yang diinisiasi ACT, antara lain: Global Qurban, Global Zakat, Global Wakaf dan lain-lain. Berikut ini sekilas tentang Ahyudin.
Ahyudin lahir di Tasikmalaya, 11 Oktober 1967, alumnus FKIP Universitas Lampung (Unila). Pernah menjadi guru di sejumlah SLTA di Bandar Lampung. Tak heran kalau ia piawai mentransfer pengalaman dan semangat layaknya seorang guru. Ia pun pernah menjadi Ketua Himpunan Pengusaha Lemah Indonesia (HIPLI) dalam aktivitas memberdayakan perekonomian kelas bawah di Lampung. Maka tidak mengherankan kalau dalam setiap aksinya, berupaya ia berupaya mengadakan logistik terdekat, bukan membawa jauh-jauh dari Jakarta. Alasannya, “Dengan membeli dari rakyat setempat, ekonomi berputar. Masyarakat di sekitar lokasi bencana ikut menikmati amanah donatur,” ujarnya memberi alasan.
Dengan jam terbang sedemikian panjang khususnya dalam penanggulangan bencana, dalam beberapa tahun, organisasi yang diinisiasinya sempat dipersepsi publik sebagai lembaga spesial penanggulangan bencana, meski dalam perkembangannya merambah bidang kemanusiaan lainnya.

Relawan: Pasukan Pendukung
Sebagai pendiri lembaga kemanusiaan ACT, Ahyudin sering ditanya, dalam setiap aksi kemanusiaan, , bagaimana lembaganya bisa bergerak dengan gesit bahkan massif dengan cepat. Masyarakat umum juga sangat terpengaruh pilihan penamaan lembaga ini ACT: Aksi Cepat Tanggap. Penamaan ini mempengaruhi lembaga ini sendiri, baru kemudian memberi pengaruh pada masyarakat umum. Secara internal, kata membawa impak pada personil di dalamnya. Dengan pilihan kata itu, setiap personil sadar dengan sendirinya untuk berbuat cepat (beraksi cepat, tak memperpanjang perdebatan), cepat (dengan segera memberi pertolongan), tanggap (dengan respon yang sepantasnya, baik dalam bencana alam ataupun bencana kemanusiaan).
Menjawab pertanyaan ini, Ahyudin menjelaskan secara singkat: cepat, menjadi keharusan. Setiap mereka yang ditimpa masalah, terkena bencana alam atau mengalami kesulitan, sudah sepantasnya ditolong. Allah sendiri memerintahkan hambaNya untuk bersegera mengulurkan pertolongan kepada sesamanya, dan akan menolong siapapun, meminta pertolongan atau tidak di bumiNya. Menolong-monolong sudah menjadi habbit manusia. Tidak berjiwa tolong-menolong, menjadikan kita kehilangan kemanusiaan.
Pertanyaan kedua, massif. Kesanggupan berbuat dengan cakupan sasaran begitu luasnya, hal ini dimungkinkan karena sebaran relawan kemanusiaan yang terpapar ACT begitu luasnya. Jangkauan paparan ACT yang luas, menjadikan setiap orang bisa diajak membersamai ACT dalam ikhtiar kemanusiaan. Dengan begitu, di mana ada ACT atau mengenal ACT, di situlah ACT berpeluang untuk berkolaborasi dengan orang lain yang sama-sama berpikir untuk mengulurkan bantuan. Inilah yang menjadikan personil ACT dalam beraktivitas, terutama di lapangan, sadar diri untuk “siap berkawan” di mana saja dan siapa saja.
Bisa dikatakan, relawan adalah “pasukan pendukung” ACT, meskipun ada sejumlah orang yang sengaja direkrut sebagai karyawan lembaga kemanusiaan. Dalam penyebutan ala Ahyudin,”…membuat kami (ACT) kian trampil menjalani pengambilan keputusan secara cepat saat menemui akses yang sangat minim.” Hadir di lapangan kemanusiaan itu, menguatkan kalbu, menajamkan pikiran dan menguatkan jasad. “Ini arena terbaik mengasah kepemimpinan. Leader itu siap sengsara, kalau ia berkecimpung dengan kesengsaraan korban bencana saja, hanya sebentar-sebentar, pemimpin akan sulit menguatkan tiga hal (kalbu, pikiran dan jasad) tadi,” katanya suatu ketika.
Sikap Tegas: Teladan Bagi Semua
Suatu ketika di sela perbincangan, Ahyudin menerima telepon. Seseorang menawarkan untuk memfasilitasi ACT bekerjasama dengan empat departemen yang menterinya kader sebuah partai politik. Penelepon mengatakan, pihaknhya keberatan kalau kerjasamanya hanya dengan satu lembaga kemanusiaan. Justru dengan pernyataan itu, Ahyudin, kepada media ini Ahyudin mengatakan pihaknya tidak ingin berebut dana-dana semacam itu. “Kami sangat menjaga netralitas,” jelasnya.
Dengan sikap netralitas seperti itu, tidak cukup. Ikhtiar di tataran aksi memang ada sejumlah tahapan. Evakuasi korban mengambil waktu paling lama satu minggu. Disusul distribusi logistik sekitar satu bulan, baru kemudian aktivitas shelter dari membangun sampai melayani para pengungsi yang tinggal di lokasi sementara, itu makan waktu dua sampai enam bulanan. Rehabilitasi fisik, katakanlah setahun. Lalu apa sesudahnya? Intinya, membangun sumberdaya manusia. Itu tidak terhingga waktunya. Pada momentum itu ACT mengalokasikan waktu dan dananya untuk membersamai para penyintas sedikitnya sampai lima tahun.
Sebagai kampiun pananggulangan bencana, Ahyudin menjelaskan perspektifnya tentang bencana. Masyarakat manapun yang usai terpapar bencana, adalah masyarakat yang sedang membangun semangat baru, etos baru, bahkan budaya baru. ACT, katanya, ingin menemani mereka membangun kebaruan, sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya, terutama dari sisi manusianya.
Ia melanjutkan, “Bukankah korban bencana itu adalah mereka yang akrab dengan kepedulian, mereka yang selamat akan merasa terlahir kembali bersama kepedulian banyak orang dari berbagai tempat, lintas agama, lintas etnik, lintas bangsa. Ini yang disebut masyarakat baru. Bencana mencuci bersih keburukan-keburukan dari masa lalu. Kami ingin mengawal ikhtiar ini semampu kami,” jelas Ahyudin.

Sumbangsih Indonesia untuk Dunia
Sebagai bagian Indonesia, kita ikut bangga pada eksistensi lembaga ACT. Keberadaannya, ikut membangun semangat filantropi. Aktivitas kepedulian semakin lumrah diekspresikan orang, pun semakin kreatif dalam unjuk kepedulian. Hal ini membuat semua orang kian optimis, akan marak ikhtiar saling membantu sesama, dengan begitu Allah pun menyayangi bangsa Indonesia. Inilah optimisme yang menjadi energi positif bagi Indonesia.
21 April 2005 yang silam, resmi ACT diluncurkan secara legal. Tanggal itu ditegaskan sebagai hari lahirnya ACT dan langsung memulai aksi kemanusiaannya di wilayah hukum Indonesia. Aksinya sendiri, Dunia.
Bencana di negeri ini, sering menjadi “ajang curhat” sejumlah kepala daerah. Mereka biasa berkomentar, dan itu wujud apresiasi mereka, “Ketika kami masih rapat, Anda sudah di lapangan. Ketika kami sedang berpikir, Anda sudah berbuat. Maklumi kami yang tidak punya mesin sefleksibel Anda…” Merespon sikap semacam ini, biasanya kami menghiburnya. “Tidak usah risau. Kami siap mendukung kebijakan bapak. Kalau Jogja pasca gempa, pulih enam tahun, wilayah bapak mari kita bahu-membahu memulihkannya kurang dari setahun!”
Bisa dikatakan, ACT dan best practices yang diwariskannya – bisa menjadi cermin bagi Indonesia dan dunia. Setidaknya, ACT (dengan kiprahnya), menjejakkan tiga hal termaktub di dalamnya: humanity, philanthropy, dan volunteerism. Tiga kata kunci ini terekspresikan melalui gagasan pelembagaan masing-masing: humanity (kemanusiaan) dengan sangat kuatnya telah dimainkan melalui organisasi Aksi Cepat Tanggap; philanthropy (kedermawanan) sedemikian rupa menjadi elan juang seluruh personil di dalam keluarga besar organisasi ini; volunteerism (kerelawanan) selain menjadi penyemangat seluruh keterlibatan personilnya.
Institusionalisasi gagasan itu menjadi kekuatan jejaring ACT. Disebut jejaring, karena ACT “bukan sebuah lembaga lagi”, melainkan “beberapa lembaga”. Yang telah dirilis ke publik (dan paling awal), ACT sebagai lini humanity; sebagai ekspresi kepedulian, dalam perjalanannya lahir (ACT melahirkan Global Qurban atau QG, Global Zakat atau GZ, dan Global Wakaf atau QW). Dari satu, lahir sejumlah lembaga dan semuanya dinaungi Global Islamic Philanthropy atau GIP. Kita yang melihat dan mendengarnya, menjadi sangat bersemangat. Indonesia tak cukup dilayani hanya oleh satu-dua lembaga kemanusiaan saja. Sedangkan bencana saja juga begitu banyak, bencana alam atau bencana kemanusiaan. Mana cukup kalau dilayani oleh sedikit pihak. Optimisme itu seakan tak berhenti dengan kiprah satu ACT saja, butuh respon banyak pihak, banyak lembaga.
Dengan cerdas ACT dan pilihannya bersikap, termasuk mengkanalisasi gagasan dan mengeksekusinya dengan koridor Islam melibatkan sebanyak-banyaknya pihak untuk bergairah menolong sesama manusia. Ahyudin dengan Global Islamic Philanthropy telah mempertanggungjawabkan sebuah legacy kemanusiaan. Dengan itu, Indonesia mendoakannya. Ia, ACT (berikut jejaringnya) selamat dan menyelamatkan.
Wartawan Panji Masyarakat (1997-2001).
Ia antara lain pernah bekerja di Aksi Cepat Tanggap (ACT) Jakarta.
Dan kini aktif di Indonesia Care, yang juga bergerak di bidang kemanusiaan.