Mencermati Wajah Pendidikan Kita di Era Merdeka Belajar
Setiap 2 Mei, kita memperingati Hari Pendidikan Nasional. Sebuah ritual untuk memperingati kelahiran Ki Hajar Dewantara, yang ditetapkan sebagai Bapak Pendidikan Indonesia. Dia lahir pada 2 Mei 1989 dan meninggal pada 26 April 1959.
Sebenarnya, nama aslinya Suwardi Suryaningrat. Namun pada 1923 ia mengubah namanya menjadi Ki Hajar Dewantara. Ia seorang bangsawan Jawa, aktivis pergerakan kemerdekaan, guru bangsa, kolumnis, politisi dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi dari zaman penjajahan Belanda.
Dia dikenal sebagai pendiri Perguruan Taman Siswa. Sebuah lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti yang dinikmati oleh para priyayi maupun orang-orang Belanda.
Pada 1959 Presiden Soekarno menganugerahi gelar sebagai Bapak Pendidikan Nasional atas jasa-jasanya dalam mengembangkan pendidikan di Indonesia. Dia juga dikenal dengan semboyan ciptaannya, yaitu Tut Wuri Handayani, yang menjadi slogan Kementerian Pendidikan Nasional. Namanya diabadikan sebagai salah satu nama sebuah kapal perang Indonesia, KRI Ki Hajar Dewantara. Potret dirinya juga diabadikan pada uang kertas pecahan 20.000 rupiah edisi 1998.
Tahun 2024, Kemdikbudristek menetapkan tema Hardiknas, yaitu “Bergerak Bersama Lanjutkan Merdeka Belajar”. Peringatan Hardiknas dilakukan sehari setelah peringatan Hari Buruh Nasional, yang diperingati setiap 1 Mei. Bedanya, kalau 1 Mei itu adalah peringatan Hari Buruh Nasional, sekaligus juga Hari Buruh Internasional. Sedangkan tanggal 2 Mei hanya diperingati Hari Pendidikan Nasional di Indonesia.
Peringatan Hardiknas menggugah kesadaran kita bahwa pendidikan itu memainkan peran yang sangat penting dan strategis. Pendidikan menjadi salah satu fondasi untuk membangun bangsa Indonesia lebih maju sebagaimana tertulis di dalam Pembukaan UUD 1945, Dimana pendidikan diperlukan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Mengaca pada mutu pendidikan nasional saat ini harus disadari bahwa kualitas pendidikan kita masih rendah, jauh dari kata kompetitif. Mengacu pada data Worldtop20.org peringkat pendidikan Indonesia tahun 2023 berada pada urutan ke-67 dari 203 negara. Peringkat tersebut berdasarkan lima tingkat pendidikan, yaitu tingkat pendaftaran sekolah anak usia dini: 68 %, tingkat penyelesaian Sekolah Dasar: 100%, tingkat penyelesaian Sekolah Menengah: 91.19%. tingkat kelulusan SMA: 78% dan tingkat kelulusan Perguruan Tinggi: 19%
Sementara itu hasil penelitian Program for International Students Assessment (PISA) 2022, yang diumumkan pada 5 Desember 2023, Indonesia berada di peringkat 68 dari 203 negara dengan skor ; matematika (379), sains (398) dan membaca (371).
Kurikulum Merdeka
Kondisi pendidikan nasional yang tidak menggembirakan ini tampaknya menjadi alasan Pemerintahan Joko Widodo untuk melakukan perubahan kurikulum nasional. Dan saat ini kita disibukkan dengan kurikulum baru yang baru saja dirilis oleh Mendikbudristek Nadiem Makarim tanggal 26 Maret 2024 lalu, yaitu Kurikulum Merdeka.
Perubahan kurikulum tentu tidak serta merta dapat berjalan dengan mulus dan diterima semua pihak. Ada banyak kritik dan kontra terhadap kebijakan perubahan kurikulum nasional ini karena Mendikbudristek dianggap tidak konsisten dengan berbagai ucapan dan kritik terhadap kondisi Pendidikan nasional.
Dalam berbagai kesempatan di awal masa jabatannya, Nadiem mengungkap ada 3 dosa besar di bidang pendidikan, yaitu perundungan/kekerasan, kekerasan seksual dan intoleransi.
Namun perubahan kurikulum nasional yang baru yang dilakukan Nadiem tampaknya tidak menjawab problema 3 dosa besar di bidang pendidikan nasional tersebut. Kurikulum nasional yang diluncurkan pada 26 Maret 2024 direspons oleh kalangan pendidikan dengan santai saja, bahkan terkesan skeptis. Apalagi juga liputan dari media juga terasa biasa-biasa saja, mungkin masih terkena imbas dari perhelatan Pemilu 2024 yang menghabiskan banyak energi dan emosi.
Kurikulum baru, yang dikenal dengan Kurikulum Merdeka, lebih sebagai upaya untuk membangun kesiapan siswa dalam belajar mandiri pasca Covid 19. Yang disebut dengan Merdeka Belajar. Persoalan perundungan, kekerasan seksual dan intoleransi tidak mendapat jawaban yang memuaskan dalam kurikulum baru tersebut, padahal tahun pelajaran baru sudah nampak di depan pintu dan harus diimplementasikan dalam kegiatan pembelajaran di sekolah.
Pada dasarnya, perubahan kurikulum menemukan momentumnya yang tepat saat ini dan akan menjadi legacy seiring dengan akan berakhirnya pemerintahan Jokowi di akhir 2024 ini.
Bangsa ini membutuhkan suatu terobosan baru dalam bidang pendidikan setelah dua tahun kita dihantam oleh pandemi Covid 19. Kita mengalami pergeseran paradigma (paradigm shift) karena selama pandemi proses belajar mengajar tidak berjalan sebagaimana mestinya (lost learning).
Sejak Indonesia merdeka, dari 1945 sampai dengan 2023 ini, kurikulum pendidikan nasional telah berubah sebanyak 11 kali. Jadi, rata-rata hampir setiap enam tahun sekali kurikulum pendidikan nasional kita berubah.
Akibat dari gonta-ganti kurikulum ini maka terlihat tidak adanya konsistensi kebijakan dalam peningkatan mutu Pendidikan. Karena itu tidak heran apabila output dan outcome pendidikan kita tidak dihargai dalam dunia pendidikan di luar negeri. Lulusan sekolah-sekolah kita dianggap penakut dan punya nyali untuk menembus menembus perguruan tinggi elit yang ada di belahan dunia sana.
Mental Penakut
Beberapa waktu lalu kita dikejutkan dengan pernyataan kontoversi Nadiem Makarim yang menyatakan bahwa siswa Indonesia itu penakut dan tidak percaya diri untuk kuliah di luar negeri. Karena itu tidak banyak mahasiswa asal Indonesia yang masuk di kampus top dunia.
Menurut Nadiem, salah satu alasannya adalah banyak yang merasa takut dan tidak percaya diri untuk mendaftar kuliah atau beasiswa ke luar negeri.
“Ini alasannya kenapa pada tidak masuk sekolah top. Satu alasannya, karena banyak yang enggak berani apply,” kata Nadiem di Kompas mengutip akun YouTube resmi penyanyi Putri Ariani, Jumat (22/3/2024).
Pernyataan ini sebenarnya menampar muka Nadiem sendiri karena diucapkan sendiri oleh seseorang yang harusnya bertanggung jawab terhadap mutu dan kualitas pendidikan di Indonesia. Bukan malah menyalahkan pihak lain, tapi seharusnya mencarikan solusi agar pendidikan di Indonesia menjadi lebih hebat dan membangun kebanggan bangsa Indonesia.
Dengan rendahnya mutu pendidikan Indonesia, maka lulusan dari Indonesia dianggap rendah dan tidak kompetitif. Maka tidak heran apabila siswa kita menjadi penakut dan tidak percaya diri untuk kuliah di universitas top di luar negeri, seperti ke Oxford di Inggris, ANU di Australia, Al Azhar di Mesir, atau ke Universitas Brown dan Harvard Bussiness School, keduanya di Amerika Serikat, yang merupakan kampusnya Nadiem Makarim.
Namun demikian, masyarakat masih tetap memberikan harapan agar pemerintah serius dalam melakukan perbaikan di bidang pendidikan. Karena itu perubahan kurikulum harus dibarengi dengan kesadaran dan kejujuran tentang masih lemahnya mutu pendidikan Indonesia. Tidak semata karena semangat ganti Menteri ganti kurikulum, seperti yang dikhwatirkan maasyarakat selama ini.
Momentum Hari Pendidikan Nasional agar kita Bergerak Bersama, Lanjutkan Merdeka Belajar, seperti Motto Hardiknas 2024, benar-benar berangakt dari suatu keinginan tulus agar dunia pendidikan kita dapat meningkatkan harkat hidup bangsa Indonesia menjadi manusia merdeka, merdeka dari kebodohan, kemiskinan, dan ketidakadilan.
Karena itu penting bagi semua pihak untuk mentauladani semboyan Ki Hajar Dewantoro yang berbunyi ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. (di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, dan di belakang memberi dorongan).
Semboyan ini masih tetap aktual, terlebih di tengah situasi masyarakat yang masih terbelah setelah Pemilu 2024.