Hamka: Pendidikan untuk Membangun Jiwa

Tujuan pendidikan Islam, menurut Buya Hamka, adalah untuk “mengenal dan mencari keridhaan Allah, membangun budi pekerti untuk berakhlak mulia”, serta mempersiapkan anak didik untuk hidup secara layak dan berguna di tengah-tengah masyarakatnya.

“Kemajuan suatu bangsa sangat tergantung pada kesempurnaan sistem pendidikan dan pengajaran yang ditawarkannya.”

Itu kutipan dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah alias Hamka dalam bukunya Lembaga Hidup (1962). Sebagai social mechine, sistem dan lembaga pendidikan memang bertanggung jawab untuk merekayasa masa depan bangsa, menjawab berbagai persoalan kehidupan, serta melestarikan nilai-nilai dan warisan-warisan sosial-kultural. Tapi, bagaimana Hamka memaknai pendidikan? Dari mana sumber pemahamannya berasal? Dan, apa pula relevansi pemikirannya dengan realitas dunia pendidikan kita sekarang?

Pandangan Hamka tentang pendidikan tentu tidak dapat dilepaskan dari posisinya sebagai ulama atau intelektual Islam. Karena itu, pemahamannya tentang pendidikan selalu dalam perspektif Islam. Dengan demikian, wacana pendidikan yang dikembangkan oleh Hamka adalah pendidikan Islam. Secara terminologis, Hamka membedakan makna pendidikan dan pengajaran. Menurut dia, pendidikan Islam merupakan “serangkaian upaya yang dilakukan pendidik untuk membantu membentuk watak, budi, akhlak, dan kepribadian peserta didik, sehingga ia tahu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.” Sedangkan pengajaran Islam adalah “upaya untuk mengisi intelektual peserta didik dengan sejumlah ilmu dan pengetahuan.”

Definisi pendidikan dan pengajaran yang dikemukakan Hamka, menurut Samsul Nizar, guru besar UIN Imam Bonjol Padang, hanya beda dalam pengertian kata, karena secara esensial pengertiannya sama. Sebab, kedua kata tersebut, kata dia, merupakan suatu sistem yang berkelindan. Setiap proses pendidikan di dalamnya selalu melibatkan proses pengajaran. Keduanya saling melengkapi untuk mencapai tujuan yang sama. Menurut Hamka, dengan pertautan kedua proses itu, manusia akan memperoleh kemuliaan hidup, di dunia maupun di akhirat kelak. Dari sudut ranah filsafat, definisi pendidikan Islam yang dikemukakan Hamka saat dipandang sebagai ontologi pendidikan Islam.

Tujuan Pendidikan

Pemahaman Hamka tentang pendidikan Islam tampaknya sejalan dengan pandangan Islam tentang manusia, terutama mengenai asal-mula kejadiannya, seperti dikemukakan Nurcholish Madjid (1992). Kata dia, menurut asal kejadiannya manusia adalah makhluk fitrah yang suci dan baik, dan karena itu ia berpembawaan kepada kesucian dan kebaikan. Karena kesucian dan kebaikan itu fitri, ia akan membawa rasa aman dan tenteram pada manusia. Ia mengutip Alquran yang menyatakan: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah). (Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan mereka tidak mengerti.” (QS. 30:30).

Ayat tersebut, kata Cak Nur, menegaskan bahwa manusia mempunyai potensi alamiah berupa keberagamaan tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid, hal itu karena pengaruh lingkungan. Fitrah, sekali lagi, adalah sifat dan kemampuan dasar manusia yang mempunyai kecenderungan kepada kesucian dan kebaikan (naluri beragama tauhid).

Nah kemampuan dasar manusia itu secara otomatis dapat berkembang dan perlu diarahkan. Proses apakah yang diperlukan untuk menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan dasar itu? Jawabannya tidak lain adalah pendidikan.

Jadi, dalam perspektif Islam, pendidikan dalam maknanya yang luas bisa dimaknai sebagai sebuah ikhtiar untuk menumbuhkan, mengembangkan, membangun, dan memberdayakan potensi dasar insani menuju kesempurnaannya (insan kamil atau manusia paripurna) sebagaimana yang dikehendaki Sang Pencipta. Tuhan menciptakan manusia sebagai makhluk yang mulia. Hal ini bukan atas kemauan manusia, tapi merupakan iradah atau kehendak Yang Kuasa. Kualitas yang tidak dimiliki makhluk lainnya itu berupa akal pikiran, yang berkali-kali dinyatakan dalam Alquran agar dipergunakan oleh manusia. Penggunaan akal pikiran oleh manusia selanjutnya akan menghasilkan ilmu pengetahuan. Tuhan pun memberi tempat yang terhormat kepada orang yang beriman dan berpengetahuan, sebagaimana dinyatakan dalam firmannya: “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan orang-orang yang berilmu pengetahuan beberapa derajat” (QS.58:11).

Boleh dikatakan bahwa secara filosofis tujuan pendidikan Islam adalah untuk membentuk al-insan al-kamil atau manusia paripurna tadi. Dengan begitu, arah pendidikan mengandung dua dimensi: horizontal dan vertikal. Yang pertama untuk mengembangkan pemahaman manusia tentang kehidupan yang menyangkut realitas dirinya, sesama manusia dan alam sekitar. Yang kedua, pengetahuan dan kemampuan teknik selain menjadi alat untuk menciptakan tata kehidupan yang maslahat, juga menjadi jembatan yang menghubungkan manusia dengan Khaliknya.

Dalam rumusan Hamka, tujuan pendidikan Islam adalah untuk “mengenal dan mencari keridhaan Allah, membangun budi pekerti untuk berakhlak mulia”, serta mempersiapkan anak didik untuk hidup secara layak dan berguna di tengah-tengah masyarakatnya. Pandangan Hamka ini, menurut Syamsul Nizar, memberi makna bahwa tujuan pendidikan Islam lebih berorientasi pada transinternalisasi ilmu kepada peserta didik agar mereka menjadi insan yang berkualitas, baik dalam aspek keagamaan maupun sosial. Menurut Syamsul Nizar, pandangan Hamka memiliki kesamaan dengan tujuan pendidikan Muhammadiyah yang berupaya membentuk ‘alim-intelektual. Yakni seorang muslim yang seimbang iman dan ilmunya, baik ilmu umum maupun ilmu agama, serta seorang yang kuat rohani dan jasmaninya. Kesamaan pandangan ini bisa terjadi, karena bagaimanapun Hamka adalah aktivis Muhammadiyah sejak muda sampai akhir hayatnya.

Pendidik dan Peserta Didik

Menurut Hamka, tugas pendidik adalah membantu mempersiapkan dan mengantarkan peserta didik agar memiliki ilmu pengetahuan yang luas, berakhlak mulia, dan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat luas. Dengan demikian, seorang pendidik tidak hanya dituntut memiliki pengetahuan yang luas, tetapi ia mesti seorang yang beriman, berakhlak tinggi, dan menerima pekerjaannya sebagai amanat, dan karena itu harus dilaksanakan secara profesional. Secara terperinci, tanggang jawab pendidik, menurut Hamka, adalah: berlaku adil dan objektif kepada para peserta didik; menjaga martabat diri dengan akhlak mulia dan sopan santun; menyampaikan ilmu yang dimiliki; menghormati keberadaan peserta didik, memberikan pengetahuan sesuai dengan tempat dan waktu; memperbaiki akhlak peserta didik; membimbing peserta didik sesuai dengan tujuan pendidikan; memberikan bekal-bekal ilmu agama; membimbing peserta didik bagaimana cara hidup yang teratur, melaksanakan tugas secara ikhlas, redah hati dan istiqomah; membiasakan diri membawa buku.

Sementara itu, peserta didik, menurut Hamka, dituntut untuk bersikap baik terhadap setiap guru, yang meliputi: tidak cepat putus asa dalam mencari ilmu; tidak lalai dalam menuntut ilmu dan tidak lekas puas terhadap ilmu yang sudah diperoleh; tidak merasa terhalang karena faktor usia; sabar, teguh hati, dan tidak cepat bosan dalam menuntut ilmu; mempererat hubungan dengan guru; mengikuti instruksi guru selama proses belajar-mengajar; berbuat baik terhadap guru; tidak boleh menjawab dengan sesuatu yang tidak berfaedah; menciptakan suasana yang merespons dinamika fitrah yang dimiliki; membiasakan diri untuk melihat, memikirkan, dan melakukan analisis secara saksama terhadap fenomena alam semesta.

Bentuk lembaga pendidikan seperti apakah yang ideal bagi pengembangan totalitas fitrah peserta didik? Menurut Hamka, lembaga pendidikan yang ideal adalah model lembaga pendidikan yang dikembangkan pondok pesantren. Kata dia, di pesantren terdapat unsur-unsur yang dapat menunjang pendidikan dan pencapaian tujuan pendidikan Islam secara optimal. Unsur-unsur itu meliputi tempat belajar, masjid, dan asrama. Di sini peserta didik dapat berdiskusi setiap saat, diawasi, dibimbing secara intensif dan berkesinambungan.

Menurut Hamka, lembaga pendidikan hendaknya mengembangkan diri menjadi sebuah institusi yang menjamin kemerdekaan berpikir dan berpendapat kepada setiap peserta didik. Dengan kebebasan berpikir, serta ditopang sarana dan prasarana pendidikan, menurut dia, peserta didik akan mampu mengembangkan fitrah-nya secara total dan optimal. Lembaga pendidikan yang kondusif terhadap dinamika intelektual peserta didik, dan pada gilirannya akan membantu peserta didik memiliki kepercayaan diri untuk berkreasi secara aktif dan dinamis, serta tidak bersikap pesimistis dan pasrah kepada ketentuan nasib.

Sumber: Syamsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka tentang Pendidikan Islam (2008)