Geger Cilegon 1888

Masjid K.H. Wasid di Beji

Pada abad ke-19 marak gerakan sosial di Banten, yang dipelopori kaum ulama. Dengan semangat jihad dan semangat anti-kafir, mereka melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda dan penguasa pribumi yang menjadi kaki tangannya. Pemberontakan-pemberontakan itu muncul akibat eksploitasi kolonial yang menyengsarakan kehidupan rakyat yang umunya petani itu. Salah satunya adalah pemberontakan yang terjadi pada Juli 1888 di Cilegon. Gerakan perlawanan yang dipimpin KH Wasid dan KH Tubagus Ismail ini dikenal dengan sebutan “Geger Cilegon”.

Gerakan penyerbuan ke Kota Cilegon pada 9 Juli 1888 itu dilancarkan dari dua arah. Gelombang massa dari arah selatan kota dipimpin oleh Kiai Tubagus Ismail. Mereka bergerak dari Desa Saneja. Sedangkan penyerbuan dari arah utara kota dikomandoi oleh Haji Wasid, yang juga bertindak sebagai komandan gabungan. Setelah menguasai kota Cilegon, Kiai Wasid merencanakan untuk bergerak dan bergabung dengan teman-temannya di Serang untuk melancarkan gerakan yang sama. Untuk itu dia meminta sebagian pasukannya menuju Serang, sedangkan dia dan Haji Tubagus Ismail akan menyusul kemudian.

Pasukan pendahulu ini ternyata tidak bisa masuk Kota Serang karena suasananya tidak mendukung. Sementara itu tentara Belanda sudah mulai bergerak dari Serang menuju Cilegon. Di perjalanan mereka dihadang oleh gerakan perlawanan. Dan bentrokanpun terjadi. Banyak yang tewas dari pasukan perlawanan, dan sebagian kocar-kacir melarikan diri. Maka dengan mudah tentara Belanda pun bisa memasuki Kota Cilegon . Waktu itu kota dalam keadaan sepi. Mayat-mayat bergelimpangan. Rumah-rumah hancur. Darah berceceran di sana-sini. Salah satu korban pemberontakan itu adalah Asisten Residen Gubbels yang mayatnya digantung di alun-alun Kota Cilegon [seberang jalan Rumah Dinas Kota Cilegon sekarang]. Tangga 11 Juli Kota Cilegon sepenuhnya dikuasasi oleh tentara Belanda. Pantai Anyer juga dijaga ketat supaya pemberontak tidak bisa meloloskan diri dari Banten.

Dengan anggota pasukannya yang tersisa dan masih setia, Kiai Wasid bisa meloloskan diri dari kepungan Belanda di desanya, Beji. Mereka kemudian bergerak menuju Gunung Santri, meneruskan perjalanan ke Citangkil, menembus hutan belantara menuju Labuan, dan meneruskan perjalanan ke Ujung Kulon. Setiba di Desa Sumur, di daerah Cibaliung, mereka minta izin kepada kepala kampung untuk bermalam di desa itu. Kepala kampung menolak dan melaporkannya kepada Belanda. Meskipun Kiai Wasid mengetahui gerak-gerik kepala kampung yang mencurigakan itu, dia dan rombongannya yang sudah kelelahan tidak meneruskan perjalanan. Tidak berapa lama kemudian, datanglah tentara Belanda mengepung. Dengan semangat fi sabilillah, Kiai Wasid dan anggota pasukannya melakukan perlawanan. Kiai Wasid dan Kiai Tubagus Ismail pun gugur. Pada 1 Agustus 1888 perlawanan Kiai Wasid, Kiai Tubagus Ismail, dan para kiai Banten pun berakhir. Jenazah kedua tokoh perlawanan itu pun dibawa ke Cilegon.

Gerakan perlawanan para ulama Cilegon memang berhasil ditumpas Belanda. Namun demikian, rasa jera rakyat Cilegon khususnya, dan rakyat Banten pada umumnya, untuk memberontak terhadap kekuasaan kolonial tidak pernah punah. Banyak di antara kiai yang merasa menyesal karena pada saat peristiwa itu terjadi mereka tidak ikut membantu jihad Haji Wasid dan sahabat-sahabatnya. Perasaan dendam untuk membalas tindakan Belanda tetap tertanam di kalangan ulama.

Adapun dari sisi pemerintahan kolonial, mereka mulai menyadari kekeliruan mereka di masa lalu dan mencoba mengubah sikap. Lalu diadakanlah sejumlah perubahan. Misalnya, perubahan undang-undang perpajakan dan undang-undang perburuhan, yang intinya agar tidak terlalu membebani dan menekan rakyat. Selain itu, dilakukan penelitian terhadap pegawai pemerintah di desa-desa karena tidak sedikit dari kekayaan mereka ditarik dari hasil keringat penduduk.

Sumber: Nina H. Lubis, Banten dalam Pergumulan Sejarah