PENDIDIKAN UNTUK MEMACU DAYA SAING ANAK BANGSA

Setiap 2 Mei kita memperingati Hari Pendidikan Nasional, sebuah ritual untuk memperingati hari lahirnya Ki Hajar Dewantoro, yang ditetapkan sebagai Bapak Pendidikan Indonesia. Untuk tahun 2023 ini Kemdikbudristek telah menetapkan tema Hardiknas yaitu “Bergerak Bersama Semarakkan Merdeka Belajar”.

Tidak perlu ada debat kusir kenapa yang ditetapkan Ki Hajar Dewantoro, bukan Ahmad Dahlan yang telah mendirikan banyak sekolah yang sekarang jumlahnya ribuan dan tersebar dari Sabang sampai Merauke.

Peringatan Hari Pendidikan Nasional memberikan sebuah spirit baru dan sekaligus juga kesadaran baru kepada kita semua bahwa pendidikan itu penting dan strategis. Pendidikan menjadi salah satu fondasi untuk membangun bangsa Indonesia lebih maju sebagaimana tertulis di dalam Pembukaan UUD 1945, bahwa pendidikan sangat diperlukan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Pendidikan secara umum bukan hanya untuk membuat anak-anak itu pintar secara kognitif, akan tetapi bagaimana nilai-nilai Pendidikan dapat terinternalisasi dengan baik sehingga dapat membentuk karakter, membentuk kepribadian yang baik yang terefleksi dalam interaksi sosialnya.


Pendidikan diharapkan bisa menjadi instrumen transformasi, yang membentuk masyarakat menjadi individu yang hebat yang kemudian dalam interaksi sosial secara kognitif mentransformasi perilaku masyarakat yang nyaman dan damai.

Dunia Pendidikan diharapkan juga berfungsi untuk rekayasa social, kita bisa membekali anak didik kita dengan pengetahuan dan ketrampilan yang sesuai dengan tantangan dan perubahan zaman (link and match).

Kita ambil contoh Jepang dan Korea. Mereka bisa maju bukan dengan tiba-tiba atau given. Jepang bisa maju karena mempunyai kepribadian yang sangat kuat, dan telah teruji dalam Perang Dunia, baik di Perang Dunia I maupun Perang Dunia II hingga saat ini.

Tradisi belajar orang Jepang, terutama tradisi membaca pada anak-anak, termasuk yang tertinggi di belahan dunia sejak anak usia kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Jadi rekayasa sosial itu dilakukan mulai dari pendidikan paling dasar.

Sementara itu Korea Selatan juga dianggap sebagai bangsa yang tidak malu untuk meniru hal-hal yang baik atau inovatif yang dilakukan orang Jepang. Ada semacam pameo bahwa orang Jepang itu maju karena berani meniru apa yang dilakukan oleh Amerika (what American Do, Japan Can Do).

Bagi Korea Selatan, Jepang merupakan rujukan. Maka rumusnya, apa pun yang bisa dilakukan oleh Jepang, maka Korea juga bisa melakukan dengan lebih baik (what Japan do, Korea can do better).

Daya saing Pendidikan

Kenyataan bahwa pendidikan di Indonesia dewasa ini masih mengalami banyak tantangan dan masalah. Kondisi ini tentu berdampak langsung dengan daya saing lulusan yang dihasilkan, karena dengan rendahnya mutu pendidikan maka rendah pula kualitas lulusan yang dihasilkan.

World Population Review, sebuah lembaga survey internasional menerbitkan laporan perihal indeks daya saing global. Laporan ini menampilkan tren regional dan analisis negara terpilih dari edisi 2021 Global Competitiveness Index (GCI) 4.0.

Dalam laporan kali ini peringkat daya saing Indonesia berada di posisi ke-54 di dunia, turun empat peringkat dari tahun lalu. Indonesia juga tertinggal dari tetangganya di ASEAN, di belakang Singapura (21), Malaysia (38) dan Thailand (46).

Mencermati laporan BPS (2019), Indonesia memiliki Mean Years of Schooling dengan skor 8,34 tahun. Ini berarti pelajar di Indonesia rata-rata hanya selesai sekolah sampai dengan kelas 8 di tingkat SMP.

Sementara Malaysia 10,2 tahun atau kira-kira sampai kelas 10 SMA dan Singapura 11,1 tahun atau setara kelas 11 SMA.

Jepang yang dianggap sebagai negara maju mempunyai MYS 12,8 tahun, yang berarti rata-rata siswa di sana adalah lulusan SMA atau mendapatkan diploma.

Hasil Tes PISA juga menunjukkan masih rendahnya anak Indonesia usia 15 tahun, atau sekitar kelas 8-9 SMP, dalam bidang membaca, matematika, dan ilmu pengetahuan.

Hasil tes 2018 yang diikuti 78 negara menunjukkan nilai kemampuan membaca siswa Indonesia 371, masih kalah jika dibandingkan dengan siswa Thailand (393), Malaysia (415), dan Singapura (549). 

Untuk kemampauan matematika, nilai siswa Indonesia 379, masih rendah jika dibandingkan dengan Thailand (419), Malaysia (440), dan Singapura (569).

Sementara itu untuk kemampuan di bidang ilmu pengetahuan, skor siswa Indonesia 396, Thailand 426, Malaysia 438, dan Singapura 551.

Dengan rata-rata pendidikan yang rendah dan kemampuan literasi yang lemah, mutu sumber daya manusia Indonesia masih rendah. Ini menunjukkan bahwa tenaga kerja Indonesia tidak memilik pengetahuan dan ketrampilan yang memadai. Makanya tidak mengherankan apabila banyak tenaga kerja dari Indonesia mengalami kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. 

Penutup

Di tahun politik ini rasanya wajar kalau kita merasa khawatir dengan mutu Pendidikan nasional kita. Kita berharap agar Mendikbudristek serius dalam melakukan perbaikan di bidang pendidikan. Usaha perubahan kurikulum, yang dikenal dengan Kurikulum Merdeka, harus dibarengi dengan kesadaran dan kejujuran akan masih lemahnya mutu pendidikan Indonesia.

Kita memerlukan iklim pendidikan nasional yang kondusif yang dapat mengantarkan anak didik kita mempunyai daya saing yang tinggi dan siap menatap masa depan agar mereka lebih baik dan lebih sejahtera.

Momentum Hari Pendidikan Nasional ini harus dimanfaatkan secara maksimal untuk bekerja sama agar dunia Pendidikan kita dapat memoderasi anak didik kita agar benar-benar menjadi manusia merdeka, merdeka dari kebodohan, ketertinggalan dan ketidak adilan.

Seperti pepatah Arab yang sangat populer yaitu himmaty himmatul mulki wa nafsI nafsul khurri (ambisiku adalah ambisi para pemimpin, namun diriku adalah seorang yang merdeka).