Urgensi Moderasi Beragama Untuk Milenial

Drs. Anang Aenal Yaqin, M.Si, dalam kegiatan Lokakarya Pengenalan Moderasi Beragama

Pemerintah melalui Kementerian Agama tengah tengah giat melaksanakan program sosialisasi, literasi dan edukasi moderasi beragama. Karena urgensinya, program ini ditempatkan sebagai program prioritas. Artinya, tema moderasi beragama dipandang memiliki makna penting, strategis dan mendesak untuk segera dikenalkan kepada seluruh lapisan masyarakat, mengingat kebhinnekaan bangsa dan kerukunan kehidupan umat beragama di Indonesia tengah menghadapi tantangan yang sangat besar. Potensi ancaman begitu nyata dengan maraknya beragam ujaran kebencian, berita bohong, serta tumbuhnya benih radikalisme yang tersebar di media sosial.


Salah satu sasaran untuk pengenalan konsep dan nilai-nilai moderasi beragama adalah kalangan pelajar dan remaja. Para generasi milenial ini adalah kelompok yang sangat aktif di ranah dunia maya melalui penggunaan sarana media sosial. Mereka begitu “menguasai” jagat dunia maya, baik dalam konteks hiburan, mencari informasi dan referensi, maupun yang berkaitan dengan motif ekonomi.


Di sisi lain, jagat dunia maya ini juga tidak hanya diramaikan dengan konten-konten positif, namun juga banyak kita jumpai konten atau postingan yang bernada provokatif, yang berpotensi menumbuhkan benih-benih intoleransi, radikalisme dan ekstremismu. Oleh karena itu, upaya membentengi para pelajar dari paparan benih intoleransi dan radikalisme perlu mendapat dukungan dari semua pihak. Kalangan milenial perlu dikenalkan pada tema moderasi beragama hingga mereka mendapatkan pemahaman yang memadai.

Makna Moderasi Beragama

Moderasi beragama dapat diartikan sebagai sebuah ikhtiar dari kalangan penganut keyakinan agama (misalnya kaum muslimin) untuk menempatkan dirinya dalam bersikap, tidak menganut paham liberalisme maupun konservatisme. Dengan kata lain, sebagaimana rumusan Dirjen Pendis Kemenag RI, Prof. Dr. Ali Ramdhani, moderasi beragama adalah cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama, dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama yang melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan berlandaskan prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan bernegara.


Moderasi beragama dalam konteks ini berbeda pengertiannya dengan moderasi agama. Agama tentu tidak dapat dimoderasikan karena sudah menjadi ketetapan dari Tuhan Yang Maha Esa, tetapi kita memoderasikan cara pandang, sikap, dan praktik beragama yang kita peluk, sesuai dengan kondisi dan situasi sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran agama.


Tidak sedikit yang beranggapan bahwa moderasi beragama akan mendangkalkan pemahaman keagamaan. Padahal, moderasi beragama justru mengimplementasikan nilai-nilai keagamaan yang sesungguhnya. Orang dengan pemahaman agama yang baik akan bersikap ramah kepada orang lain, terlebih dalam menghadapi perbedaan. Singkatnya, moderasi beragama bukan mencampuradukkan ajaran agama, melainkan menghargai beragamnya agama di Indonesia.


Jadi, moderasi beragama bukanlah moderasi agama. Beragama adalah suatu cara pandang, cara bersikap dan berprilaku. Ini lebih terkait kepada penganut dalam menempatkan keyakinan keagamaannya. Bagaimana perspektif atau cara pandangnya dalam berkeyakinan yang menempatkan diri berada dalam posisi di tengah-tengah (wasath). Lalu bagaimana tindakan atau perilaku dalam berkeyakinan yang mengedepankan aspek kemaslahatan untuk kehidupan kemanusiaan sebagai makhluk mulia ciptaan Allah.

Dasar-dasar Naqliah dan Aqliah

Islam melarang para pemeluknya untuk melakukan perbuatan berlebih-lebihan, termasuk berlebih-lebihan dalam beragama. Dalam Al-Qur’an surat an-Nisa ayat 171 Allah berfirman : “Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, Isa putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan: “(Tuhan itu) tiga”, berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah menjadi Pemelihara.”


Selanjutnya, dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 143, ditegaskan bahwa umat Islam adalah ummatan wasathan, umat yang berada di tengah-tengah, atau umat yang menjadi penengah. Allah berfirman :“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.”


Secara logika, pentingnya moderasi beragama dapat dijelaskan bahwa beragama sesungguhnya merupakan upaya manusia untuk memperbaiki jalan hidupnya ketika ia berada di dunia yang dipenuhi oleh ketidakpastian abadi. Manusia memerlukan satu pedoman dan tuntunan hidup yang bisa membimbingnya menggapai kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat.


Seseorang yang beragama hanya akan memiliki manfaat apabila dia mampu meninggikan derajat dan menghargai kemanusiaan. Agama mengajarkan bahwa sebaik-baiknya manusia ialah yang bisa memberi manfaat kepada orang lain.


Perbedaan dalam kehidupan manusia adalah rahmat (anugerah) yang diberikan oleh Sang Maha Pencipta. Karena itu, perbedaan dalam diri makhluk manusia adalah inheren. Termasuk di dalamnya, berbeda dalam berkeyakinan. Jika kita sangat memaksakan, tidak menghargai perbedaan, tidak toleran, tidak mau memberikan contoh atau mengikuti contoh yang baik, maka jati diri kemanusiaan kita menjadi dipertanyakan.

Urgensi Moderasi Beragama untuk Milenial

Mengutip rumusan Kementerian Agama, sembilan nilai moderasi beragama terdiri dari: 1. Tawassuth (moderat), 2. Muwathanah (cinta tanah air), 3. I’tidal (tegak lurus berlaku adil), 4. Tasamuh (toleran), 5. Syura (rmusyawarah), 6. Alla ’unf (anti kekerasan), 7. I’tiraf al-urf (ramah budaya), 8. Qudwah (kepeloporan), dan 9.Ishlah (reformasi, tidak suka merusak).


Lalu, di mana letak urgensi moderasi beragama bagi milenial atau kalangan pelajar? Dalam konteks pendidikan, setidaknya ada empat alasan. Pertama, pengenalan moderasi beragama sesungguhnya merupakan upaya membekali para siswa akan pemahaman (pengetahuan) keberagamaan untuk pembentukan karakter mereka. Pembentukan karakter atau kepribadian ini sangat penting di tengah realitas keragaman yang melingkupi kehidupannya.


Kedua, habituasi pengembangan sikap dalam perbedaan. Pembiasaan atau penyesuaian sikap yang sesuai dengan nilai-nilai moderasi beragama akan sangat membantu perkembangan seseorang dalam berbagai aspek kehidupannya. Sebab ia tidak mungkin hidup sendiri. Ia juga tergantung pada orang lain yang niscaya berbeda dengan dirinya.

Urgensi kegita adalah pengembangan khazanah wawasan keagamaan. Dan, yang keempat adalah dengan mengenal konsep dan nilai-nilai moderasi beragama akan mempertebal rasa percaya diri sebagai pemeluk satu keyakinan keagamaan.


Sementara, dalam konteks kebangsaan, mengenal nilai-nilai moderasi akan mampu menjadikan siswa, sebagai generasi penerus, lebih siap untuk eksis dalam warna perbedaan. Para siswa juga akan dapat menumbuhkan solidaritas kebangsaan, serta dapat menjaga harmoni dalam kehidupannya. Pemahaman moderasi diharapkan juga mampu memperteguh keyakinan seseorang sebagai anggota (warga) NKRI yang berisikan anggota masyarakat yang majemuk, membekali diri sebagai pelopor (teladan) dalam bermasyarakat, dan pada gilirannya akan mengantarkan seseorang memiliki kebanggaan menjadi insan Indonesia dalam warna perbedaan keyakinan keagamaan.

Implementasi Moderasi Beragama di Lingkungan Sekolah


Apa yang dapat dilakukan oleh sekolah dalam ber-moderasi beragama di lingkungannya? Mengutip rumusan Yunita Maesyaroh, ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh sekolah.


Pertama, mengembangkan budaya lokal sekolah, misalnya kejujuran, saling menghargai, sopan santun, dan lain-lain, yang merupakan perpaduan nilai-nilai, asumsi, pemahaman, keyakinan, dan harapan yang diyakini oleh stakeholders sekolah serta dijadikan pedoman perilaku dalam pemecahan masalah. Sedangkan pengembangan budaya agama dalam komunitas sekolah berarti mengembangkan ajaran agama wasathiyah (tengah-tengah) di sekolah sebagai pijakan nilai, sikap, semangat, dan perilaku bagi para guru, tenaga pendidikan, orang tua murid, dan murid itu sendiri.


Kedua, untuk membangun rasa saling pengertian sejak dini antara peserta didik yang mempunyai keyakinan keagamaan yang berbeda, maka sekolah harus berperan aktif mengadakan dialog keagamaan atau dialog antar umat beragama yang tentunya tetap berada dalam bimbingan guru-guru dalam sekolah tersebut. Dialog antar umat beragama semacam ini merupakan salah satu upaya yang efektif agar peserta didik dapat membiasakan diri melakukan dialog dengan penganut agama yang berbeda.


Ketiga, hal lain yang penting dalam penerapan moderasi beragama yaitu kurikulum dan buku-buku pelajaran yang dipakai, diterapkan di sekolah sebaiknya kurikulum yang memuat nilai-nilai pluralisme (ke-Bhinneka Tunggal Ika-an) dan toleransi beragama. Buku-buku agama yang dipakai di sekolah juga sebaiknya buku-buku yang dapat membangun wacana serta pemikiran peserta didik tentang pemahaman keberagaman yang inklusif dan moderat.


Pada akhirnya, dengan menerapkan nilai-nilai budaya religius di lingkungan sekolah serta kuatnya kepedulian guru dan manajemen lembaga pendidikan, diharapkan dapat membentuk kesalehan secara individu dan sosial murid, sehingga secara prospektif dapat membangun moral, peradaban, dan watak bangsa yang bermartabat.

Penulis adalah peneliti yang sekaligus juga aktif dalam program-program literasi dan edukasi untuk tema moderasi beragama. Ia juga merupakan Direktur dari lembaga studi Karsa Indonesia Majemuk.