MENGENAL KONSEP MODERASI BERAGAMA

Pendahuluan

Moderasi beragama diperlukan karena sikap ekstrem dalam beragama tidak sesuai dengan esensi ajaran agama itu sendiri. Perilaku ekstrem atas nama agama sangat sering menyebabkan konflik, rasa benci, intoleransi, bahkan peperangan yang berkepanjangan yang dapat memusnahkan peradaban. Sikap-sikap seperti itulah yang perlu dimoderasi (Kementerian Agama RI, 2019). Ajaran agama sejatinya mengajarkan kepada kebaikan, sikap saling menghormati dan menghargai, dan tidak memusuhi orang lain yang berbeda agama dengan kita.

Karena itu, moderasi beragama merupakan upaya mengembalikan pemahaman dan praktik beragama agar sesuai dengan esensinya, yakni untuk menjaga harkat, martabat, dan peradaban manusia, bukan sebaliknya. Agama tentu tidak boleh digunakan untuk sesuatu yang dapat merusak peradaban, karena sejak diturunkan, agama pada hakikatnya ditujukan untuk membangun peradaban itu sendiri (Kementerian Agama RI, 2019).

Dengan kata lain, moderasi adalah juga sikap kebajikan yang membantu terciptanya keselarasan sosial dan keseimbangan di dalam kehidupan dan personal, di dalam keluarga dan masyarakat beserta hubungan antar manusia yang lebih luas (Azra, 2020).

Moderasi beragama wajib dipahami sebagai sikap beragama yang sejalan antara penghormatan teruntuk praktik agama individu lainnya yang beragam keyakinan (inklusif) dan pengamalan agama sendiri (eksklusif). Kenapa demikian? Hal ini dikarenakan bahwa moderasi beragama dipahami sebagai kunci dari wujud kerukunan, perdamaian, toleransi, baik di tingkat lokal, nasional, maupun global.

Pengertian Etimologis dan Terminologis

Secara etimologi, kata “moderasi” memiliki keterkaitan dengan beberapa istilah. Dalam bahasa Inggris, “moderasi” berasal dari kata moderation, yang berarti sikap sedang, sikap tidak berlebih-lebihan. Kata moderation sendiri berasal dari bahasa Latin moderatio, yang berarti ke-sedang-an (tidak kelebihan dan tidak kekurangan). Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “moderasi” memiliki arti penghindaran kekerasan atau penghindaran keekstreman. Kata ini merupakan serapan dari kata “moderat”, yang berarti sikap selalu menghindarkan perilaku atau pengungkapan yang ekstrem, dan kecenderungan ke arah jalan tengah.

Istilah moderasi juga berkorelasi dengan kata “moderator” yang dapat berarti orang yang bertindak sebagai penengah (hakim, wasit, dan sebagainya), pemimpin sidang (rapat, diskusi) yang menjadi pengarah pada acara pembicaraan atau pendiskusian masalah, atau juga alat pada mesin yang mengatur atau mengontrol aliran bahan bakar atau sumber tenaga.

Dalam terminologi Arab, moderasi memiliki istilah tawassuth (tengah), i’tidal (adil), serta tawazun (berimbang). Dari pengertian tersebut, dapat dimaknai bawa individu yang mengamalkan prinsip wasathiyah dapat diartikan sebagai “pilihan terbaik.” Adapun kata yang digunakan, mengarah kepada arti yang sama, yakni adil, yang berarti dalam hal ini memilih posisi tengah diantara berbagai pilihan-pilihan ekstrem (Kementerian Agama RI, 2019).

Menurut Abuddin Nata, Guru Besar bidang pengkajian Islam, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Allah SWT menerangkan bahwa Dia mengharuskan hamba-hamba-Nya berlaku adil, yaitu bersifat tengah dan seimbang di dalam semua aspek kehidupan serta melaksanakan perintah yang tertuang di dalam al-Quran dan berbuat ihsan (keutamaan). Adil berarti wujud kesamaan dan keseimbangan antara hak kewajiban. Hak Asasi Manusia (HAM) tidak diperbolehkan dikurangi disebabkan adanya kewajiban (Nata, 2014).

Jadi, ketika kata “moderasi” disandingkan dengan kata “beragama”, menjadi “moderasi beragama”, maka istilah tersebut berarti merujuk pada sikap mengurangi kekerasan, atau menghindari keekstreman dalam praktik beragama. Gabungan kedua kata itu menunjuk kepada sikap dan upaya menjadikan agama sebagai dasar dan prinsip untuk selalu menghindarkan perilaku atau pengungkapan yang ekstrem (radikalisme) dan selalu mencari jalan tengah yang menyatukan dan membersamakan semua elemen dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa Indonesia.

Sikap moderat dan moderasi adalah suatu sikap dewasa yang baik dan sangat diperlukan. Radikalisasi dan radikalisme, kekerasan dan kejahatan, termasuk ujaran kebencian/caci maki dan hoaks, terutama atas nama agama, adalah kekanak-kanakan, jahat, memecah belah, merusak kehidupan, patologis, tidak baik dan tidak perlu.

Dengan demikian, moderasi beragama sesungguhnya merupakan usaha kreatif untuk mengembangkan suatu sikap keberagamaan di tengah pelbagai desakan ketegangan (constrains), seperti antara klaim kebenaran absolut dan subjektivitas, antara interpretasi literal dan penolakan yang arogan atas ajaran agama, juga antara radikalisme dan sekularisme. Komitmen utama moderasi beragama terhadap toleransi menjadikannya sebagai cara terbaik untuk menghadapi radikalisme agama yang mengancam kehidupan beragama itu sendiri dan, pada gilirannya, mengimbasi kehidupan persatuan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Mengapa Moderasi Beragama itu Penting

Ini adalah sebuah pertanyaan yang sering diajukan: mengapa kita, bangsa Indonesia khususnya, membutuhkan perspektif moderasi dalam beragama?

Secara umum, jawabannya adalah karena keragaman dalam beragama itu niscaya, tidak mungkin dihilangkan. Ide dasar moderasi adalah untuk mencari persamaan dan bukan mempertajam perbedaan. Ada beberapa alasan mengapa kita perlu moderasi beragama. Namun setidaknya kita dapat mengemukakan dua alasan utama.

Pertama, salah satu esensi kehadiran agama adalah untuk menjaga martabat manusia sebagai makhluk mulia ciptaan Tuhan, termasuk menjaga untuk tidak menghilangkan nyawanya. Itulah mengapa setiap agama selalu membawa misi damai dan keselamatan. Untuk mencapai itu, agama selalu menghadirkan ajaran tentang keseimbangan dalam berbagai aspek kehidupan; agama juga mengajarkan bahwa menjaga nyawa manusia harus menjadi prioritas; menghilangkan satu nyawa sama artinya dengan menghilangkan nyawa keseluruhan umat manusia. Moderasi beragama menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.

Orang yang ekstrem tidak jarang terjebak dalam praktik beragama atas nama Tuhan hanya untuk membela keagungan-Nya saja seraya mengesampingkan aspek kemanusiaan. Orang beragama dengan cara ini rela merendahkan sesama manusia “atas nama Tuhan”, padahal menjaga kemanusiaan itu sendiri adalah bagian dari inti ajaran agama.

Sebagian manusia sering mengeksploitasi ajaran agama untuk memenuhi kepentingan hawa nafsunya, kepentingan hewaninya, dan tidak jarang juga untuk melegitimasi hasrat politiknya. Aksi-aksi eksploitatif atas nama agama ini yang menyebabkan kehidupan beragama menjadi tidak seimbang, cenderung ekstrem dan berlebih-lebihan. Jadi, dalam hal ini, pentingnya moderasi beragama adalah karena ia menjadi cara mengembalikan praktik beragama agar sesuai dengan esensinya, dan agar agama benar-benar berfungsi menjaga harkat dan martabat manusia, tidak sebaliknya.

Kedua, khusus dalam konteks Indonesia, moderasi beragama diperlukan sebagai strategi kebudayaan kita dalam merawat keindonesiaan. Sebagai bangsa yang sangat heterogen, sejak awal para pendiri bangsa sudah berhasil mewariskan satu bentuk kesepakatan dalam berbangsa dan bernegara, yakni Pancasila dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang telah nyata berhasil menyatukan semua kelompok agama, etnis, bahasa, dan budaya. Indonesia disepakati bukan negara agama, tapi juga tidak memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari warganya. Nilai-nilai agama dijaga, dipadukan dengan nilai-nilai kearifan dan adat-istiadat lokal. Beberapa hukum agama dilembagakan oleh negara, ritual agama dan budaya berjalin dengan rukun dan damai.

Itulah sesungguhnya jati diri Indonesia, negeri yang sangat agamis, dengan karakternya yang santun, toleran, dan mampu berdialog dengan keragaman. Ekstremisme dan radikalisme niscaya akan merusak sendi-sendi keindonesiaan kita jika dibiarkan tumbuh berkembang. Karenanya, moderasi beragama amat penting dijadikan cara pandang.

Keragaman dan Keberagamaan Indonesia

Indonesia adalah negara dengan keragaman etnis, suku, budaya, bahasa, dan agama yang nyaris tiada tandingannya di dunia. Selain enam agama yang paling banyak dipeluk oleh masyarakat, ada ratusan bahkan ribuan suku, bahasa dan aksara daerah, serta kepercayaan lokal di Indonesia. Bagi bangsa Indonesia, keragaman diyakini sebagai kehendak Tuhan. Keragaman tidak diminta, melainkan pemberian Tuhan Yang Mencipta, bukan untuk ditawar melainkan untuk diterima (taken for granted).

Dengan kenyataan beragamnya masyarakat Indonesia itu, dapat dibayangkan betapa beragamnya pendapat, pandangan, keyakinan, dan kepentingan masing-masing warga bangsa, termasuk dalam beragama. Beruntung kita memiliki satu bahasa persatuan, bahasa Indonesia, sehingga berbagai keragaman keyakinan tersebut masih dapat dikomunikasikan, dan karenanya antarwarga bisa saling memahami satu sama lain. Meski begitu, gesekan akibat keliru mengelola keragaman itu tak urung kadang terjadi, sehingga menimbulkan kesalahpahaman yang mengakibatkan konflik sosial.

Dari sudut pandang agama, keragaman adalah anugerah dan kehendak Tuhan; jika Tuhan menghendaki, tentu tidak sulit membuat hamba-hamba-Nya menjadi seragam dan satu jenis saja. Tapi Tuhan memang Maha Menghendaki agar umat manusia itu beragam, bersuku-suku, berbangsa-bangsa, dengan tujuan agar kehidupan menjadi dinamis, saling belajar, dan saling mengenal satu sama lain. Dengan begitu, keragaman akan menghadirkan mozaik keindahan, keharmonisan, pada gilirannya adalah kebahagiaan. Keragaman bangsa Indonesia adalah kenyataan yang harus disyukuri.

Selain agama dan kepercayaan yang beragam, dalam tiap-tiap agama pun terdapat juga keragaman penafsiran atas ajaran agama, khususnya ketika berkaitan dengan praktik dan ritual agama. Umumnya, masing-masing penafsiran ajaran agama itu memiliki penganutnya yang meyakini kebenaran atas tafsir yang dipraktikkannya.

Pengetahuan atas keragaman itulah yang memungkinkan seorang pemeluk agama akan bisa mengambil jalan tengah (moderat) jika satu pilihan kebenaran tafsir yang tersedia tidak memungkinkan dijalankan. Sikap ekstrem biasanya akan muncul manakala seorang pemeluk agama tidak mengetahui adanya alternatif kebenaran tafsir lain yang bisa ia tempuh. Dalam konteks inilah moderasi beragama menjadi sangat penting untuk dijadikan sebagai sebuah cara pandang (perspektif) dalam beragama.

Di Indonesia, dalam era demokrasi yang serba terbuka, perbedaaan pandangan dan kepentingan di antara warga negara yang sangat beragam itu dikelola sedemikian rupa, sehingga semua aspirasi dapat tersalurkan sebagaimana mestinya. Demikian halnya dalam beragama, konstitusi kita menjamin kemerdekaan umat beragama dalam memeluk dan menjalankan ajaran agama sesuai dengan kepercayaan dan keyakinannya masing-masing.

Ideologi negara kita, Pancasila, sangat menekankan terciptanya kerukunan antarumat beragama. Indonesia bahkan menjadi contoh bagi bangsa-bangsa di dunia dalam hal keberhasilan mengelola keragaman budaya dan agamanya, serta dianggap berhasil dalam hal menyandingkan secara harmoni cara beragama sekaligus bernegara. Konflik dan gesekan sosial dalam skala kecil memang kerap terjadi, namun kita selalu berhasil keluar dari konflik, dan kembali pada kesadaran atas pentingnya persatuan dan kesatuan sebagai sebuah bangsa besar, bangsa yang dianugerahi keragaman oleh Sang Pencipta.

Namun demikian, kita harus tetap waspada. Sebab salah satu ancaman terbesar yang dapat memecah belah kita sebagai sebuah bangsa adalah konflik berlatar belakang agama, terutama yang disertai dengan aksi-aksi kekerasan. Mengapa? Karena agama, apa pun dan di mana pun, memiliki sifat dasar keberpihakan yang sarat dengan muatan emosi dan subjektivitas tinggi, sehingga hampir selalu melahirkan ikatan emosional pada pemeluknya. Bahkan bagi pemeluk fanatiknya, agama merupakan “benda” suci yang sakral, angker, dan keramat. Alih-alih menuntun pada kehidupan yang tenteram dan menenteramkan, fanatisme ekstrem terhadap kebenaran tafsir agama tak jarang menyebabkan permusuhan dan pertengkaran di antara mereka. Deretan fakta sejarah dapat dibeberkan untuk menunjukkan hal ini.

Konflik berlatar agama ini dapat menimpa berbagai kelompok atau mazhab dalam satu agama yang sama (sektarian atau intraagama), atau terjadi pada beragam kelompok dalam agama-agama yang berbeda (komunal atau antaragama). Biasanya, awal terjadinya konflik berlatar agama ini disulut oleh sikap saling menyalahkan tafsir dan paham keagamaan, merasa benar sendiri, serta tidak membuka diri pada tafsir dan pandangan keagamaan orang lain.Untuk mengelola situasi keagamaan di Indonesia yang sangat beragam seperti digambarkan di atas, kita membutuhkan visi dan solusi yang dapat menciptakan kerukunan dan kedamaian dalam menjalankan kehidupan keagamaan, yakni dengan mengedepankan moderasi beragama, menghargai keragaman tafsir, serta tidak terjebak pada ekstremisme, intoleransi, dan tindak kekerasan.

Semangat moderasi beragama adalah untuk mencari titik temu dua kutub ekstrem dalam beragama. Di satu sisi, ada pemeluk agama yang ekstrem meyakini mutlak kebenaran satu tafsir teks agama, seraya menganggap sesat penafsir selainnya. Kelompok ini biasa disebut ultra-konservatif. Di sisi lain, ada juga umat beragama yang ekstrem mendewakan akal hingga mengabaikan kesucian agama, atau mengorbankan kepercayaan dasar ajaran agamanya demi toleransi yang tidak pada tempatnya kepada pemeluk agama lain. Mereka biasa disebut ekstrem liberal. Tehadap kedua kelompok ini perlu diperkenalkan dan ditumbuhkan konsep moderasi.

Selain beragam alasan dan argumentasi tersebut, dapat juga dijelaskan bahwa moderasi beragama sesungguhnya merupakan kebaikan moral bersama yang relevan tidak saja dengan perilaku individu, melainkan juga dengan komunitas atau lembaga.Moderasi telah lama menjadi aspek yang menonjol dalam sejarah peradaban dan tradisi semua agama di dunia. Masing-masing agama niscaya memiliki kecenderungan ajaran yang mengacu pada satu titik makna yang sama, yakni bahwa memilih jalan tengah di antara dua kutub ekstrem dan tidak berlebih-lebihan merupakan sikap beragama yang sungguh ideal.

Penulis adalah Kepala Bagian Tata Usaha Kanwil Kementerian Agama Provinsi Banten. Menamatkan pendidikan S2 Ilmu Administrasi, YAPPANN tahun 2004. Selain itu, dikenal juga sebagai pemerhati dan giat melaksanakan inisiasi program-program moderasi beragama di wilayah Banten.