Penguatan Karakter Siswa Melalui Moderasi Beragama
Pendidikan bukan sekadar mengajarkan pengetahuan, atau semata mengembangkan aspek intelektual, melainkan juga untuk mengembangkan karakter, moral, nilai-nilai, dan budaya peserta didik. Inilah tampaknya yang belum kita resapi benar ketika kita membicarakan fungsi pendidikan. Ortu pun kalau ditanya untuk apa nyekolahin anak, dan bahkan rela ngeluarin duit berjuta-juta, jawabannya, “Ya biar pinter-lah. Buat apa sekolah mahal-mahal, kalau gak pinter.” Tak ada yang salah dengan jawaban itu. Hanya kurang komplit. Sebab, ditegaskan dalam pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) bahwa fungsi pendidikan adalah untuk:“Mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermanfaat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.”
Dalam UU Sisdiknas juga ditegaskan bahwa tugas pendidik berkewajiban untuk mengajar dan membina peserta didik sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Dalam melaksanakan tugasnya, pendidik bukan saja hanya mengajarkan ilmu pengetahuan, tetapi juga membina dan memperhatikan pada pembentukan kepribadian peserta didik agar menjadi individu yang lebih baik serta mampu menanamkan kualitas karakter yang semestinya ada pada individu siswa.
Pendidikan, sebagai upaya untuk membangun karakter, mempunyai makna yang lebih tinggi dari pendidikan moral. Sebab pendidikan karakter bukan sekadar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan mengenai hal yang baik sehingga peserta didik bisa membedakan mana yang baik dan salah, mampu merasakan nilai yang baik dan mau melakukannya. Kepribadian memang erat kaitannya dengan kebiasaan yang terus menerus dipraktikkan. Jadi bukan sesuatu yang dibawa dari sononya.
Kebiasaan berbuat baik tidak selalu menjamin bahwa manusia yang telah terbiasa tersebut secara sadar menghargai pentingnya nilai karakter. Karena mungkin saja perbuatannya tersebut dilandasi oleh rasa takut untuk berbuat salah, bukan karena tingginya penghargaan akan nilai itu. Misalnya saja ketika seseorang berbuat jujur, hal itu dilakukan karena ia takut dinilai oleh orang lain, bukan karena keinginannya yang tulus untuk menghargai nilai kejujuran itu sendiri. Oleh sebab itu, dalam pendidikan karakter diperlukan juga aspek emosi. Jadi selain memahami nilai kebaikan juga ada hasrat dan cinta untuk mempraktikkannya.
Nilai-nilai yang diajarkan harus termanifestasikan dalam kurikulum sehingga para peserta didik paham benar tentang nilai-nilai tersebut dan mampu mengaktualisasikannya dalam perilaku nyata. Untuk itu diperlukan pendekatan optimal dalam pengajaran karakter secara efektif, yang harus diterapkan di seluruh sekolah. Pertama, sekolah dilihat sebagai lingkungan yang unik, ibarat pulau yang punya bahasa dan budayanya sendiri. Meski begitu, sekolah harus memperluas pendidikan karakter bukan saja kepada guru, staf dan siswa didik, tetapi juga kepada keluarga dan masyarakat sekitarnya. Kedua, dalam menjalankan kurikulum karakter, pengajaran tentang nilai-nilai seyogyanya berhubungan dengan sistem sekolah secara keseluruhan, yang diajarkan sebagai subyek yang berdiri sendiri namun diintegrasikan dalam kurikulum sekolah keseluruhan; dan seluruh staf menyadari dan mendukung tema nilai yang diajarkan. Ketiga, penekanan ditempatkan untuk merangsang bagaimana siswa menerjemahkan prinsip nilai ke dalam bentuk perilaku pro-sosial. Oleh karena moral bersifat abstrak, nilai-nilai moral kebaikan harus diajarkan pada generasi muda. Karena itu pula, tema yang sesuai dengan usia anak dalam berpikir konkret perlu diakomodasi. Misalnya, cerita-cerita kepahlawanan dan kisah kehidupan yang perlu diteladani baik dari para orang bijak, maupun para pejuang bangsa dan kemanusiaan. Bahkan, imajinasi anak terhadap kehidupan yang ideal, kendati yang dilihatnya tidak demikian, perlu ditekankan kepada anak agar ia mencintai kebajikan dan terdorong untuk berbuat hal yang sama.
Pendidikan karakter memang sarat nilai. Jika kita berpegang pada idealisme kemanusiaan, nilai merupakan kekuatan penggerak perubahan sejarah. Kemampuan membentuk diri dan mengaktualisasikan nilai-nilai etis merupakan ciri hakiki manusia. Karena itu, manusia mampu menjadi agen perubahan sejarah. Jika kita meyakini bahwa manusia merupakan agen bagi perjalanan sejarahnya sendiri, maka tidak ada alasan bagi kita untuk tidak optimistis dalam melakukan berbagai lompatan sejarah sehingga kita mampu keluar dari kungkungan kemiskinan, keterbelakangan, dan berbagai keterpurukan lainnya.
Pendidikan karakter di sekolah, dengan demikian, merupakan salah satu fungsi pokok yang harus dilakukan untuk melahirkan penerus perjuangan bangsa yang memiliki karakter dan bermoral. Oleh karenanya, pendidikan karakter juga merupakan kebutuhan mendasar dan penting, sehingga dengan adanya pendidikan karakter guru harus memberikan siswa bukan hanya bekal pengetahuan dan keterampilan. namun membekali peserta didik dengan mengajarkan dan menanamkan karakter. Beberapa karakter mulia berikut ini layak diajarkan kepada anak Indonesia: cinta Tuhan dan kebenaran; tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian; amanah; hormat dan santun; kasih sayang, kepedulian, dan kerja sama; percaya diri, kreatif, dan pantang menyerah (confidence, assertiveness, creativity, resourcefulness, courage, determination and enthusiasm); keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati; toleransi dan cinta damai.
Tantangan Global
Nilai-nilai yang terkandung dalam sikap atau watak di atas sangat penting ditanamkan secara bertahap kepada siswa sejak dini, agar nantinya akan menjadi sikap dan watak yang inheren dalam dirinya, dan mewarnai perilakunya sehari-hari. Nilai-nilai tersebut sangat penting dan dibutuhkan oleh siswa atau setiap orang, sebagai bekal menyongsong masa depannya. Sebab tantangan kehidupan masa depan kita akan semakin kompleks dengan konsekuensi yang tidak ringan.
Kita hidup di era yang serba terbuka. Tidak ada sekat-sekat yang dapat membentengi kita dari pengaruh luar. Budaya global akan sangat mempengaruhi sendi-sendi kehidupan kita, baik kehidupan beragama, sosial kemasyarakatan, maupun tata kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada aspek kehidupan beragama, misalnya, pengaruh budaya global sangat kentara menggerus norma sosial yang bersumber dari ajaran agama. Pola relasi dalam lingkup keluarga atau antar sesama juga tak luput dari pengaruh kebudayaan pop-global tersebut.
Perubahan gaya hidup, perkembangan teknologi informasi juga menjadi faktor yang sangat berpengaruh pada sikap keberagamaan kita. Kearifan lokal secara perlahan namun pasti mengalami pendangkalan. Pun juga nilai-nilai lain yang bersumber dari ajaran agama, tak luput dari pengaruh kemodernan yang mengubah gaya hidup masyarakat.
Demikian pula dengan pengaruh ideologi dari gerakan Islam transnasional yang semakin kuat terasa di era keterbukaan ini. Gerakan ini tidak hanya terbatas pada wilayah nasional atau lokal seperti halnya organisasi Islam arus utama seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU), namun bentuk utama organisasi dan aktifitasnya melampaui sekat-sekat teritorial negara-bangsa. Gerakan ini antara lain meliputi Hizbut Tahrir Indonesia, Ikhwanul Muslimin, Salafi, dan Jemaah Tabligh. Meski mereka dirangkum dalam satu kategori sebagai gerakan Islam transnasional, namun masing-masing memiliki orientasi dan agenda perjuangan yang beragam, mulai dari yang konsen dengan aktivitas dakwah sampai yang konsen dengan perjuangan politik.
Di sisi lain, paham keagamaan yang sempit telah nyata menjadi ancaman bagi tatanan kehidupan bersama yang harmonis. Paham keagamaan yang sempit ini di satu sisi melahirkan radikalisme agama, dan di sisi lain melahirkan radikalisme sekuler. Dua kutub yang sangat berlawanan. Dalam definisi yang ringkas, radikalisme agama adalah gerak keagamaan berbasis pada tafsiran literal hukum agama demi pemahaman dan praksis keagamaan yang lurus dan murni. Prinsip ini menyiratkan bahwa radikalisme agama lahir dari pandangan dan paham keagamaan yang sempit, yang pada akhirnya mengajarkan intoleransi dan kekerasan yang berbasis pada fanatisme agama.
Moderasi Beragama: Perspektif Islam
Islam mengajarkan beragam nilai-nilai luhur yang menjunjung tinggi harkat kemanusiaan. Nilai-nilai ini bersifat universal, tidak bersyarat golongan, adat, budaya, dan sistem kepercayaan tertentu. Sumber nilai-nilai tersebut dapat digali dari firman Allah SWT yang termaktub dalam teks kitab suci Al-Qur’an. Doktrin Islam yang mengandung nilai moderasi beragama di antaranya ialah ta’addud, ta’aruf, tafahum, takrim, ta’awun, tawasuth, tawazun, tasamuh, ta’addul.
Dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam melaksanakan ajaran agama, manusia tidak bisa dipisahkan dari lingkungan sosialnya. Salah satu ciri utama dalam kehidupan adalah kemajemukan atau pluralitas, kebhinekaan (ta’addud). Hal ini sudah menjadi sunnatullah, yang tidak akan berubah dan tidak bisa ditolak. Allah berfirman:: “Wahai sekalian umat manusia. Sesungguhnya Kami ciptakan kamu sekalian dari pria dan wanita, dan Kami jadikan kamu sekalian berbagai bangsa dan suku, ialah agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah kamu yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah itu Maha Tahu dan Maha Teliti.” Q.S. 49:13), Oleh karena itu, keragaman ini harus ita sebagai sebuah keniscayaan dan kita terima dengan sikap yang positif. Sikap-sikap positif dalam menerima perbedaan ini harus muncul dalam sikap keberagamaan kita sehari-hari.
Sikap keberagamaan yang perlu ditumbuhkan kepada peserta didik adalah tasamuh (toleran), tawasuth (moderat), dan tawazun (seimbang). Yang pertama, tasamuh atau toleran adalah sikap lapang dada terhadap penganut agama lain untuk menyatakan dan menerapkan keimanannaya. Dengan demikian, seorang muslimin dam komunitas muslim harus menganut pola hidup berdampingan secara damai (peaceful coexistence) dengan komuntas-komunitas lain yang berbeda agama.
Toleransi adalah prinsip yang niscaya dalam sebuah masyarakat yang majemuk dan multikultur. Tanpa toleransi, masyarakat akan selalu berada dalam suasana konfliktual yang destruktif, saling bermusuhan, penuh arogansi dan tidak stabil. Toleransilah yang bisa membuat perbedaan menjadi kekuatan, mentransformasikan keragaman menjadi keharmonisan. Toleransi memungkinkan masyarakat plural bergerak maju secara dinamis dalam situasi sosial yang damai dan stabil.
Dalam pandangan Islam, toleransi merupakan sebagai titik tolak yang penting dalam membangun perdamaian (salam). Al-Qur’an mengajarkan bagaimana membangun perdamaian di tengah masyarakat yang memiliki umat beragama yang berbeda-beda, dan mengakui perbedaan keyakinan dan budaya. Islam menekankan betapa pentingnya pemeliharaan hubungan yang baik antara penganut agama yang berbeda karena, sebagaimana ditekankan oleh Alquran, kebebasan agama merupakan fondasi bagi perdamaian yang berkelanjutan. Alquran menyeru semua orang yang beriman untuk masuk ke dalam perdamaian dan tidak mengikuti langkah setan (Q.S. 2: 208).
Al-Qur’an memberikan landasan yang kuat bagi toleransi. Hal ini dapat dilihat dalam surat Al-Isrā’ ayat 70 yang menegaskan bahwa manusia diberikan posisi yang mulia di antara makhluk ciptaan-Nya. Ini diikuti oleh tanggung jawab untuk memelihara semua ciptaan oleh manusia sebagai khalifah di muka bumi. Surat Al-Ma’idah ayat 32 dan Al-An‘am ayat 98 yang berbicara tentang kesamaan asal muasal manusia yang membuat semua manusia saling berhubungan.
Terciptanya tasamuh dalam kehidupan beragama dan bersuku-bangsa akan meminimalisasi terjadinya politisasi dan radikalisme agama. Jika keberagamaan tidak memiliki nilai-nilai tasamuh akan mengarah dan membentuk fanatisme yang berlebihan. Nilai ini pada dasarnya sudah menjadi bagian dari tradisi kehidupan masyarakat Indonesia selama berabad-abad. Namun demikian, kenyataan menunjukkan akhir-akhir ini di negara kita kerap muncul peristiwa-peristiwa intoleransi keagamaan.
Kedua, tawasuth atau moderat. Ini berarti sikap keberagamaan yang tengah-tengah, tidak terlalu keras (fundamentalis) dan tidak terlalu bebas (liberal). Lawannya adalah tatharruf (ekstrem). Karakter ini bisa dirujuk pada Q.S. 2:143: “Dan demikianlah kami menjadikanmu (umat Islam), umat yang adil (tengah-tengah) dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” Juga hadis Nabi yang menyatakan, “Hal yang terbaik adalah yang tengah-tengah (sedang).”
Sikap tawasuth berintikan kepada prinsip hidup yang menjunjung tinggi sikap adil (‘adl) dan lurus di tengah-tengah kehidupan bersama (i’tidal). Serta bertindak lurus dan selalu bersifat membangun serta menghindari segala bentuk ekstremitas (tatharruf). Karakter tawasuth dalam Islam adalah titik tengah di antara dua ujung, dan hal itu merupakan kebaikan yang sejak semula telah diletakkan Allah SWT.
Bentuk-bentuk sikap tawasuth yang perlu ditanamkan kepada peserta didik: tidak bersikap ekstrem dalam berdakwah; Tidak mudah mengkafirkan sesama muslim karena perbedaan pemahaman agama; dan dalam kehidupan bermasyarakat memosisikan diri dengan berpegang pada persaudaraan dan toleransi baik antar sesama muslim, maupun dengan penganut agama lain.
Ketiga, tawazun atau seimbang. Sikap untuk memilih titik yang seimbang atau adil dalam menghadapi suatu persoalan. Tawazun diperlukan untuk memberi batasan kepada kebebasan (liberalisme) agar tidak kebablasan. Sebagai makhluk sosial, seorang individu memiliki kebebasan, tapi juga harus menjaga atau menghormati kebebasan individu lain. Banyak segi-segi dalam kehidupan yang memerlukan keseimbangan agar tidak berujung pada fanatisme, ekstremisme dan radikalisme. Bahkan dalam ajaran Islam, antara kepentingan akhirat dan dunia harus dijalankan secara seimbang. Hubungan antara manusia dan Tuhan, dan hubungan antara sesama manusia juga harus seimbang.
Langkah yang Perlu Ditempuh
Langkah-langkah yang mesti ditempuh untuk menumbuhkan kehidupan agama yang toleran, moderat dan seimbang adalah melalui ta’aruf dan ta’awun (saling kenal mengenal dan tolong-menolong), tafahum (saling memahami), dan takrim atau saling menghormati. Pertama, ta’aruf. Saling kenal satu sama lain ini dicapai melalui proses komunikasi atau saling membuka diri, dalam rangka mencari persamaan-persamaan. Dari sinilah akan muncul kerja sama dan solidaritas atau ta’awun. Kerja sama antara warga negara dan menghargai kemajemukan beragama diterima oleh umat Islam dengan semangat ukhuwah.. Formulasi ta’aruf dapat berbentuk ukhuwah basyariyah (persaudaraan seluruh umat manusia), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan), dan ukhuwah Islamiyah (persaudaraan umat Islam).
Kedua, tafahum yaitu saling memahami. Kita sadar nilai-nilai yang kita dan mereka miliki mungkin berbeda, dan kita dapat saling melengkapi, serta memberikan sumbangsih bagi hubungan yang dinamis dengan menegaskan bahwa orang lain yang berbeda dengan kita adalah teman kita. Ketiga, takrim yakni saling menghormati. Setiap orang/kelompok orang harus bersedia untuk mendengar pandangan-pandangan dan suara-suara yang berbeda. Dalam hubungan antarmanusia (hablum minannas) juga dituntut adanya rasa saling percaya, berbaik sangka, dan bersikap toleran.Pada praktiknya, bagaimana bersikap yang sesuai dengan kaidah moderasi tidak bisa muncul begitu saja, melainkan perlu dilatih. Sikap moderasi harus disosialisasikan, diajarkan, serta ditumbuh-kembangkan dengan suri teladan para pemuka agama, penyuluh agama, serta tokoh masyarakat. Tokoh agama perlu menghadirkan kedamaian di setiap kegiatan penyuluhannya.
Dalam konteks sekolah atau di lingkungan pelajar, para guru menjadi teladan dan pelopor untuk moderasi beragama. Lembaga pendidikan bersama para guru serta pengurus organisasi siswa dan organisasi kerohanian, bisa melakukan perencanaan kegiatan, mengorganisir kegiatan, melaksanakan kegiatan, serta melakukan monitoring untuk evaluasi program moderasi beragama. Beragam kegiatan edukatif sekaligus rekreatif bisa dilakukan, seperti kunjungan tempat-tempat peribadatan, nonton bareng film-film berspirit moderasi, sharing ringan lintas-iman, dan lain sebagainya. Kegiatan kepramukaan juga bisa dikembangkan dan bisa diminati para pelajar karena sifatnya yang informal, menyenangkan dan menghibur.
Pengenalan nilai-nilai moderasi dan penguatan karakter siswa tentu juga dapat ditempuh melalui pembelajaran formal. Mata pelajaran agama dan sejarah para nabi, misalnya, penting diajarkan secara dialogis dan bukan indoktrinasi. Guru harus menanamkan nilai-nilai, namun juga sekaligus membuka ruang dialog agar tumbuh kedewasaan berfikir, yang pada akhirnya akan mempengaruhi kedewasaan dalam bersikap dan bertindak.
Konteks Moderasi Beragama
Sebagai negara yang plural dan multikultural, konflik berlatar agama sangat potensial terjadi di Indonesia. Kita memerlukan moderasi beragama sebagai solusi, agar dapat menjadi kunci penting untuk menciptakan kehidupan keagamaan yang rukun, harmoni, damai, serta menekankan keseimbangan, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, maupun kehidupan secara keseluruhan.
Peran pelajar, sebagai bagian dari warga, tentulah peran pelajar sangat dibutuhkan karena memiliki makna strategis. Sebuah ungkapan bijak menyiratkan hal tersebut: “Pelajar hari ini, Pemimpin esok hari.” Karenanya, para pelajar perlu didukung untuk mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya, salah satunya dengan membekali mereka dengan penguatan karakter moderasi beragama.
Kita hidup di era demokrasi yang menjamin kebebasan berpendapat, berkumpul, berlakunya prinsip kesetaraan, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Sudah saatnya konteks hidup damai berdampingan antar warga bangsa dinaikkan ke taraf yang lebih ideal, dengan ditransformasikan kepada semangat kerja sama antarwarga masyarakat.