10 Sahabat Nabi yang Dijamin Masuk Surga (10): Sa’id bin Zaid

sumber foto: jalansirah.com

Dalam hadis yang diriwayatkan dari  Abdurrahman bin Auf, disebutkan 10 sahabat Nabi yang digembirakan atau dijamin bakal masuk surga. Mereka adalah  (1) Abu Bakar Ash-Shiddiq, (2)  Umar bin Khaththab. (3) Utsman bin Affan, (4) Ali bin Abi Thalib, (5) Zubair bin Awwam, (6)  Abu Ubaidah  Amir bin Al-Jarrah,  (7) Abdurrahman bin Auf, (8) Sa’d  (Sa’ad) bin Abi Waqqash, (9) Thalhah bin Ubidillah, (10) Sa’id bin Zaid.    Sebagaimana halnya pada figur dan perjuangan Rasulullah SAW, kita juga bisa mengambil suri tauladan dari para sahabat yang tergolong generasi pendahulu atau as-sabiquunal awaluun itu. Tulisan-tulisan terdahulu memuat masing-masing Abu Bakar Ash-Shiddiq,  Umar bin Al-Khaththab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib,  Zubair bin Awwam,  Abu Ubaidah bin Jarrah, Abdurrahman bin Auf,  Sa’d bin Abi Waqqash, dan Thalhah bin Ubaidillah.   Tulisan berikut ini tentang Sa’id bin Zaid, seorang yang berusaha mendalami agama yang dianut ayahnya. Yakni agama Ibrahim yang ajaran-ajarannya ia anggap telah hilang. 

Sa’id bin Zaid bin Amr bin Nufail Al-Quraisyi Al-Adawi adalah satu-satunya dari 10 Sahabat yang digembirakan masuk surga, yang tidak pernah menduduki jabatan apa pun, baik panglima perang maupun  gubernur. Khalifah Umar bin Khaththab juga tidak menyertakannya dalam panitia sekaligus calon khalifah penerusnya. Padahal ia termasuk sahabat yang terhormat dan mampu untuk memangku sebuah jabatan. Salah satu jabatan yang pernah ditawarkan kepadanya adalah gubernur Damsyik, ketika Abu Ubaidah bin Jarrah diangkat sebagai panglima oleh Khalifah Umar untuk menaklukkan Syam. Karena menolak akhirnya jabatan itu diberikan kepada Yazid bin abu Sufyan. Ketika Umar bertanya tentang menantunya kepada Abu Ubaidah, sang panglima menjawab bahwa tanah As-Sawad (yaitu tanah yang dikuasai kaum muslimin setelah penaklukan Irak) justru telah menambah Sa’id (dan Muadz bin Jabal) melakukan zuhud tentang keduniawian dan menambah cinta akhirat.  

Sai’d memang  punya hubungan kekerabatan dengan sang khalifah. Zaid, ayah Sa’id, adalah pamannya. Dan Said sendiri adalah menantunya karena ia menikah dengan putrinya yaitu Fatimah. Sebelum Umar masuk Islam, ia pernah menghajar Sa’id sampai babak belur dan menampar Fatimah ketika mendapati mereka sedang membaca Al-Qur’an, dan mengaku telah mengikuti agama yang dibawa Muhammad. Umar tampaknya tidak ingin jabatan khalifah jatuh ke tangan keluarganya. Dan karena itu pula meskipun dia memasukkan putranya, Abdullah sebagai anggota komite, Abdullah hanya diberi hak untuk memilih, tetapi tidak untuk dipilih.

Ketika anak-anak, Sa’id selalu mendengar cerita dari ayahnya tentang kabar akan datangnya agama baru dan nabi terakhir yang akan diturunkan di Semenanjung Arabia. Dia senang mendengar cerita itu, dan selalu ingin tahu lebih dalam mengenai berita tersebut. Selama dalam penantian menunggu datangnya sang Nabi, Sa’id mengikuti agama ayahnya, yang mengikuti agama Nabi Ibrahim. Dengan demikian, mereka bukan penyembah berhala. Ayahnya memang tidak sempat menyaksikan datangnya agama baru, karena keburu wafat sebelum kerasulan Muhammad. Pernah suatu hari Sa’id menghadapkan mukanya ke Masjidil Haram. Ia duduk di sana beberapa jam, sambil menatap berhala-hala. Namun ia tetap tidak merasa tenteram, dan tetap mendengarkan panggilan fitrah dan suara akalnya.

Akhirnya ia pun mendengar  kabar tentang kenabian Muhammad. Maka tanpa membuang waktu, ia pun bergegas menemui Muhammad untuk mengecek kebenaran berita itu. Ia pandang wajah Muhammad dalam-dalam, lalu ia menunduk dan pamit pulang. Sesampai di rumah ia menceritakan kepada istrinya tentang kerasulan Muhammad, dan setelah berbincang-bincang sebentar, mereka menemui Muhammad dan menyatakan masuk Islam.

Pada masa Rasulullah, Sa’id mengikuti semua peperangan kecuali Perang Badar. Sebelum terjadi peperangan, Sa’id dan Thalhah bin Ubaidillah ditunjuk oleh Nabi untuk mengintai kafilah dagang  Quraisy yang dikabarkan sedang dalam perjalanan dari Syam. Mereka pun keluar menuju Haura, dan tinggal di sana sementara waktu. Setelah melihat kafilah itu lewat, mereka pun bergegas kembali untuk menemui Rasulullah untuk menyampaikan hasil pengintaian mereka. Tetapi, sebelum keduanya kembali, Rasulullah telah mendengar beritanya lebih dulu. Oleh karena itu Rasulullah bersama para sahabatnya dari kaum Muhajirin dan Anshar bermaksud menemui kafilah tersebut. tetapi pertemuan-pertemuan Rasulullah dengan kaum Quraisy itu berubah menjadi peperangan, yang disebut Perang Badar itu. Dan ketika Sa’id dan Thalhah kembali dari tugas mereka,  perang sudah selesai. Meskipun begitu, Sa’id dan Thalhah tetap dianggap ikut perang dan mendapat harta rampasan perang.  

Sa’id bin Zaid meninggal di Aqiq pada tahun 51 H dan jenazahnya diusung ke Madinah dan dimakamkan di sana. Yang mengurus jenazahnya adalah Sa’ad bin Abi Waqqash dan saudara iparnya, Abdullah bin Umar.

Sumber:  Muhammad Ali Al-Quthub, Sepulu Sahabat Dijamin Ahli Syurga; M. Yusuf Al-Kandahlawy, Kehidupan para Sahabat Rrasulullah S.A,W.(1982).