Syaikh Surkati (2): Guru Spiritual Aktivis Muda Muslim

Nama Syaikh Ahmad Surkati ulama pendiri Al-Irsyad ini adalah Ahmad bin Muhammad bin Muhammad Al-Anshari yang kemudian diberi gelar “Surkati”. Gelar ini diberikan karena mbah Syaikh Ahmad memiliki banyak kitab sepulang menuntut ilmu. Dan kata “Surkati” itu sendiri berarti “banyak kitab”. Ia lahir di Dunggula, Sudan, tahun 1872.
Semasa kecil, ia sudah menunjukkan bakat ilmiah dan kejernihan serta kecerdasan yang luar biasa untuk ukuran anak-anak seusianya. Sehingga ia diperlakukan lebih istimewa oleh ayahnya dibandingkan dengan saudara-saudara lainnya.
Ia menempuh pendidikan di sebuah madrasah besar yang berada di Sudan setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya di Mashid Al-Qaulid. Sekitar tahun 1896 M, Ahmad Surkati berangkat ke Mekah dan Madinah untuk belajar agama.
Surkati tidak sempat memenuhi keinginannya belajar di Mesir karena ayahnya keburu meninggal. Nasib kemudian membawanya ke negeri Arab. Ia tinggal di Madinah selama empat tahun dan Mekah 11 tahun. Tahun 1906 ia menerima sertifikat mengajar dari pemerintah di Istanbul (Turki Usmani), dan menjadi orang Sudan pertama yang menerima sertifikat tersebut. Sejak itu ia mengajar di Mekah, dan mulai mengenal pikiran-pikiran pembaruan Muhammad Abdul melalui majalah Al-Manar.
Syaikh Ahmad Surkati yang dikenal memiliki peranan penting sebagai mufti ini juga pernah menjadi “Guru Spiritual” bagi Jong Islamieten Bond (JIB). Banyak aktivis yang menimba ilmu darinya, seperti Mohammad Natsir, Kasman Singodimedjo, dan lain lain. Sejak 1922 Ahmad Surkati dan pemimpin Al-Irsyad bersama para pemimpn Islam lainnya memang sudah aktif membicarakan Indonesia merdeka.
Pada 1923 Syaikh Ahmad Surkati menerbitkan majalah yang berisikan pendapat-pendapat serta pembahasan-pembahasan mengenai isu-isu keislaman yang menyebar pada masa itu. Tujuannya adalah untuk membela agama Islam dengan kemampuan keilmuannya. Hal ini ditegaskan sebagaimana sikap beliau yang sering menyerukan kepada kedua belah pihak yaitu Jami’at Kheir dan Jamia’at Al-Irsyad yang sedang bersengketa untuk menghindari kebencian dan permusuhan serta mengembalikan perkara yang diperselisihkan kepada Alquran dan Sunnah, sebagaimana pulanya ia sangat menyayangkan ketika melihat kepada orang-orang yang dulu merupakan rekan-rekannya, namun kini berubah menatap secara benci tehadapnya. Ia juga menambahkan bahwa tujuannya menulis adalah untuk menunaikan hak persaudaraan Islam kepada mereka.
Dalam setiap pemikiran dakwahnya, Syaikh Ahmad Surkati selalu menegaskan mengenai asas utama, yaitu tauhid kepada Allah dengan murni serta jauh dari prasangka kesyirikan yang nyata maupun yang tersembunyi dalam keyakinan, perkataan, dan perbuatan. Setelah proses tauhid berjalan maka diwajibkan untuk menjaga akhlak secara Islam. Lalu, tidak lupa bagi setiap pendakwah wajib untuk menyerukan sunnah Nabi yang shahih serta meninggalkan bid’ah dan tidak mengikutinya. Kelanjutan dari hal tersebut adalah bekerjasama dalam kebaikan dan ketaqwaan serta tidak tolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan. Karena tidak ada keutamaan seseorang atas dirinya kecuali dengan ilmu, amal salih dan ketakwaan. Dan yang terakhir adalah ber-amar ma’ruf dan nahyi mungkar dengan hikmah dan cara yang baik serta menyebarkan ilmu agama, ilmu modern dan bahasa Arab.
Selain aktif mengaja, Syaikh Ahmad Surkati juga rajin membuat karya tulis. Karya-karya yang telah dihasilkannya adalah Surat Al-Jawab (1915), Risalah Tawjih Al-Qur’an Ila Adab Al-Qur’an (1917), Ad-Dhakhirah Al-Islamiyah (1923), Masailul Tsalatsah (1925), Al-Washiyyat Al-‘Amiriyyah (1918), Al-Adab Al-Qur’aniyyat (1932), Al-Khawatir Al-Hisan (1941).
Syaikh Ahmad Surkati wafat pada 6 September 1943 di kediamannya yang terletak di Jalan Gang Solan (sekarang Jalan KH. Hasyim Asy’ari no 25 Jakarta), 29 tahun setelah ia mendirikan Al-Irsyad. Ia dimakamkan di pekuburan Karet dengan cara sederhana dan tidak ada tanda apapun di atas tanah kuburnya. Hal tersebut sesuai dengan amanatnya sendiri sebelum meninggal.