Syaikh Ahmad Surkati (1): Guru dan Pendiri Sekolah Al-Irsyad

Syahdan, di sebuah gerbong dalam sebuah perjalanan kereta api di  Jawa, seorang pria Jawa tampak asyik membaca sebuah kitab, yang mungkin tampak asing bagi para penumpang di situ, kecuali seorang asing yang duduk persis di hadapannya. Membaca di perjalanan memang bisa mengusir kebosanan, tapi sebuah bacaan berat mungkin tidak terlalu tepat sebab bisa-bisa bikin kepala penat. Tapi mungkin bukan itu yang membuat heran orang asing yang duduk berseberangan dengan orang Jawa tadi. Sebab yang mengherankannya adalah ini: ada seorang pribumi yang bisa membaca kitab yang sangat ilmiah itu. Merasa tertarik dia pun mengajak berkenalan dan mereka pun terlibat pembicaraan yang serius.

Cerita itu, dikatakan Deliar Noer (1980), amat populer  di kalangan pimpinan Muhammadiyah dan Al-Irsyad, dua organisasi Islam modern yang lahir pada awal abad ke-20. Tidak syak lagi, orang Jawa yang membaca kitab tadi tidak lain adalah Kiai Haji Ahmad Dahlan, pendiri dan hoofdbestuur Persyarekatan Muhammadiyah. Kitab yang dibacanya Tafsir Al-Manar, karangan Syaikh Muhammad Abduh,  pembaru pemikiran Islam dari Mesir. Sedangkan orang asing yang duduk di hadapannya adalah Ahmad Surkati asal Sudan, pendiri Al-Irsyad. Di bordes kereta api itu pula mereka  berjanji akan bekerja untuk  menyebarkan pemikiran-pemikiran pembaruan Abduh di dalam masyarakat masing-masing yaitu kalangan Arab dan Indonesia.

Tahun 1911 Ahmad Surkati tiba di Jakarta  bersama dua kawannya:  Muhammad bin Abdul Hamid Al-Sudani (juga orang Sudan) dan  Muhammad At-Tayyib dari  Maroko.

Ketika mengajar di Mekah, ia bersedia menerima tawaran dari Jamiat Kheir, perkumpulan orang-orang Arab di Batavia,   untuk menjadi guru di sekolah-sekolah yang mereka dirikan di Jakarta dan tempat lain. Prestasi yang membuat dia sampai diundang ke Hindia oleh pemimpin Jamiat Kheir. Kata Surkati, ia bersedia pindah ke Hindia karena merasa dapat lebih menyumbang dan bermanfaat bagi Islam sini.  “Antara kematianku mengejar iman di Jawa dan kematianku tanpa mengejar iman di Mekkah, aku memilih Jawa,” katanya.

Jamiat Kheir mengangkat Surkati  sebagai pengawas di sekolah-sekolah yang dibuka oleh Jami’at Kheir di Jakarta dan Bogor. Berkat kepemimpinan dan bimbingannya, sekolah-sekolah tersebut mengalami perkembangan yang cukup pesat. Tetapi Syaikh Ahmad Surkati hanya bertahan tiga tahun di Jami’at Kheir karena perbedaan paham yang prinsipil dengan para pengurus organisasi itu yang umumnya keturunan Arab Sayid (Alawiyyin) Alu B’lawi. Ini memang agak aneh, mengingat organisasi yang didirikan tahun 1905 itu merupakan organisasi terbuka untuk setiap Muslim tanpa diskriminasi  asal-asal.

Beda Paham dengan Para Sayid

Perbedaan paham antara Ahmad Surkati dan para pengurus Jami’at Kheir mencuat pada 1913. Dilaporkan, dalam sebuah pertemuan makan malam  di Solo yang dihadiri kebanyakan orang Arab, Syaikh Ahmad Surkati Al-Anshari mengeluarkan sebuah fatwa yang menekankan  bahwa Islam memperjuangkan persamaan sesama Muslim dan tidak mengakui kedudukan yang mendiskiriminasikan berbagai kalangan, disebabkan oleh darah turunan, harta ataupun pangkat. Fatwa ini bermula dari kasus seorang syarifah (anak perempuan seorang sayid) yang hidup bersama-sama dengan seorang Cina. Surkati menyarankan kepada yang hadir mengumpulkan uang untuk keperluan syarifah tadi  agar bisa melepaskan diri dari orang Cina itu. Tetapi karena tidak seorang pun yang bersedia memberikan uangnya untuk keperluan ini, Surkati menawarkan saran lain. Yakni mencari seorang Muslim yang bersedia mengawini syarifah tersebut. Golongan Sayid (Alawiyyin) yang hadir pada pertemuan itu keberatan atas saran tersebut dengan alasan kafa’ah (tidak sekufu, atau tidak sederajat). Kata mereka, seorang syarifah hanya bisa dikawini seorang sayid. Pada malam itu juga golongan Sayid di Solo mengirim kawat kepada para Sayid di Jakarta mengeai fatwa Surkati. Harap maklum: kaum Sayid di Jakarta adalah para pengurus Jamiat Kheir, yang memberikan pekerjaan pekerjaan kepada Ahmad Surkati. Menyusul kasus Fatwa Solo yang menhebohkan golongan Arab Sayid itu, Surkati akhirnya  keluar dari Jamiat Kheir dan menyelenggarakan sekolahnya sendiri di rumahnya.

Sementara itu, kalangan Arab non-Sayid mengumpulkan sebuah perkumpulan bernama Jam’iyat al-Islam wal-Ersyad al-Arabia yang disingkat Al-Irsyad.  Para pendiri Al-Irsyad umumnya adalah para pedagang. Surkati kemudian bergabung dengan Al-Irsyad, dan diserahi tugas untuk mengembangkan sekolah-seklah Al-Irsyad. Tetapi, pada 1919  madrasah-madrasah Al-Irsyad mengalami kesulitan. Oleh karena itu, Surkati berusaha mencari jalan keluar. Organisasi ini, yang saat itu belum berumur empat tahun,  memang  telah membentuk  cabang-cabang di daerah, yang  dilengkapi dengan pembentukan lembaga pendidikannya. Karena itu, guru-guru senior Al-Irsyadi  yang semula berkumpul di Jakarta, mulai  terbagi-bagi ke pelbagai daerah. Usulan perbaikan  yang diajukan Surkati meliputi kesatuan kurikulum dan silabus, penyusunan buku pelajaran, perpustakaan bagi guru dan mufti, struktur organisasi pendidikan, serta pengajaran ilmu terapan yang akan jadi bekal bagi murid-murid pribumi untuk memperoleh pekerjaan. Namun, , belum sempat  ia dan pimpinan pusat Al-Irsyad membenahi bidang pendidikan, muncul lagi fitnah yang menimpa dirinya. Ahmad Surkati dituduh menjadi biang keladi perpecahan di tengah masyarakat Hadrami.

Mencoba Jadi Pedagang

Pada 1921 Ahmad Surkati mengajukan permohonan mundur sementara dari Al-Irsyad dan melakukan usaha dagang.  Alasan pengunduran diri itu karena ia sangat berkeinginan merealisasi usulan perbaikan madrasah Al-Irsyad. Dia juga menyadari kepengurusan Al-Irsyad masih dilanda berbagai cobaan, sebab itu Ahmad Surkati ingin memperoleh kekuatan materil melalui usaha dagang. Pada mulanya usaha dagang Ahmad Surkati sukses. Namun, karena  tidak mempunyai kemampuan untuk mengendalikan usahanya ia selalu mengalami kerugian. Akhirnya, sebelum jauh tenggelam  pada 1923 ia memutuskan kembali ke dunia pendidikan dengan mendirikan, atas namanya sendiri, “Madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyyah”.

Kehidupan madrasah yang didirikan Ahmad Surkati itu ditunjang para dermawan teman-teman dekatnya, antara lain Syekh Umar bin Manggusy, Syekh Said bin Salim Masy’abi, Abdulah bin Alwi Alatas, Syekh Said bin Abdullah Basalamah, dan Syekh Abdullah bin Salim bin Mahri. Dalam praktIknya, madrasah yang ditunjang sahabat-sahabatnya ini memang berdiri di luar jaringan konsolidasi organisasi Jam’iyat al-Islah wa Al-Irsyaad al-Arabiyah. Di madrasahnya ini   Ahmad Surkati ternyata melaksanakan program takhassus. Program khusus ini dimaksudkan untuk mengatasi lemahnya kualitas ilmu yang dimiliki para alumni sekolah Al-Irsyad, khususnya yang bekerja sebagai guru dan penulis.

Al-Irsyad  sendiri, sebagai organisasi baru bisa bangkit kembali di tahun 1927 di bawah kepemimpinan Syekh Ali Mughits. Sebagai guru tempat meminta fatwa, keberdaan Ahmad Surkati memang lebih terlihat di Al-Irsyad ketimbang para pendiri organisasi ini seperti Syekh Umar Mangus, kapten orang Arab di Batavia, Saleh bin Ubeid Abdad, Saidbin Salim Masjhabi, Salim bin Umar Balfas, Abdullah Harharah dan Saleh bin Nahdi.

Di antara murid-muridnya DI Al-Irsyadtercatat antara lain  Prof. Dr. HM Rasyidi, menteri agama pertama RI, HM Yunus Anis, yang pernah menjadi ketua umum PP Muhammadiyah pada tahun 1960-an.