KH Mas Mansur (2): Manusia Pembelajar

Mula-mula Mas Mansur belajar agama kepada ayahnya. KH Mas Ahmad Marzuki. Tahun 1906, dalm usia 10 tahun, dikirim sang ayah ke Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura. Pesantren ini dipimpin oleh Kiai Haji Kholil, seorang kiai yang mansyur di seluruh Jawa dan Madura pada akhir abad ke-19 dan pada awal abad ke-20 . Kiai Kholil Bangkalan dikenal ahli  Nahwu (tata bahasa Arab) dan sastra Arab, fikih serta tasawuf.

Pada 1908, Mas Mansur pergi belajar ke Mekkah dalam usia 10 tahun. Ia kemudian memutuskan untuk melanjutkan studinya ke Universitas Al-Azar di Kairo,  Mesir. Niatnya untuk pergi belajar ke Kairo itu segera dinyatakannya dalam sepucuk surat yang dilayangkan kepada ayahnya di Surabaya. Tetapi rupanya sang ayah tidak memberikan izin. Sang AYAH beranggapan bahwa Kairo bukanlah tempat yang baik untuk  belajar karena kota itu merupakan tempat pelesiran dan maksiat belaka. Tekad Mas Mansur sudah bulat. Ia ternyata tidak bisa dihalangi lagi. Kendatipun tanpa persetujuan sang ayah. Pada tahun itu ia berangkat ke Kairo dengan menggunakan Kapal laut. Padasal Kiai Haji Mas Marzuki konon  sudah mengancam kalau saja dia masih nekad untuk berangkat maka kriman uangnya akan segera dihentikan.

Selain membaca buku-buku agama dan sastra Arab, ia melahap pula buku-buku ilmu pengetahuan umum, termasuk karya-karya filsafat dan sastra Barat yang telah banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Arab saat itu. Dengan demikian Mas Mansur tidak hanya berkenalan dengan pemikiran dari para pemikir Arab dan muslim, tetapi ia pun berkenalan dengan berbagai aliran pemikiran dan paham dari Barat. Beragamnya bacaan inilah yang kelak membentuk watak serta memperluas cakrawala pemikiran dan pandangannya. Kegemarannya mambaca itu tampak dari buku-buku yang dibawanya pulang ke Surabaya, sebanyak dua lemari besar.

Perhatian dan minat Mas Mansur terhadap gerakan kebangsaan dan gerakan pembaruan pemikiran agama tidak mustahil timbul selama ia berada di Timur Tengah. Para pelajar  di Mekah atau Kairo senantiasa mengkikuti situasi di Tanah Air melalui berita-berita yang dibawa oleh jamaah haji atau para pelajar  yang baru tiba di sana. Setelah itu mereka mendiskusikannya serta berusaha mencari pola dan bentuk perjuangan baik dalam rangka membangkitkan kesadaran beragama maupun berbangsa.

Sementara di Tanah Air, setelah terbentuknya   Budi Utomo pada1908, pada tahun-tahun yang hampir bersamaan (antara 1909-1912), berdiri tiga organisasi  moderen, yaitu Syarikat Dagang Islamiyah (yang kemudian menjadi SI), Indische Partij, dan Muhammadiyah. Pada  1913 di Mekah  dibuka cabang SI yang diketuai  K.H Asnawi Kudus dengan sekertaris K.H. Abdul Wahab Hasbullah. Dari ketiga organisasi itu  Mas Mansur tampaknya lebih tertarik  dengan gerakan yang bersifat sosial-keagamaan, yakni Muhammadiyah, yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan. Sebelumnya mungkin ia telah memperoleh kabar bahwa seorang tokoh pembaru yang bernama Ahmad Dahlan mempunyai pribadi yang menarik, dan mendirikan Muhammadiyah di samping aktif di Budi Utomo.

Sebab itulah, setibanya di Batavia pada tahun 1915, tempat yang pertama kali dituju Mas Mansur bukannya Surabaya, tetapi Yogyakarta. Ia ingin sekali berkenalan dengan Kiai Ahmad Dahlan. Dan begitu berkenalan ia langsung saja terkesan oleh pribadi sang kiai yang ternyata sahabat baik ayahnya, seperti dikatakannya sendiri: “Waktu itu saya datang kepada beliau dan memperkenalkan diri. Baru saja berkenalan, hati tertarik, baru saja keluar kata lemah lembut dari hati yang ikhlas, hati pun tunduk…ketika itu beliau terangkan bahwa beliau sangat kenal dan bersahabat dengan ayah saya. Katanya kalau beliau ke Surabaya beliau tinggal di rumah Kiai Habib, tempat pertemuan kiai-kiai. Di sanalah beliau kerapkali bercakap-cakap lama dengan ayah saya memperbincangkan soal-soal agama. Dan apabila ayah saya datang ke Jogja beliau tinggal di rumah Kiai Nur, tempat pertemuan inyik-inyik  itu pula.”

Dua puluh dua tahun kemudian, atau 14 tahun setelah KH Ahmad Dahlan, K.H. Mas Mansur memimpin Muhammadiyah menggantikan KH Hisyam, seraya menjadi guru dan direktur Madrasah Mu’allimin Yogyakarta, sekolah guru dan kawah candradimuka bagi calon-calon pemimpin persyarikatan.