Memberdayakan Perempuan Demi Ketahanan Keluarga

“Tidak akan ada ketahanan keluarga tanpa pemberdayaan perempuan. Tidak ada ketahanan nasional tanpa kekuatan perempuan. Generasi yang baik hanya bisa lahir dari perempuan yang diberdayakan.”
Hal itu ditegaskan Menteri Agama Nasaruddin Umar menegaskan pentingnya pemberdayaan perempuan sebagai fondasi ketahanan keluarga dan bangsa. Hal tersebut disampaikan dalam acara Seminar Tanwir I ‘Aisyiyah dengan tema “Ketahanan Keluarga” pada Kamis (16/1). Karena itu, menurut dia, pemberdayaan perempuan harus menjadi prioritas utama.
Nasaruddin Umar juga menyoroti bahwa ketimpangan relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan menjadi akar dari berbagai masalah sosial, termasuk kekerasan seksual. Dalam sosiologi, relasi kuasa merujuk pada dominasi kekuatan satu pihak terhadap pihak lain. Relasi kuasa yang timpang, ungkap Menag, disebabkan karena legitimasi penafsiran agama dan budaya masyarakat yang patriarkis.
“Allah memberikan kekuatan kepada laki-laki dan perempuan secara seimbang, tetapi budaya patriarki mengalihkan kekuatan perempuan kepada laki-laki, sehingga terjadi ketimpangan yang memicu patologi sosial,” ujarnya.
Relasi kuasa, imbuhnya, harus digugat dan diprotes. Hal tersebut bisa dilakukan dengan meninjau kembali penafsiran yang timpang.
Menag yang juga menulis buku Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Quran ini menekankan pentingnya reinterpretasi terhadap pemahaman agama, khususnya fikih perempuan, untuk menghapus tafsir-tafsir yang bias gender.
Relasi kuasa juga dapat menyebabkan problem perceraian. Menag menyoroti tingginya angka perceraian di Indonesia. Pada tahun 2023, 40% perceraian terjadi dalam lima tahun pertama pernikahan, dengan 80% kasus cerai gugat berasal dari kota besar.
Nasaruddin mengingatkan pentingnya menguatkan ketahanan keluarga dengan relasi yang adil. Pasalnya, problem perceraian rentan melahirkan orang miskin baru, terutama perempuan dan anak karena kebanyakan perempuan yang akhirnya menanggung nafkah keluarga.
Maka dari itu, Kementerian Agama telah meluncurkan berbagai program seperti perencanaan perkawinan, keluarga sehat, peningkatan ekonomi keluarga, dan generasi berkualitas bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan, Kemendikdasmen, dan BKKBN. Nasaruddin juga menyerukan penyesuaian regulasi agar kebijakan yang ada tidak merugikan Perempuan tetapi mendukung pemberdayaan perempuan.
Dalam kesempatan tersebut, Nasaruddin mengajak para perempuan ‘Aisyiyah untuk menjadi pelopor perubahan, tidak hanya melakukan edukasi, tetapi juga aksi nyata di masyarakat. Di akhir paparan, Nasaruddin mengajak ‘Aisyiyah untuk menjalin kerja sama formal dengan Kementerian Agama dalam mendukung pemberdayaan perempuan di Indonesia. Ia berharap inisiatif ini dapat menciptakan perubahan signifikan dalam tiga tahun mendatang, khususnya dalam menyeimbangkan relasi kuasa dan mendorong regulasi yang berpihak pada perempuan.
Wujudkan Masyarakat Berkeadilan
Dalam pada itu, Ketua Umum Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Salmah Orbayinah menegaskan bahwa organisasinya sejak berdiri hingga sekarang tetap berkomitmen untuk terus menebar manfaat bagi seluruh masyarakat, umat, bangsa dan negara di seluruh aspek kehidupan.
“Kini ‘Aisyiyah terus melakukan penguatan dan memperluas dakwah gerakan di semua tingkatan dan lapisan sehingga menjadikan Aisyiyah semakin kuat, unggul dan berkemajuan. Kekuatan ‘Aisyiyah sebagai organisasi perempuan muslim berkemajuan harus kita gerakkan secara lebih optimal sehingga dapat berkontribusi dalam memecahkan berbagai permasalahan kemanusian semesta maupun kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk di antaranya usaha mewujudkan keadilan bagi semua,” kata Salmah saat menyampaikan Pidato Iftitah Pembukaan Tanwir I ‘Aisyiyah pada Rabu (15/1) di Jakarta.
Menurut Salmah, keluarga merupakan satuan terkecil masyarakat yang berfungsi sebagai tonggak kehidupan umat, masyarakat, bangsa, dan kemanusiaan. Institusi keluarga merupakan madrasah untuk melahirkan dan menumbuhkan manusia yang berkualitas utama yaitu manusia yang bertakwa dan berkemajuan.
“Ketahanan Keluarga adalah kondisi dinamik keluarga dalam mengelola sumber daya fisik maupun non fisik dan mengelola masalah yang dihadapi, untuk mewujudkan keluarga berkualitas dan tangguh sebagai pondasi utama dalam mewujudkan Ketahanan Nasional. Oleh karena itu ketahanan keluarga menjadi isu penting bagi ‘Aisyiyah dalam mendukung keberhasilan cita-cita Indonesia untuk mewujudkan generasi emas tahun 2045,” ungkap Salmah.
Salmah menegaskan bahwa pola pengasuhan keluarga dengan mendasarkan pada nilai-nilai utama seperti keadilan, kejujuran, kerja keras, menghargai perbedaan, cinta damai, mencintai lingkungan,mencintai tanah air dan berjiwa entrepreneur merupakan salah satu kunci dalam menguatkan ketahanan keluarga menuju ketahanan nasional. Berdasar hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) pada tahun 2024 menunjukkan 1 dari 4 perempuan usia 15 – 64 tahun di Indonesia pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dari pasangan dan/atau selain pasangan selama hidupnya.
Salmah menambahkan, langkah selanjutnya setelah penguatan nilai di dalam keluarga, salah satunya adalah mewujudkan masyarakat yang adil dalam perekonomian dan pangan. Kata dia, perempuan juga memiliki peran penting dalam hal penguatan ekonomi dan juga membangun kedaulatan pangan. Hal ini dikarenakan perannya cukup besar dalam mengelola lahan pertanian, merawat tanaman sampai kepada tanggung jawab ketersediaan pangan keluarga.
“Oleh karena itu menjadikan perempuan sebagai agen-agen potensial dalam membangun kedaulatan pangan sangat penting dengan dukungan penuh dari pemerintah termasuk budaya menanam pangan lokal, gerakan menanam di rumah, gerakan membeli produk pangan lokal adalah langkah-langkah strategis yang penting untuk dilaksanakan secara serius. Menjaga kedaulatan pangan berarti membuka akses ekonomi bagi perempuan dan kelompok marginal untuk meningkatkan dan menguatkan ekonominya sebagai pemenuhan hak dasar mereka,” ungkap Salmah.
Salmah juga mengatakan bahwa keadilan dalam kehidupan bernegara juga harus terus ditegakkan seiring dengan penegakan keadilan dalam keluarga dan masyarakat. Terlebih, Indonesia menetapkan dirinya sebagai negara hukum dimana UUD 1945 menjadi dasar bagi seluruh aturan yang ada. “Sayangnya masih banyak persoalan terkait hukum yang terjadi khususnya dalam upaya penegakan hukum dan memperoleh keadilan. Langkanya keadilan dan penegakan hukum yang benar sesungguhnya merupakan sebuah ancaman bagi masa depan bangsa itu sendiri,” katanya. Untuk itu, Salmah mengajak kader-kader ‘Aisyiyah untuk mempertegas dan memperkuat komitmen serta kontribusi ‘Aisyiyah dalam membangun peradaban bangsa, melalui berbagai bidang kehidupan, untuk mewujudkan Indonesia berkeadilan.***
Editor: M. Akhyar Amin