Dampak Psikologis Transformasi Arab Saudi Bagi Perempuan

Putra Mahkota Arab Saudi Mohammad Bin Salman (MBS) adalah orang yang paling sibuk dalam memimpin rencana Visi 2030 untuk Kerajaan Arab Saudi. Dia mulai menempatkan perempuan di garis depan perubahan dan secara terbuka berbicara tentang hak-hak Perempuan sebagai bagian dari rencana dan visinya yang progresif untuk masa depan Arab Saudi.

Dia memperjuangkan hak-hak perempuan antara lain mendukung wanita dalam tenaga kerja, penegakan hak setara, menyesuaikan hukum perwalian, busana untuk Wanita yang sederhana, memerangi bias dan segregasi gender, serta hak-hak perempuan di masa depan.

Dengan visi yang dibangunnya, berbagai macam peluang kerja telah tersedia dan reformasi transformatif telah melanda negara itu. “Wanita Saudi adalah aset besar. Kami akan terus mengembangkan bakat mereka, berinvestasi dalam kemampuan produktif mereka dan memungkinkan mereka untuk memperkuat masa depan mereka,” kata Putra Mahkota ketika pertama kali memperkenalkan reformasi ini.

Menurutnya, perempuan harus produktif dan bebas memilih bidang yang akan ditekuni. “Wanita sekarang dapat bekerja di sektor apa pun. Dalam bisnis dan perdagangan, sebagai pengacara, di bidang politik dan di semua sektor. Wanita dapat melakukan pekerjaan apa pun yang mereka inginkan. Kita mendukung perempuan untuk masa depan dan menurut saya tidak ada kendala yang tidak bisa kita atasi. Kami melihat warga secara umum dan wanita adalah setengah dari masyarakat ini dan kami ingin setengahnya menjadi produktif,” tambahnya.

Setelah Mohammad bin Salman mengumumkan Visi Saudi 2030, Arab Saudi mengalami perubahan yang luar biasa cepatnya. Perubahan besar ini dirasakan oleh segenap rakyat Arab Saudi.

Visi Saudi 2030  adalah rencana untuk mengurangi ketergantungan Arab Saudi pada sektor minyak bumi yang selama ini menjadi andalan, mendiversifikasi ekonomi, serta mengembangkan sektor layanan umum seperti kesehatan, pendidikan, infrastruktur, rekreasi dan pariwisata. Rincian visi 2030 yang diumumkan pada tanggal 25 April 2016 diperkirakan akan menghabiskan biaya hingga $20 juta.

Perubahan kebijakan ini cukup membuat guncangan di mata masyarakat Arab Saudi, karena berlari dengan kencang dan tidak ada kompromi. Namun demikian, reformasi ini telah membuka peluang baru bagi warga Saudi untuk tumbuh dan berkembang, yang sebelumnya terbatas.

Rahma Diani, seorang jurnalis yang tumbuh besar di Arab Saudi, sering merasa frustrasi dengan batasan dan tradisi yang melingkupi dirinya dalam kehidupan sehari-harinya. Setiap kali dia menyuarakan rasa frustrasi ini kepada ayahnya, ayahnya akan mengatakan bahwa: “Pemerintah tidak dapat mengubah segalanya. Terserah kita, sebagai individu, untuk mengikuti perubahan dan kemajuan.”

Bagi Rahma Diani yang lahir dan besar di Eropa, namun sekarang memilih tinggal di Saudi, mulai melihat sisi positif dalam kata-kata ayahnya itu, sekalipun perlu waktu untuk mencerna.

Masih Masalah Lama

Saat ini, Arab Saudi mengalami kemajuan luar biasa dalam berbagai aspek kehidupan. Kaum perempuan saat ini mendapat ruang yang luas untuk maju, baik dalam dunia kerja, dunia hiburan, dan proyek-proyek baru yang terus memberi energi segar untuk kemajuan negara.

Para ekspatriat juga berkontribusi terhadap kemajuan perekonomian, dunia sekolah juga memperluas kurikulum mereka, dan mulai terlihat meningkatnya daya minat baca di lingkungan anak-anak sekolah, bukan hanya di dalam kelas, namun juga kegiatan-kegiatan outdoor.

Perubahan ini tidak dapat disangkal telah memperkaya kehidupan orang Saudi, dan memberikan peluang baru bagi semua orang tumbuh dan berkembang.

Di tengah transformasi ini, satu wilayah penting masih belum banyak mendapat perhatian, yaitu masalah toleransi psikologis. Meskipun masyarakat Saudi telah terbuka dalam banyak hal, namun kemampuan untuk menerima berbagai ide, perspektif, dan emosi baru ini masih agak terbatas.

Di Arab Saudi, paham-paham lama masih mengakar kuat, sekalipun mereka mencoba untuk mengakomodasi pikiran atau perilaku baru yang terkadang mengikis norma-norma yang sudah mapan. Kekakuan ini sering kali muncul dari hambatan psikologis, di mana terkadang perbedaan itu dipandang sebagai ancaman terhadap identitas seseorang.

Inti dari masalah ini adalah fokus yang kuat pada diri sendiri, yang meliputi ego, emosi, pikiran, dan kecerdasan. Bagi banyak orang Saudi, identitas pribadi ini terkait erat dengan harapan masyarakat, yang mengarah pada sikap defensif terhadap apa pun yang tampaknya dapat merusak rasa diri seseorang. Mentalitas ini berakar kuat dalam cara orang-orang dibesarkan di wilayah tersebut.

Secara tradisional, pola asuh di Arab Saudi tidak selalu memprioritaskan pengembangan kapasitas individu anak atau membiarkan mereka mengeksplorasi emosi dan pikiran mereka secara bebas.

Sebaliknya, justru sering kali ada kecenderungan orang tua untuk memproyeksikan aspirasi dan emosi mereka sendiri kepada anak-anak mereka, terkadang dengan sedikit perhatian terhadap kebutuhan dan potensi unik anak tersebut.

Pendekatan ini menciptakan palet emosi yang terbatas, seperti seorang seniman yang hanya diberi beberapa warna dan diharapkan untuk mencampur coraknya sendiri untuk mengekspresikan rentang emosi yang lebih luas.

Apa Hanya Masalah Saudi?

Tantangan transformasi ini tidak hanya melulu dirasakan di Saudi, dimana perubahan seharusnya dapat menumbuhkan harapan yang sebelumnya tidak mungkin mereka penuhi. Apalagi lingkungan emosional yang terbatas ini dapat menyebabkan tantangan psikologis yang signifikan.

Ketika individu tidak diajarkan untuk mengakui dan mengekspresikan perasaan mereka dengan sehat, mereka mungkin menggunakan perilaku yang kurang konstruktif untuk mengkomunikasikan kebutuhan mereka. Jika emosi tidak dapat diungkapkan dengan bahasa atau cara yang dapat diterima secara sosial, orang mungkin akan beralih ke metode ekspresi yang lebih ekstrem atau tidak langsung. Hal ini sering kali mengakibatkan konflik interpersonal atau perilaku pasif-agresif, gejala keresahan psikologis yang lebih dalam.

Lebih jauh lagi, karena pendekatan terhadap ekspresi emosi ini tidak mendorong komunikasi terbuka atau kesadaran diri, maka pendekatan ini dapat berdampak jangka panjang pada kesehatan mental. Pola-pola manajemen emosi yang tidak sehat ini tidak hanya mempengaruhi individu mereka, tetapi juga dapat menyebar lintas generasi, mengabadikan siklus kesalahpahaman dan intoleransi.

Cara bersikap toleran

Jadi dalam banyak hal, kurangnya toleransi psikologis ini menghambat tujuan pemerintah Arab Saudi yang lebih luas untuk modernisasi dan integrasi global.

Ketika Arab Saudi terus memposisikan dirinya di panggung dunia, dengan terlibat aktif dalam dunia bisnis, pendidikan, dan kebudayaan internasional, maka kemampuan untuk menavigasi berbagai sudut pandang dan beradaptasi dengan cara berpikir baru menjadi semakin penting. Hal ini bisa jadi mendatangkan risiko bahwa kemajuan lahiriah masyarakat kita dapat dirusak oleh ketegangan internal dan penolakan terhadap perubahan.

Lebih jauh lagi, menumbuhkan toleransi bukan hanya tentang menerima perspektif yang berbeda, tetapi juga tentang mendorong inovasi dan kreativitas. Ketika orang merasa aman untuk mengekspresikan diri mereka tanpa takut disalahkan atau dibully, maka mereka akan menyumbangkan ide dan solusi baru.

Keterbukaan ini dapat menghasilkan terobosan di berbagai bidang, mulai dari teknologi hingga seni, dan dapat membantu mendorong Arab Saudi menjadi masyarakat yang lebih dinamis dan tangguh.

Pendidikan di Arab Saudi memainkan peran penting dalam transformasi ini. Dengan memasukkan kecerdasan emosional dan pemikiran kritis ke dalam kurikulum pendidikan Arab Saudi, diharapkan dapat membekali generasi mendatang dengan berbagai perangkat yang mereka butuhkan untuk menjelajahi dunia yang semakin kompleks.

Mengajarkan kaum muda untuk memahami dan mengelola emosi mereka, menghargai berbagai sudut pandang, dan terlibat dalam dialog yang konstruktif sangat penting untuk membangun masyarakat yang lebih toleran dan inklusif.

Inisiatif komunitas dan wacana publik juga berperan. Mendorong percakapan terbuka tentang kesehatan mental, perbedaan budaya, dan pentingnya ketahanan psikologis dapat membantu meruntuhkan hambatan dan mengurangi stigma. Upaya ini dapat menciptakan lingkungan yang lebih mendukung di mana individu merasa berdaya untuk mengeksplorasi identitas mereka dan menghadapi norma-norma masyarakat yang baru tanpa takut ditolak atau dipinggirkan.

Bekerja sama

Meskipun masyarakat Arab Saudi telah menerima banyak perubahan, akan tetapi tantangan toleransi psikologis tetap menjadi pekerjaan rumah yang tidak kecil. Untuk mengatasi masalah ini diperlukan perubahan dalam cara mereka bagaimana memahami dan mengekspresikan emosi dan individualitas. Mereka harus bergerak menuju lingkungan yang lebih terbuka dan mendukung, di mana perbedaan tidak hanya ditoleransi tetapi juga dihargai, dan ini sangat penting untuk kemajuan yang berkelanjutan.

Kita berharap agar warga Saudi terus bekerja sama merealisasi Visi 2030 ini untuk membangun masyarakat yang lebih maju dan toleran. Mereka harus sadar bahwa sesungguhnya transformasi yang sebenarnya itu dimulai dari dalam diri masing-masing, yaitu dengan kemauan untuk mendengarkan, berempati, dan tumbuh melampaui batas pemahaman mereka saat ini.Semoga.

Sumber : Sauditimes.org, dll.