Menggali Makna Isra Mikraj
Isra mikraj merupakan satu kesatuan dengan kerisalahan Nabi Muhammad membawa ajaran Islam. Yakni berislam yang damai, toleran, ukhuwah, dan menebar segala benih kebaikan sebagaimana risalah Nabi akhir zaman.
Hal itu dikemukakan Ketua Umum PP Muhammafitah Prof. Dr. Haedar Nashir, dalam pesan rilisnya, Kamis, 8 Feb. 2024.
“Jauhi hal-hal yang menimbulkan masalah dan kerusakan dalam kehidupan. Nabi diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia dan menjadi rahmat bagi semesta alam,” kata Haedar.
Guru Besar Sosiologi UMY itu juga mengungkapkan, bahwa dengan Isra dan Mikraj kaum muslimin harus mengembangkan kecerdasan yang murni, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memanfaatkan segala potensi yang dianugerahkan Tuhan dalam memahami segala ciptaan-Nya, serta melahirkan peradaban yang utama bagi kehidupan di alam semesta ini.
“Menjadi insan pembangun dan bukan insan perusak kehidupan. Jadilah pembelajar dan pemakmur kehidupan yang merahmati semesta. Nabi Muhammad hadir dengan risalahnya membangun al-Madinah al-Munawwarah, peradaban yang cerah-mencerahkan,” kata Haedar.
Selain itu, Isra Mikraj menurut Haedar memiliki nilai inklusif bagi kehidupan kemanusiaan dan semesta yang terjabarkan dalam tiga makna. Makna pertama, makna kekuasaan.
Isra Mikraj Nabi Muhammad dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa ke Sidratul Muntaha mengandung pesan di atas pencapaian ketinggian ilmu manusia masih ada kekuatan ilahiah.
“Isra Mikraj menunjukkan di balik kekuasaan manusia yang bersifat duniawi ada kekuasaan Allah, kekuasaan Tuhan yang bersifat ruhaniyah-ilahiyah atau divine power atau kekuasaan yang sakral,” ujar Haedar.
Dia menerangkan, siapa pun baik itu manusia, sekelompok manusia, organisasi bahkan negara, lebih jauh lagi antar negara yang memiliki kekuasaan duniawi.
“Jangan salah gunakan kekuasaan karena di balik kekuasaan duniawi ada divine power, ilahi, sakral Allah SWT,” katanya.
Di atas langit masih ada langit, manusia seyogyanya dengan kekuatan yang dimiliki tetap rendah hati, tidak menyalahgunakan. Perang, penistaan, kezaliman dan segala kesewenangan terjadi karena ada kekuasaan manusia lepas dari kekuasaan ketuhanan.
Kedua, diwajibkannya ibadah salat bagi Muslim dalam peristiwa Isra Mikraj. Menurut Haedar, ibadah salat memiliki dua dimensi pesan, yakni hubungan manusia dengan Tuhan (hablum minallah) dan manusia dengan manusia lainnya (hablum minannas).
“Salat dan ibadah dalam Islam punya dimensi habluminannas, memberi hubungan yang baik, damai dan manfaat bagi kehidupan. Sehingga, semakin banyak yang beribadah dengan baik semakin baik kehidupan antar manusia, baik dengan lingkungan dan alam,” Haedar memaparkan
Lebih jauh, Haedar mengajak umat menjadikan Isra Mikraj dengan buah dari salat membangun relasi kemanusiaan semakin baik, tapi juga relasi ketuhanan yang semakin dekat. Sehingga manusia semakin damai dengan langit dan semakin damai dengan bumi.
“Artinya, bangun kehidupan yang lebih baik, adil, damai, tentram, aman, makmur serta hidup maju bersama, sehingga kehidupan menjadi penuh makna,” papar Haedar.
Ketiga, dijalankannya dua risalah nabi setelah Isra Mikraj. Dua risalah itu menyempurnakan akhlak beserta risalah Islam sebagai rahmat bagi semesta alam. Dua risalah ini mengandung makna Islam yang membangun peradaban sekaligus keadaban.
Haedar berpesan kepada umat dan pimpinan umat untuk meneladani Nabi dalam segala aspek kehidupan. Termasuk dalam berdakwah secara hikmah dan uswah hasanah disertai amaliah nyata yang mencerdaskan dan mencerahkan akal budi dan akhlak utama.
“Jauhi hal-hal yang meresahkan, menebar kebencian, amarah, dan membawa perpecahan. Berbangsa pun mesti menebar kebaikan dan mencegah keburukan dengan cara-cara dakwah yang baik untuk menunjukkan teladan utama,” kata Haedar.
Jika berjuang menegakkan etika, lanjut Haedar, tampilkan dengan etika yang luhur. Agenda utama umat Islam Indonesia sebagai mayoritas justru dalam menampilkan akhlak mulia disertai keteladanan serta maju dalam berbagai aspek kehidupan sebagai Khaira Ummah.
Maka itu, tokoh dan organisasi keagamaan harus bawa Islam betul-betul jadi rahmat semesta bukan hanya retorika dan ujaran, tapi dalam tindakan dan keteladanan. Umat beragama, tokoh agama dan organisasi-organisasi keagamaan harus bisa menunjukkan.
“Sebagaimana Nabi Muhammad dengan uswah hasanah bahwa pilihan tentang kebenaran, tentang kebaikan dan tentang kepatutan hidup itu harus menjadi pancaran keberagamaan kita,” ujar Haedar, menutup keterangannya.